Wednesday, February 13, 2008

Udang Di Balik Skandal Syaf dan BPPN


ANALISA KWIK KIAN GIE

Udang Di Balik Skandal Syaf dan BPPN



MANTAN Kepala BPPN Syaffrudin Arsyad Temenggung (Syaf) menjadi tersangka dengan tuduhan merugikan negara sebesar Rp 535 miliar, karena menjual aset yang terkuasai oleh BPPN dengan harga Rp 37 miliar, sedangkan uang negara yang involved dalam proyek ini sebesar Rp 632 miliar.

Kalau tuduhan kepada Syaf hanya semata-mata atas dasar selisih harga ini tok jelas tidak adil. Aset negara dalam jumlah ratusan triliun rupiah lenyap, dan lenyapnya ini dibenarkan oleh International Monetary Fund (IMF) yang memandu, dan bahkan memerintah dengan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) atau yang terkenal dengan nama Letter of Intent (Lol).

Dari pihak Indonesianya yang memberikan pembenaran terhadap pemusnahan aset negara dalam magnitude sebesar itu ialah pasal 26 PP nomor 17 tahun 1997. Sejak itu, perolehan kembali uang negara yang hilang dibenarkan dengan dalih yang berbunyi: "di negara-negara yang terkena krisis, recovery rate rata-rata 15 persen dapat dibenarkan."

Syaf hanya dapat dianggap koruptor kalau dia, menerima suap dari pembeli aset yang bersangkutan. Apakah Syaf menerima suap atau tidak, yang paling kompeten menentukan dan membuktikannya ialah aparat penegak hukum.

Maka lebih baik menelusuri bagaimana terjadinya. Pada awalnya sebuah perusahaan yang bernama PT Naga Manis Plantation mendapat kredit dari Bank Bumi Daya sebesar sekitar 100 juta dolar AS ketika itu. Kredit ini macet, lalu dialihkan kepada PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), di mana RNI mengambil ekuiti sebesar Rp 400 miliar yang dianggap 67 persen dan sisanya dalam bentuk utang PT RNI kepada Bank Bumi Daya sebesar Rp 230 miliar.

Kredit atau bahkan proyeknya macet total. Sementara itu Bank Bumi Daya dilebur ke dalam Bank Mandiri, yang menyerahkan aset dan kredit macet ini kepada BPPN. Seperti kita ketahui, BPPN berganti pimpinan dan staf berkali-kali. Yang menyelesaikan masalah ini ialah BPPN yang dikepalai oleh Syaf.

Maka kita tunggu saja bagaimana jadinya. Sementara itu menarik untuk ditelusuri sejarahnya dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana prosesnya kok PT Nagamanis Plantation sampai bisa memperoleh kredit begitu besar dari Bank Bumi Daya ketika itu? Apakah kredit diberikan dengan wajar atau tidak? Apakah kalau proyeknya secara fisik on the spot diteliti oleh para ahli yang kompeten dan bonafid, proyeknya masuk akal? Apakah pengalihan kredit macet dari Bank Bumi Daya kepada PT RNI dengan struktur seperti tersebut masuk akal ditinjau dari akal sehat dan kelayakan ekonomis sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan?

Kalau semuanya ini sudah ditelusuri, siapa yang memberi landasan hukum BPPN boleh menjual aset yang ada di tangannya jauh di bawah kredit yang termakan oleh proyek yang bersangkutan? Apa alasannya? Apa motif IMF, dan mengapa semua menteri ketika itu mengambil kebijakan yang tidak masuk akal itu, kalau dianggap tidak masuk akal?

Ada menteri yang ikut dalam pengambilan keputusan dan sekarang menjadi menteri penting dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Mengapa beliau tidak dilibatkan dalam penelitian masalah ini?

Tentang kerugian negara jauh lebih besar yang dianggap wajar ialah penjualan Bank Central Asia (BCA). BCA mempunyai tagihan kepada pemerintah dalam bentuk Obligasi Rekapitalisasi Perbankan sebesar Rp 60 triliun. IMF dan seluruh anggota Kabinet Gotong Royong kecuali satu orang menteri menyetujui BCA dijual dengan nilai Rp 5 triliun untuk 51 persen saham. Kalau diseratuspersenkan, pemerintah menerima hasil penjualan BCA sekitar Rp 10 triliun, tetapi harus membayar utang kepada pemilik swasta baru sebesar Rp 60 triliun berikut seluruh bunganya.

Semua menteri kecuali satu orang setuju. Dan yang setuju ini banyak yang duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu.
http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat2&id=69

No comments: