Wednesday, February 13, 2008

Utang dan Pengkhianat


ANALISA KWIK KIAN GIE

Utang dan Pengkhianat



PEMERINTAH Indonesia tidak pernah berhenti berutang sejak tahun 1967. Untuk kurun waktu tertentu, rakyat Indonesia dicuci otaknya bahwa semakin besar utang yang diperoleh kita harus semakin bangga, karena utang dipropagandakan sebagai simbol kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia.

RAKYAT Indonesia juga dikelabui dengan mengatakan utang sebagai pemasukan untuk pembangunan, dan negara pemberi utang disebut negara donor.

Yang melakukan ini hampir semua­nya guru besar dengan gelar doktor dan jabatan publik tertinggi setelah Pre­siden dan Wapres. Mengapa? Me­mang ada segi-segi positif dari utang, yaitu kalau yield-nya lebih besar dari bunga, dan utang menghasilkan arus uang tunai yang dapat dipakai untuk mem­bayar utang yang bersangkutan.

Prinsip yang demikian elementernya tidak dimengerti oleh para guru besar dalam bidang ekonomi? Yang bener aje! Pasti ada motif lain. Mari kita de­ngar­kan orang yang disuruh men­cip­takan utang buat Indonesia, dengan mak­sud apa dan dengan kolaborasi elit bangsa yang dijadikan target peng­hisapan.

Semua sudah mengetahui tentang bukunya John Perkins yang berjudul “The Confessions of an Economic Hit Man”. Menurut Newsweek terbitan ter­akhir, buku ini tercantum dalam daftar bestseller dari New York Times sela­ma tujuh minggu. Saya terjemahkan ba­gian-bagian yang relevan untuk tulisan ini.

Halaman 12: “Saya hanya menge­ta­hui bahwa penugasan pertama saya di Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah tim yang terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk menciptakan cetak biru rencana pembangunan pembangkit listrik buat pulau Jawa.”

Halaman 13: “Saya tau bahwa saya ha­rus menghasilkan mo­del eko­nom­terik untuk Indonesia dan Jawa”. “Sa­ya mengetahui bahwa statistik dapat di­ma­nipulasi untuk menghasilkan ba­nyak kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar statistik yang dibuatnya.”

Halaman 15: “Pertama-tama saya harus memberikan pem­benaran (justi­fication) untuk memberikan utang yang sangat be­sar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (per­usa­­haan konsutan di mana John Perkins bekerja) dan peru­sa­han-perusahaan Ame­rika lainnya (seperti Bechtel, Halli­burton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui penjualan proyek-pro­yek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi. Kedua, saya harus mem­­bangkrutkan negara yang mene­ri­ma pinjaman tersebut (tentu­nya se­telah MAIN dan kontraktor Ame­rika lain­nya telah dibayar), agar negara tar­get itu untuk selamanya ter­cengkeram oleh kreditornya, sehingga negara pe­ngu­tang (baca: Indonesia) menjadi target yang empuk kalau kami mem­butuhkan favors, termasuk basis-basis mili­ter, suara di PBB, atau akses pada mi­nyak dan sumber daya alam lainnya.”

Halaman 15-16: “Aspek yang harus di­sem­bunyikan dari semua proyek ter­sebut ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan mem­buat bahagia beberapa gelintir keluar­ga dari negara-negara penerima utang yang sudah kaya dan berpe­ngaruh di ne­garanya masing-masing. De­ngan de­mikian ketergantungan ke­uangan ne­gara penerima utang men­jadi per­ma­nen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pe­merintah-pemerintah penerima utang. Maka semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan bahwa be­ban utang yang sangat besar me­nyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lain­nya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertim­bangan.”

Halaman 15: “Faktor yang paling me­nentukan adalah Pen­da­patan Domestik Bruto (PDB). Proyek yang memberi kontri­busi terbesar terhadap per­tumbuhan PDB harus dime­nang­kan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun pro­yek yang ber­sang­kutan akan mem­bawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB.”

Halaman 16: “Claudia dan saya men­diskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya pertum­buhan PDB bisa terjadi walau­pun hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani utang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi.”

Halaman 19: “Sangat mengun­tungkan buat para penyusun stra­tegi karena di tahun-tahun enam puluhan ter­jadi revolusi lain­nya, yaitu pem­berdayaan perusahaan-perusahaan inter­nasional dan organisasi-or­ganisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF.”

Bab tiga khusus tentang Indonesia dengan judul: “Indonesia, pelajaran buat Penghancur Ekonomi”.

Halaman 21: “Prioritas dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat ialah supaya Suharto melayani Washington seperti yang dilakukan oleh Shah Iran. AS juga mengharapkan bahwa In­donesia akan menjadi model buat ne­gara-negara di sekitarnya. Wa­shing­ton mendasarkan sebagian dari stra­teginya pada asumsi bahwa man­faat yang diperoleh dari Indonesia akan mem­punyai dampak positif pada se­luruh dunia Islam, terutama di Timur Tengah yang eksplosif. Dan kalau itu tidak cukup, Indo­nesia mempunyai minyak. Tidak seorangpun yang me­nge­tahui dengan pasti tentang besar­nya dan kwalitas dari cadangan minyaknya, tetapi para akhli seis­mo­logi sangat antusias tentang ke­­mung­kinan-kemungkinannya.”

Halaman 28: “Akhirnya kepada kami diberikan keanggotaan dari Bandung Golf & Racket Club yang ekslusif, dan kami bekerja dalam kantor cabang Ban­dung dari Perusahaan Umum Lis­trik Negara (PLN), perusahaan listrik yang dimiliki oleh pe­merintah. ”Dari sanalah John Perkins dengan Tim-nya beroperasi, yang didukung se­penuhnya oleh para anak bangsa yang menjadi pengkhianat terhadap rak­yat dan bangsanya sendiri.
http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat2&id=65

No comments: