Wednesday, February 13, 2008

Lotre Buntut


ANALISA KWIK KIAN GIE

Lotre Buntut



MEMPERHATIKAN seminar-seminar, talk shows, pembicaraan-pembicaraan dengan siapa saja dalam kesempatan apa saja, yang mencuat adalah kesedihan dan keprihatinan. Yang tertimpa kemiskinan sedih. Yang kemakmurannya berkurang tetapi masih bisa hidup cukup sangat prihatin.

Yang miskin sangat sedih karena kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan sebentar lagi TDL, serta liberalisasi total dalam perdagangan dan public utilities membuat mereka lebih miskin sampai hampir mati.

Kelaparan sampai mati buat bagian terbesar dari rakyat yang disertai penumpukan kekayaan yang sangat luar biasa buat elitnya selalu terjadi dalam sistem liberalisme mutlak dan total serta mekanisme pasar dalam bentuknya yang paling awal, yang primitif dan yang telanjang. Yang seperti apa itu?

Yaitu yang ekses-eksesnya belum dipagari dengan undang-undang anti monopoli, sistem perpajakan yang progresif, sistem asuransi jaminan sosial, kebijakan dengan alokasi dana yang cukup untuk pembelaan usaha kecil, pemberian layanan kesehatan dan pendidikan cuma-cuma atau sangat murah buat yang tidak mampu.

Kalau semuanya itu tadi tidak ada, yang terjadi ialah yang terkenal dengan persaingan gontokan bebas atau persaingan saling potong leher atau persaingan yang survival of the fittest. Bukankah semua rambu-rambu yang tersebut ada di Indonesia? Ada di atas kertas. Dalam praktiknya semuanya musnah karena korupsi.

Paham yang dipraktekkan oleh Tim Ekonomi dalam kabinet, dan semakin diradikalkan setelah reshuffle ialah kapitalisme, liberalisme, globalisme dan mekanisme pasar yang paling dasar, paling primitif tanpa rambu-rambu.

Maka semua barang harus ditentukan oleh mekanisme pasar murni, bahkan kalau di dalam negeri tidak ada mekanisme pasarnya, karena pengadaan BBM dimonopolikan kepada Pertamina, ya harga yang dibentuk di New York dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan minyak mentah Indonesia itu yang menjadi diktator.

Kebijakan minyak pemerintah adalah kebijakan lotre buntut, yaitu pemerintah membuntut harga minyak mentah yang ditentukan di New York buat rakyatnya yang memiliki minyak mentah. Negara yang katanya demokrasinya sudah hebat berkat reformasi yang mengacak-acak UUD 1945 mengangkat New York Mercantile Exchange (NYMEX) sebagai diktator dalam perminyakan bangsa Indonesia untuk minyak miliknya sendiri.

Lho, bagaimana mungkin demokrasi yang rakyatnya langsung memilih Presiden, Wakil Presiden dan parlemen justru secara membabi buta menyerahkan rakyatnya untuk diinjak sampai kelaparan dan mati oleh diktator yang namanya NYMEX? Mana aku tau…

Kalau begitu mengapa golongan yang berkecukupan prihatin, was-was, takut? Karena yang menderita kemiskinan dan terancam mati kelaparan ada juga yang hidup di perkotaan dengan jarak sangat dekat dengan pusat-pusat kemewahan yang sangat gemerlapan.

Golongan mapan takut kalau mereka tidak tahan lapar, mata gelap, terus merampok makanan di supermarket dan hypermarket yang melimpah ruah. Kalau itu terjadi, yang sudah-sudah, selalu saja terjadi penimbrungan oleh anasir-anasir ekstrem radikal yang disebut SARA.

Golongan mapan menyebutnya uncontrolled social revolution. Keonaran, kekacauan, pembakaran, pembunuhan tanpa ada yang memimpin dengan otak yang rasional. TNI dan Polri hanya mempunyai pilihan membunuh anak bangsanya sendiri untuk mengembalikan ketertiban dan ketenangan.

Walaupun pilihan rakyat, kalau dalam praktiknya mengecewakan rakyat yang memilih dan bahkan dirasakan mengkhianatinya, sejarah membuktikan akan terjadi yang ditakutkan oleh golongan mapan. Kecuali oleh yang sedang mabuk kepayang oleh kekuasaan.
http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat2&id=68

No comments: