Showing posts with label Artikel Bebas-ku. Show all posts
Showing posts with label Artikel Bebas-ku. Show all posts

Friday, October 24, 2008

Pasangan BoDoh, tp dak tau siapa yg memulai untuk jadi b0d0h

Komentarku:
Dulu waktu kawin niatannya apa ya ... Cuman gara2 game gitu loh dan ternyata game bisa bikin orang gila kali ya, seperti pasangan bodoh ini. Penasaran juga mau nyobain game ini bah, kali aja seperti WOW, bisa dapet duit.
------------------------------------------------------------------------------

Online divorcee jailed after killing virtual hubby



Maple Story (sky)

TOKYO: A 43-year-old Japanese woman whose sudden divorce in a virtual game world made her so angry that she killed her online husband's digital persona has been arrested on suspicion of hacking, police said Thursday.

The woman, who is jailed on suspicion of illegally accessing a computer and manipulating electronic data, used his identification and password to log onto popular interactive game "Maple Story" to carry out the virtual murder in mid-May, a police official in northern Sapporo said on condition of anonymity, citing department policy.

"I was suddenly divorced, without a word of warning. That made me so angry," the official quoted her as telling investigators and admitting the allegations.

The woman had not plotted any revenge in the real world, the official said.

She has not yet been formally charged, but if convicted could face a prison term of up to five years or a fine up to $5,000.

Players in "Maple Story" raise and manipulate digital images called "avatars" that represent themselves, while engaging in relationships, social activities and fighting against monsters and other obstacles.

The woman used login information she got from the 33-year-old office worker when their characters were happily married, and killed the character. The man complained to police when he discovered that his beloved online avatar was dead.

http://videogames.yahoo.com/feature/online-divorcee-jailed-after-killing-virtual-hubby/1259111

Friday, May 05, 2006

Sutan Sjahrir, Etos Politik dan Jiwa Klasik

IGNAS KLEDEN
Dalam dua pucuk suratnya yang ditulis dari penjara Cipinang dan dari tempat pembuangan di Boven Digoel, Sjahrir mengutip sepenggal sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller. Dalam teks aslinya kutipan itu berbunyi: und setzt ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein—yang maknanya: hidup yang tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan.
Menurut pengakuannya, kalimat-kalimat yang indah itu dikutipnya dari luar kepala. Jadi kita dapat menduga petikan tersebut sangat disukainya dan besar artinya buat hidupnya.
Membaca tulisan-tulisan Sutan Sjahrir muncul kesan yang sangat kuat dalam diri saya bahwa bagi dia politik bukanlah perkara yang sangat digandrunginya, tetapi lebih merupakan perkara yang tak terelakkan dalam hidupnya. Demikian pula politik untuk dia tidak terutama berarti merebut kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan itu, bukan machtsvorming & machtsaanwending menurut formula Bung Karno.
Politik juga bukan persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh pelaksana money politics dewasa ini di Tanah Air kita. Bahkan, politik juga tidak sekadar mempertaruhkan kemungkinan untuk merebut kemungkinan yang lebih besar, sebagaimana yang kita pelajari dari Otto von Bismarck dari Prusia.
Bagi Sjahrir, politik rupanya bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas instrumental atau Zweckrationalitaet yang diajarkan Max Weber. Bagi Sjahrir, politik lebih dari pragmatisme simplistis, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai atau Wertrationalitaet.
Karena itulah, politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Kalau politik dalam pengertian Sjahrir bukan semua yang disebut di atas, apa gerangan politik menurut pandangan dia? Menurut tafsiran saya, kutipan dari Friedrich Schiller di atas adalah sebagian jawabannya. Kalau penggal sajak Schiller itu boleh kita parafrasekan, maka politik bagi Sjahrir adalah das Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinnen—politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri.
Konsepsi politik seperti itu kedengarannya terlalu halus kalau diperhadapkan dengan Realpolitik, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat internasional. Namun, di balik kehalusan itu tegak sebuah keberanian yang kukuh karena tanpa komplikasi, suatu kesahajaan yang menakutkan karena tanpa pretensi.
Khusus untuk para politisi muda, konsepsi seperti itu membantu mengingatkan bahwa dalam politik ada keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Wajar belaka bahwa gagasan seperti itu tidak selalu mudah dipahami oleh banyak orang karena mengandaikan pengertian tentang beberapa asumsi yang filosofis sifatnya.
Mempertaruhkan hidup adalah suatu sikap dan perbuatan yang bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang serba nekat. Namun, Sjahrir memperingatkan bahwa dalam politik, hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. Pada titik inilah dapat kita pahami kecemasannya tentang orang-orang muda di Indonesia pada masa selepas Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan. Mereka penuh tenaga dan determinasi, tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana hidup mereka harus dimenangkan.
Setelah Jepang menyerah kalah, Sjahrir mencatat dengan prihatin bahwa para pemuda terjebak di antara sikap nekat di satu pihak dan keragu-raguan di pihak lainnya. Semboyan "Merdeka atau Mati" ternyata dapat menjadi perangkap kejiwaan, karena selagi menyaksikan kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud sedangkan kesempatan untuk mati belum juga tiba, maka para pemuda itu terombang-ambing dalam kebimbangan yang tak menentu. Ini semua terjadi karena, menurut Sjahrir, selama Jepang berkuasa di Indonesia, para pemuda kita hanya dilatih berbaris dan berkelahi, tetapi tak pernah dilatih memimpin.
Mengatakan bahwa Sjahrir melihat politik sebagai sikap mempertaruhkan hidup untuk memenangkan hidup, dapat memberi kesan bahwa dia mirip seorang politikus romantis yang tidak memahami bekerjanya mesin kekuasaan atau mechanics of power dalam politik praktis. Anggapan ini tidak sesuai dengan kenyataan hidup Sjahrir, baik kalau kita melihat sepak terjangnya dalam dunia politik maupun kalau kita membaca tulisan-tulisannya atau tulisan para pengamat dan kesaksian para sahabatnya.

Feodalisme

Di dasar hatinya, Sjahrir mendambakan kebebasan untuk setiap orang, yaitu individu-individu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk bertanggung jawab terhadap cita-cita dan tindak perbuatannya masing-masing. Impian itu mempunyai beberapa konsekuensi yang amat nyata.
Pertama, di dalam negeri, Sjahrir sangat cemas akan hidupnya kembali feodalisme lama dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik menjadi raja-raja versi baru yang tetap membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan. Karena itu, selain revolusi nasional dibutuhkan juga suatu revolusi sosial yang dinamakannya revolusi kerakyatan.
Revolusi nasional harus didahulukan karena hanya dalam alam kemerdekaan, perjuangan menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme dapat dilaksanakan. Kolonialisme Belanda, menurut Sjahrir, telah mengawinkan rasio modern dari Barat dengan feodalisme lokal dengan sangat cerdik, dan hasilnya adalah semacam fasisme terselubung yang menyiapkan lahan subur bagi fasisme Jepang.
Seterusnya, partai politik sebaiknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin.
Sementara itu, dalam politik nasional, dia bersama Bung Hatta mendorong berkembangnya sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan saja.
Kedua, secara internasional dia juga cemas melihat menguatnya fasisme yang ketika itu melebarkan sayapnya dari Spanyol, Italia, Jerman hingga ke Jepang. Dalam pandangannya, feodalisme lokal mudah sekali digabungkan dengan setiap kecenderungan totaliter karena massa rakyat yang tidak mempunyai pengertian dan keyakinan politik akan mudah saja dimobilisasi oleh seorang pemimpin politik melalui slogan, demagogi, dan sedikit pengetahuan tentang psikologi massa. Baik totalitarianisme maupun feodalisme mempunyai kesamaan watak dalam membunuh kebebasan perorangan yang pada akhirnya membuat manusia tak lebih dari budak kekuasaan.
Kecemasannya terhadap totalitarianisme kanan, yaitu fasisme, tidak lebih besar atau lebih kecil dari sikap awasnya terhadap totalitarianisme kiri, yaitu komunisme. Entah dari kanan atau dari kiri, totalitarianisme selalu menindas kebebasan perorangan yang dianggap sepele dan tak berarti dalam berhadapan dengan suatu totalitas besar, entah itu bernama negara entah diktatur protelariat.
Dalam politik internasional keyakinan ini direalisasikannya dengan menolak berpihak pada dua totalitas besar pada waktu itu, yaitu blok politik dan blok keamanan yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris berhadapan dengan blok kiri yang dipimpin oleh Uni Soviet.
Pembentukan Inter-Asian Relations Conference di New Dehli pada April 1947 mendapat dukungan penuh dari Sjahrir dalam kedudukannya sebagai perdana menteri Indonesia ketika itu. Seperti kita tahu, konferensi itu menjadi embrio suatu politik luar negeri yang bebas dan aktif, yaitu politik yang turut bertanggung jawab terhadap perkembangan kejadian-kejadian di dunia tanpa membangun afiliasi dengan salah satu dari blok-blok yang sedang bersaing.
Dengan semangat seperti itu tidaklah mengherankan kalau Sjahrir berpendapat bahwa revolusi nasional harus segera disusul oleh suatu revolusi sosial yang dapat membebaskan rakyat dari kungkungan feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan ke arah fasisme yang muncul bersama kapitalisme yang tak terkendali. Seterusnya, kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik, tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk merealisasikan diri dan bakat-bakatnya dalam kebebasan tanpa halangan dan hambatan.
Karena itulah, nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi, dan bukan sebaliknya, karena tanpa demokrasi maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan feodalisme lama yang hanya memerlukan beberapa langkah berikut untuk tiba pada fasisme. Dalam penilaian Sjahrir, inilah yang terjadi pada politik dan kepemimpinan Franco di Spanyol, Mussolini di Italia, Hitler di Jerman, dan Chiang Kai Sek di Tiongkok.

Humanisme

Kalau dalam negeri nasionalisme harus tunduk pada tuntutan demokrasi, maka dalam hubungan internasional, nasionalisme harus tunduk pada tuntutan humanisme karena kalau tidak, maka nasionalisme itu dapat menjadi sumber ketegangan dan perseteruan di antara bangsa yang satu dan bangsa lainnya. Fasisme dalam negeri hanyalah wajah lain dari chauvinisme dalam pergaulan antarbangsa. Pada titik ini kelihatan bahwa bagi Sjahrir, politik adalah usaha dan upaya mewujudkan nilai-nilai martabat dan kesejahteraan manusia.
Akan tetapi, nilai-nilai tersebut tak mungkin terwujud hanya dengan cara menghilangkan feodalisme dan menolak setiap politik yang totaliter. Taruhlah, tindakan-tindakan tersebut merupakan persiapan dan langkah-langkah secara negatif, maka kita dapat bertanya apa gerangan yang diusulkan Sjahrir sebagai langkah yang positif. Jawaban Sjahrir adalah edukasi, yaitu pendidikan dalam arti seluas-luasnya yang mungkin dikandung dalam pengertian itu.
Penekanannya pada edukasi inilah yang membuat Sjahrir demikian terlibat dan bahkan terpesona oleh beberapa urusan yang tidak begitu langsung berkaitan dengan politik. Di tempat pembuangannya di Banda Neira, teman- temannya yang paling akrab adalah anak-anak kecil yang hampir setiap hari bermain ke rumahnya, yang baju-baju mereka dia jahit sendiri dengan mesin jahit, yang diajaknya berenang dan bermain di pantai sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Mereka menjadi murid-murid pelajaran privat yang diberikannya, di mana mereka diajar membaca, menulis, berbahasa dengan benar, dan berani bertanya, dan dengan cara itu membuka pintu bagi mereka ke dunia ilmu pengetahuan. Kembali dari pembuangan, Sjahrir aktif lagi dalam pergerakan dan memberi perhatian khusus kepada para pemuda yang demikian penuh semangat, tetapi tidak diajarkan kepandaian memimpin, dengan akibat bahwa mereka selalu siap mati tanpa mengetahui mengapa mereka harus mati dan bukannya harus hidup dan menikmati hidup mereka.

Gabungan minat

Aneh tapi nyata bahwa di tengah kesibukan sebagai orang pergerakan, Sjahrir tetap memberi perhatian besar kepada perkembangan dunia ilmu pengetahuan, menulis pandangan tentang manfaat nuklir, mengikuti apa yang terjadi dalam seni dan sastra, melakukan studi-studi ilmu sosial, dan memberikan komentar tentang pemikiran-pemikiran filsafat pada masanya.
Gabungan minat dan kegiatan seperti ini hanya mungkin ada pada seorang pendidik, yaitu seseorang yang merasa bertugas melakukan transfer sejumlah pengetahuan kepada orang-orang yang dididiknya dan kemudian membantu transformasi pengetahuan tersebut menjadi seperangkat nilai agar nilai-nilai itu dapat diejawantahkan dalam sikap dan perbuatan.
Dalam kaitan ini, politik bagi Sjahrir pertama-tama berarti mendidik suatu bangsa dan rakyatnya untuk mandiri dan bebas. Kemandirian adalah lawan dari ketidakmatangan dan kebebasan adalah lawan dari ketergantungan. Karena itulah, dia selalu menekankan pentingnya dimensi-dalam atau aspek interioritas dari kebudayaan, politik, dan ilmu pengetahuan.
Dalam pandangannya, banyak kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu baru menjadi pemegang titel dan belum menjadi kaum intelektual. Mereka masih memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai perkara yang bersifat lahiriah belaka dan sebagai barang mati dan "bukan suatu hakikat yang hidup ... yang senantiasa harus dipupuk dan dipelihara".
Demikian pun tentang kebudayaan dan politik, Sjahrir menulis: Inilah inti persoalan: kita pada akhirnya adalah anak-anak zaman kita, dan kita mempunyai hati nurani. Sebutlah itu rasa respek terhadap diri sendiri, sebutlah itu kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan, sebutlah itu dengan nama apa saja—hati nurani itu berarti menguji diri sendiri pada pegangan batin kita, pada nilai-nilai, prinsip-prinsip, prasangka-prasangka, perasaan-perasaan dan naluri-naluri. Kita semua dalam diri kita mempunyai sedikit dari imperatif kategoris seperti yang dimaksud oleh Kant.
Pada titik itu kita tahu Sjahrir lebih dari seorang Realpolitiker. Karena dalam politik tidak berlaku apa yang oleh Kant dinamakan imperatif kategoris, tetapi yang lebih dominan adalah imperatif hipotetis, yakni suatu perintah bersyarat, dan di sini syaratnya adalah akibat atau hasil yang bakal diberikan oleh pelaksanaan perintah tersebut.
Pokok pertimbangan adalah apakah dengan melakukan suatu perintah, seseorang akan memperoleh akibat yang dibayangkannya. Kalau seorang politikus Indonesia memperjuangkan nasib para petani dan nelayan dengan perhitungan bahwa dia akan memperoleh dukungan suara yang cukup dalam pemilu, maka politikus ini bertindak berdasarkan imperatif hipotetis. Tindakannya ini mungkin baik dan perlu, tetapi tak bisa dijadikan prinsip umum bagi tindakan orang-orang lain yang kebetulan tidak mempunyai minat untuk posisi politik.
Namun, kadangkala kita bertemu juga dengan orang-orang yang berjuang mati-matian untuk kelompok petani dan nelayan, meskipun tidak ada target politik padanya, semata-mata karena merasa bahwa kelompok ini layak dibela karena mereka juga mempunyai martabat dan hak-hak seperti orang-orang dari kelompok lain yang lebih beruntung. Di sini kita berjumpa dengan orang-orang yang bertindak berdasarkan imperatif kategoris karena prinsip tindakan mereka dapat digeneralisasikan menjadi prinsip tindakan semua orang lain, dan bahkan dapat dijadikan prinsip dalam pembuatan undang-undang.
Tidaklah mengherankan bahwa dalam suratnya dari penjara Cipinang tertanggal 22 Juli 1934, Sjahrir menulis: "Hal meletakkan suatu dasar moral bagi politik dan kebudayaan lalu bisa dianggap sebagai politik dalam pengertian yang lebih luas".
Tak perlu diuraikan panjang-lebar bahwa dalam usaha melakukan pendidikan yang menghasilkan manusia yang bebas dan mandiri, Sjahrir melihat peranan besar yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan. Dengan cukup intensif, dia memanfaatkan waktunya dalam tahanan, dalam pelayaran ke tempat pembuangan, dan dalam keterasingan di Digul dan Banda Neira untuk mengikuti perkembangan politik Indonesia dan politik dunia melalui koran-koran yang sampai ke tangannya, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui buku-buku yang kebetulan ada padanya.
Catatan-catatan dalam pelayaran ke Digul menunjukkan perhatian dan pengamatannya yang cermat tentang keadaan dan cara hidup orang-orang di pulau-pulau sebelah timur, dan sangat mirip catatan etnografis seorang antropolog profesional, meskipun masih penuh dengan prasangka-prasangka Eurosentris.
Demikian pula catatannya tentang sesama orang buangan di Digul menunjukkan simpati besar kepada manusia yang menderita tekanan lahir batin dan kehilangan harapan, yang kesulitan-kesulitan kejiwaan mereka, dicoba dipahaminya berdasarkan pengetahuannya tentang psikologi atau psikoanalisa. Sedangkan tentang penduduk asli di Digul, dia dengan hati-hati menulis:
Barangkali aku akan menulis sketsa-sketsa atau studi-studi mengenai etnologi, meskipun di lain pihak aku tidak pula suka menulis secara diletantis, secara awam. Dan tulisan-tulisanku itu sudah pasti tak bisa lain daripada bersifat diletantis saja, karena buku-buku penuntun yang perlu untuk itu tidak tersedia, dan aku tidak bisa mempergunakan buku-bukuku sendiri yang masih ketinggalan di Jawa, dan yang belum juga bisa dikirimkan kemari, meski pun aku sudah berusaha untuk itu. Kawan-kawan yang harus menguruskannya tidak mempunyai uang untuk mengirimkannya.
Di Banda Neira, dia selalu ingin bekerja sepuluh jam sehari meskipun niat ini tidak selalu kesampaian.
Seperti juga Soekarno di Ende-Flores membuat studi yang intensif tentang Islam dan modernisasi, dan Hatta di Digul mengajar dan menulis tentang filsafat Yunani Antik, maka Sjahrir pun merencanakan bacaannya secara teratur berdasarkan buku-buku yang ada.
Untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu ekonomi, dia membaca John Stuart Mill, menulis tinjauan budaya yang panjang dan mendalam tentang buku Huizinga, membaca Ortega Y Gasset dan Benetto Croce untuk memperdalam pengetahuannya tentang filsafat kebudayaan, menulis kritik tentang positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, membaca dengan simpati besar biografi Friedrich Engels dan Gustav Meyer, membandingkan psikologi Kant dan Goethe, menganalisis penulisan cerpen Amerika, Belanda, dan Indonesia sambil memberi komentar kritis tentang majalah Poedjangga Baru dan bahkan menyempatkan diri berpolemik dengan penyair JE Tatengkeng.
Dengan minat yang sedemikian luasnya, Sjahrir tidak terombang-ambing dalam berbagai aliran pemikiran karena dia tetap berpegang pada satu fokus utama untuk menguji berbagai pandangan dan pendapat yang dihadapinya. Adapun titik fokal yang menjadi pegangan Sjahrir adalah pertanyaan: apakah suatu pandangan dunia, pendapat politik, paham filsafat, ajaran agama, dan bahkan teori ilmu pengetahuan membantu manusia untuk mandiri dan bebas atau malah membuatnya terperangkap kembali dalam jebakan-jebakan yang dibuatnya sendiri?

Sosialisme

Cita-cita tentang kebebasan dan kemandirian manusia inilah yang rupanya telah mendorong Sjahrir memilih sosialisme sebagai paham politiknya, yang kemudian pada tahun 1948 dijadikan dasar bagi partai politik yang didirikannya, yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Ahli ilmu politik dan Indonesianis terkemuka, Herbert Feith, menulis bahwa PSI merupakan jelmaan politik sosial-demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, menurut pendapatnya, partai ini lebih tepat dinamakan liberal-sosialis daripada sosial-demokratis, seandainya saja istilah "liberal" dalam pemakaian bahasa politik di Indonesia tidak telanjur diasosiasikan dengan kapitalisme yang tak terkendali.
Usulnya ini didasarkannya pada dua alasan. Pada satu pihak, istilah "demokrasi" tak begitu cocok karena partai ini hanya mempunyai sedikit pengikut di kalangan massa rakyat biasa. Keanggotaannya lebih terbatas pada kalangan kelas menengah perkotaan yang berpendidikan tinggi, sementara pengaruh politiknya tidak diperoleh melalui cara-cara populer seperti rally politik atau mobilisasi.
Pada pihak lainnya, partai ini memperlihatkan suatu kekhasan yang membedakannya dari partai politik lainnya, dalam perhatian besar yang diberikan kepada kebebasan individual, keterbukaan yang leluasa terhadap paham-paham intelektual di dunia, serta penolakan tegas terhadap berbagai bentuk obskurantisme, chauvinisme, dan kultus pribadi.
Sebetulnya, benih-benih organisasi PSI sudah ada semenjak 1932, saat Sjahrir dan Hatta kembali dari studi mereka di negeri Belanda. Keduanya sepakat mendirikan PNI Baru yang bertujuan mendidik kader-kader politik sehingga para kader ini sanggup meneruskan perjuangan kaum nasionalis, seandainya para pemimpinnya ditangkap atau dibuang. PNI Baru, seperti kita tahu, tidak mempunyai banyak waktu berkiprah mewujudkan cita-cita tersebut karena hanya dua tahun kemudian, pada 1934, kedua pemimpin itu ditangkap oleh Pemerintah Belanda, dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira, dan baru dibebaskan pada 31 Januari 1942.
Pertanyaan yang menarik dan penting: mengapa Sjahrir memilih sosialisme? Dilihat menurut konteks sejarahnya, sosialisme merupakan gagasan politik kiri pada masa itu yang menjadi representasi pemikiran progresif di kalangan kaum terpelajar Indonesia dalam menghadapi kolonialisme yang dianggap sebagai perkembangan lanjut dari kapitalisme. Dengan sendirinya, orang-orang yang menolak kolonialisme akan cenderung juga menolak kapitalisme sebagai induknya.
Teori imperalisme Lenin telah menarik perhatian hampir semua kalangan inteligensia (cendekiawan) Indonesia pada tahun 1920-an dan 1930-an, mulai dari Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan Sjahrir. Dalam semangat zaman ketika itu kapitalisme dan kolonialisme dianggap kekuatan sejarah yang cenderung kepada eksploitasi manusia atas manusia dan akan menghasilkan kemakmuran dan kejayaan untuk para pemilik modal dan penderitaan untuk bagian terbesar orang-orang yang hanya mempunyai tenaga kerja.

Revolusi sosial

Sebagai seorang inteligensia terkemuka pada masanya, Sjahrir terlibat dalam pemikiran yang sama. Pada Sjahrir, khususnya sosialisme, dibutuhkan untuk melaksanakan revolusi sosial di Indonesia untuk mengakhiri feodalisme dan mengikis benih-benih fasisme setelah tercapai kemerdekaan nasional.
Revolusi sosial ini perlu dilakukan agar feodalisme lama tidak hidup lagi setelah berakhirnya kekuasaan kolonial, tatkala para pemimpin politik bisa tergoda mempergunakan ketaatan hierarkis feodal untuk tetap membelenggu rakyatnya dalam kebodohan dan ketergantungan. Maka, sosial-demokrasi pada Sjahrir pada tempat pertama berarti sosialisme kerakyatan yang tujuannya adalah "membebaskan dan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia, yaitu bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia".
Tujuan seperti itu boleh dikata merupakan tujuan umum semua kelompok politik kiri. Maka, Sjahrir berusaha membedakan dirinya dan partainya dari beberapa golongan lain yang juga mengklaim melaksanakan politik kiri. Terhadap golongan komunis, Sjahrir menolak penggunaan kekerasan dan menolak pula pengertian diktatur proletariat sebagaimana dikonsepsikan oleh Lenin dan dipraktikkan oleh Stalin. Yaitu bahwa diktatur proletariat berarti diktatur yang dijalankan oleh partai tunggal, yaitu partai komunis, yang berhak memaksakan seluruh ketaatan rakyat.
Paham dan praktik ini ditolak secara kategoris oleh Sjahrir, yang yakin sepenuhnya bahwa tujuan politik adalah membebaskan rakyat dari cengkeraman segala jenis totalitarianisme agar memberi jalan kepada rakyat mencapai kemandirian dan kebebasan. Atas cara yang sama, Sjahrir juga menolak Bolsyewisme, yang menurut pendapatnya membenarkan penggunaan kekerasan oleh beberapa orang dalam Politbiro partai komunis Uni Soviet, yang menindas semua lawan politiknya, sekalipun tidak semua lawan politik itu dapat dikelompokkan ke dalam golongan kapitalis.
Karena itulah, penggabungan konsep sosialisme dan konsep demokrasi merupakan suatu keharusan sebab sosialisme menekankan perjuangan politik yang bersifat kerakyatan, sementara demokrasi menolak semua bentuk politik yang totaliter, serta menjamin terjamin kemandirian dan kebebasan setiap orang.

Sosialisme kerakyatan

Di pihak lain, Sjahrir juga melihat perbedaan antara sosial-demokrasi yang berkembang di negara-negara Eropa dan sosialisme kerakyatan yang berkembang di negara-negara Asia, khususnya di Indonesia. Perbedaan itu terlihat dalam dua soal utama, yaitu dalam sikap terhadap kolonialisme dan dalam pandangan tentang industrialisasi. Dalam berhadapan dengan kekuatan kolonial, kaum sosialis kerakyatan di Asia lebih bersedia bekerja sama dengan kaum komunis dalam melakukan akselerasi suasana revolusioner, tetapi menolak tegas penggunaan cara-cara kediktaturan.
Seterusnya, dalam peralihan dari masyarakat feodal-agraris ke masyarakat industri modern, kaum sosialis kerakyatan di Asia lebih berani mendorong percepatan peralihan tersebut, sementara kaum sosial-demokrat di Eropa selalu waswas dengan peralihan yang terlalu cepat karena khawatir bahwa kegagalan dalam peralihan tersebut akan mengundang metode paksaan dan kekerasan yang dijalankan oleh suatu diktatur yang dibenarkan oleh sistem komunis.
Sikap kerakyatan Sjahrir dengan komitmen kuat kepada martabat pribadi setiap orang menyebabkan kedudukan Sjahrir agak terpencil di tengah gerakan-gerakan nasionalis lainnya. Dalam berhadapan dengan rakyat bangsanya sendiri, dia enggan melakukan aksi massa seperti yang dilakukan oleh Soekarno, dan tidak tertarik juga untuk menggerakkan rakyat lewat agitasi politik sebagaimana diusulkan oleh Tan Malaka. Lain dari itu, Tan Malaka memberi penekanan utama pada kebutuhan materiil rakyat, sedangkan Sjahrir menekankan kesejahteraan dan sekaligus martabat manusia orang per orang.
Seterusnya, dalam pandangan Sjahrir, sekalipun perjuangan kaum buruh tetap mempunyai watak internasional dari perjuangan kelas kaum buruh di seluruh dunia, dia dengan tegas melihat perjuangan sosialis kerakyatan sebagai perjuangan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat manusia Indonesia; dan membedakan diri dari politik partai komunis yang memperlakukan perjuangan politik mereka di Indonesia sebagai bagian dari aksi massa yang harus merebut kekuasaan nasional sebagaimana diharuskan oleh strategi internasional di bawah kendali Moskow.
Sebaliknya, terhadap kaum nasionalis yang mendewa-dewakan semangat kebangsaan, Sjahrir melihat dengan cemas munculnya potensi chauvinisme yang berkerabat dekat dengan fasisme. Demikian pula rasionalisme dan modernisme yang ditawarkan oleh politiknya tampaknya terlalu sekular untuk kaum agama.
Sikap kritisnya yang tegar dan komitmennya yang penuh kepada nilai-nilai martabat manusia membuat jalan pikiran dan politiknya tidak selalu mudah dipahami. Penilaiannya tentang strategi koperasi dan nonkoperasi yang dijalankan kaum nasionalis dalam berhadapan dengan pemerintah kolonial Belanda mengikuti suatu logika tentang moralitas yang ternyata tidak selalu mudah dipahami, bahkan oleh orang-orang terpelajar pada masa itu.
Dalam penilaian Sjahrir, para tokoh nasionalis seperti Bung Hatta yang memilih jalan nonkoperasi secara politik sebetulnya melakukan suatu koperasi secara moral dengan pihak penjajah. Mereka yang menolak kerja sama politik dan bahkan melakukan oposisi politik pada dasarnya percaya bahwa pemerintah penjajah Belanda masih berpegang pada etika politik yang terwujud dalam hukum dan karena itu tidak akan memberangus hak-hak politik dari para pengkritik dan lawan politiknya.
Ada asumsi dan kepercayaan bahwa baik pemerintah kolonial maupun lawan politiknya sama-sama berpegang pada suatu moralitas politik yang sama. Sebaliknya, mereka yang memilih jalan koperasi yaitu bekerja sama dengan pemerintah kolonial pada hakikatnya melakukan suatu nonkoperasi secara moral karena mereka tidak percaya lagi bahwa pemerintah penjajah dalam menjalankan politiknya masih berpegang pada suatu moralitas. Mereka tidak yakin lagi bahwa hak-hak politik para pengkritik politik kolonial masih dihormati menurut nilai-nilai suatu etika politik dan karena itu menganggap bahwa setiap perlawanan dan oposisi langsung tidak akan ditoleransi dan tidak juga dilindungi oleh hukum.
Cara bernalar seperti itu jelas menunjukkan bahwa Sjahrir seorang yang terlatih berpikir dialektis. Kontradiksi yang dijumpai dalam hidupnya tidak diterima sebagai jalan buntu, tetapi sebagai antitesa yang lahir dari sejarah hidupnya yang akan menggerakkan proses menuju suatu sintesa yang dapat memberi harapan baru.
Ketika menerima surat keputusan dari pemerintah kolonial Belanda tentang pembuangannya ke Boven Digoel, maka jelas ada kesedihan mendalam yang dirasakannya bahwa dia akan terpisah selama bertahun-tahun dari keluarga dan kaum kerabat yang dicintainya. Akan tetapi, surat keputusan dengan alasan yang tak pernah jelas itu telah diterimanya sebagai berkah yang mengatasi kebimbangan hati antara mengabdikan diri kepada keluarga atau membaktikan hidup untuk rakyat dan bangsanya. Tanpa nada pathetis yang berlebihan, dia menulis dalam suratnya dari penjara Cipinang tertanggal 9 Desember 1934:
[Berakhirlah sekarang keragu-raguan dan rasa susah yang kualami selama dua tahun terakhir ini, dan sekarang aku tidak mau dan tidak boleh memikirkannya lagi. Seolah-olah aku diingatkan kepada bangsaku, tatkala kuterima beslit tentang pembuangan itu; diingatkan pada segala sesuatu yang mengikat aku pada nasib dan penderitaan bangsa yang berjuta-juta ini.
Bukankah kesedihan pribadi kita akhirnya hanya sebagian kecil saja dari penderitaan yang besar, yang umum itu? Bukankah justru penderitaan itu merupakan ikatan kita yang semesra-mesranya dan sekuat-kuatnya? Justru sekarang—pada saat aku barangkali harus berpisah untuk selama-lamanya dengan yang paling kucintai dan yang paling indah bagiku di dunia ini—justru sekarang inilah aku merasa lebih terikat pada bangsaku, aku semakin mencintainya lebih daripada yang sudah-sudah.]

Jarak kebudayaan

Dalam perasaan cinta yang demikian mendalam kepada bangsanya, ternyata ada jarak kebudayaan dan jarak intelektual yang lebar antara Sjahrir dan rakyatnya. Dia kadang mengeluh bahwa cara pikirnya, alasan-alasan rasa gembira, dan rasa sedihnya demikian berbeda dari yang ada pada orang-orang di sekelilingnya. Hambatan-hambatan tersebut tidak selalu dapat diatasi dan sampai tingkat tertentu menghalangi saling-pengertian di antara kedua pihak, sekalipun kedua-duanya ingin saling mendekati.
Untuk yang satu Sjahrir terlalu Eropa, terlalu Belanda, terlalu banyak berpikir. Untuk Sjahrir, rakyat yang dicintainya terlalu lamban, terlalu bertele-tele, dengan tingkah laku yang tidak selalu dapat dipahami secara logis. Inilah salah satu alasan mengapa dia demikian ingin agar ada cukup waktu padanya memperdalam studi-studi yang bersifat antropologis dan sosiologis tentang berbagai suku bangsa di Indonesia.
Seperti kita tahu keinginan itu tak pernah kesampaian. Selagi berada dalam penjara dan di tempat pembuangan, dia tidak punya cukup kepustakaan yang dapat membimbingnya secara ilmiah melakukan studi tersebut. Setelah lepas dari pembuangan dan bebas dari tahanan, dia tidak lagi punya cukup waktu karena terpanggil oleh tugas-tugas politik.
Seorang penulis Amerika, Charles Wolf Jr, yang menulis pengantar untuk terjemahan Inggris buku Sjahrir Out of Exile, berpendapat bahwa seandainya Sjahrir boleh memilih di antara politik dan ilmu pengetahuan, pastilah dia memilih melakukan studi-studi yang bersifat ilmu pengetahuan. Meski demikian, prestasi yang dicapai oleh Sjahrir dalam bidang politik sudah tercatat dalam sejarah.
Dengan semua keberhasilan politiknya sebagai perdana menteri pertama, sebagai ketua delegasi Indonesia ke Dewan Keamanan PBB, sebagai penasihat presiden dan kemudian sebagai pendiri partai politik, boleh dikata Sjahrir bukanlah seorang politikus yang dengan penuh gairah memilih politik sebagai bidang pengabdiannya. Dia lebih melihat politik sebagai tanggung jawab yang tak terelakkan yang harus dipikulnya.
Karena itu, dia tak pernah memandang politik sebagai tujuan, dan bahkan kemerdekaan nasional tidak menjadi tujuan akhir politiknya. Kemerdekaan nasional hanyalah jalan mewujudkan martabat manusia dan kesejahteraan bagi bangsanya, sedangkan politik hanyalah jalan mencapai kemerdekaan nasional.
Mengenang semua ini sekarang dan membicarakan kembali pengertian, apresiasi, dan keyakinan politik seperti itu, mungkin timbul kesan betapa jauh ideal politik yang diajukan Sjahrir dari praktik politik Indonesia saat ini. Apakah Sjahrir terlalu jauh dari kita, atau kita yang terlalu jauh dari gagasan politiknya? Apakah terlalu mengawang-awang mendambakan kesejahteraan untuk semua orang tanpa terlalu banyak kemiskinan, dan kebahagiaan semua orang dalam kebebasan tanpa terlalu banyak kekangan dan hambatan?
Kebebasan dalam pengertian Sjahrir bukanlah sekadar kebebasan politik, tetapi keluasan dan keleluasaan jiwa yang memandang dunia dengan gembira tanpa prasangka, yang tidak terhambat oleh kekangan dan kecurigaan-kecurigaan yang sempit. Dalam pandangan Sjahrir inilah rahasia jiwa klasik yang ada pada Yunani Antik, yang ditemukan kembali dalam renaisans Eropa, dan yang masih terlihat pada karya-karya Goethe dan Schiller.
Untuk jiwa klasik dunia akan serba luas dan bukannya sempit dan picik, hidup itu mulia dan tak pernah hina, seni selalu indah dan tidak jahat, dan manusia adalah makhluk penuh bakat yang harus diolah dan dikembangkan. Kebudayaan akan dibuat abadi oleh jiwa-jiwa klasik ini, politik menjadi perkara yang luhur, dan ilmu pengetahuan akan terbuka cakrawalanya seluas kaki langit karena pikiran dan jiwa sanggup menerobos batas-batasnya sendiri.
Sangat mungkin Sjahrir sendiri menyadari sedari awal bahwa politik dengan muatan moral yang demikian berat tak akan menang dalam waktu singkat, semata-mata karena tak terpikulkan dan tak selalu dapat dipahami. Akan tetapi, politik dalam artian Sjahrir bukanlah suatu proyek, bukan sekadar program, tetapi kehidupan itu sendiri.
Partai politik Sjahrir telah kalah dan dikalahkan oleh kekuasaan politik. Yang tinggal pada kita adalah suatu etos politik yang memberi keyakinan bahwa martabat manusia dan jiwa klasik tak selalu dapat dimenangkan, tetapi pasti tak akan pernah dapat dikalahkan sampai tuntas buat selamanya. Dalam arti itu, Sjahrir memenuhi janjinya: dia telah mempertaruhkan hidupnya dan dia telah memenangkannya.
IGNAS KLEDEN Sosiolog, Ketua KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi)
* Tulisan ini merupakan versi singkat orasi pada "Sutan Sjahrir Memorial Lecture" di Galeri Cipta II, TIM, 8 April 2006. Semua anotasi dihilangkan untuk keperluan publikasi ini.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/06/Bentara/2628301.htm

Friday, April 28, 2006

Kemiskinan dan Ekonomi Balon

Kwik Kian Gie
Berita utama Kompas tanggal 20 April 2006 melaporkan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan pameran Inacraft 2006. Sungguh menarik karena berisi pengakuan bahwa jumlah pengangguran dan kemiskinan tidak menurun walaupun ada pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu masyarakat dibuat tercengang atas melejitnya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan menguatnya nilai tukar rupiah. Apakah dua buah indikator ekonomi ini riil ataukah semu, dan bahkan merupakan balon? Hal ini akan saya ulas di paruh kedua tulisan ini.
Bisa bertolak belakang
Yang dikemukakan oleh Presiden SBY sangat menggembirakan. Kita gembira tidak karena masih banyaknya pengangguran dan kemiskinan, tetapi gembira karena Presiden mengenali bahwa hubungan antara apa yang dinamakan indikator ekonomi makro dengan penderitaan rakyat bisa bertolak belakang. Hampir semua ekonom dan lembaga-lembaga internasional selalu mengatakan, pertumbuhan ekonomi mesti mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Bahkan dihitung secara eksak bahwa pertumbuhan ekonomi sekian persen akan mengurangi pengangguran sekian persen.
Lebih konyol lagi, dihubungkan begitu saja secara eksak bahwa investasi sekian persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekian persen. Maka, yang dikejar hanyalah pertumbuhan ekonomi tanpa peduli apakah pertumbuhan itu lebih memperkaya yang sudah kaya dan lebih menyengsarakan yang sudah miskin. Sekarang Presiden SBY terang-terangan mengatakan bahwa "... lapangan kerja baru yang tercipta oleh satu persen pertumbuhan ekonomi masih sangat rendah."
Terus bagaimana? Presiden SBY seolah didukung oleh ekonom Amerika yang menjadi terkenal karena bukunya yang menghebohkan (The Confessions of an Economic Hitman), yaitu John Perkins. Saya kutip yang relevan buat tulisan ini. Halaman 15-16: "Faktor yang paling menentukan adalah pendapatan domestik bruto (PDB). Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB.... Pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani utang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi."
Pengenalan oleh Presiden SBY bahwa pertumbuhan ekonomi tidak otomatis menciptakan lapangan kerja juga didukung oleh angka-angka di Indonesia. Selama 32 tahun sejak tahun 1967, pertumbuhan PDB rata-rata 7 persen per tahun. Namun, perbandingan antara perusahaan besar dengan usaha kecil dan menengah (UKM) per tahun 1999 sebagai berikut: jumlah perusahaan 36.815.409. Yang besar 1.831 atau 0,01 persen. Yang UKM 36.813.578 atau 99,99 persen. Sumbangan dari yang 0,01 persen dalam pembentukan PDB sebesar 59,36 persen. Yang hanya 0,01 persen menyumbang 40,64 persen dalam pembentukan PDB.
Ikut membentuk PDB berarti berproduksi dan berdistribusi, serta memperoleh laba. Bayangkan ketimpangannya selama 32 tahun dengan pertumbuhan PDB tinggi.
UKM yang praktis tidak mendapat fasilitas apa-apa menyerap 99,44 persenangkatan kerja. Yang 0,01 persen dengan segala fasilitas, termasuk BLBI, menyerap 0,56 persen saja angkatan kerja. Ini memang angka-angka tahun 1999. Tetapi, saya pernah melihat angka-angka per tahun 2003. Bedanya tidak berarti sama sekali. Terlihat bahwa kaitan antara pertumbuhan PDB dengan penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan bisa sangat jauh kalau arah investasi tidak direncanakan dengan baik.
Bagaimana penjelasannya? Yang diartikan dengan PDB adalah semua produksi seluruh bangsa dijumlah menjadi satu. Maka, kalau PDB dari seluruh bangsa dibuat oleh sekitar 100 orang dan karena padat modal mempekerjakan 200.000 buruh saja, dampaknya kenaikan PDB-ya hanya menyangkut 100 orang yang super kaya beserta 200.000 buruh yang memperoleh pekerjaan.
Peningkatan IHSG
Sekarang tentang meningkatnya IHSG dan penguatan rupiah. Dalam sejarah fluktuasi IHSG dan nilai tukar rupiah, keduanya seringkali terkait nyaris absolut. Mari kita segarkan ingatan kita tentang apa yang pernah terjadi di masa lampau.
Coba simak kembali statistik di masa lampau yang terkait dengan dua indikator ekonomi tersebut. Kita pernah mengenal angka IHSG 200, meningkat sampai 600, turun lagi menjadi 200, meningkat lagi sampai 600, turun lagi menjadi 200, dan kemudian meningkat lagi terus sampai sekitar 1.400 sekarang ini. Berbarengan dengan peningkatan angka IHSG, selalu diberitakan besar-besar betapa Indonesia kemasukan uang dollar banyak sekali yang dibelikan saham-saham di Bursa Efek Jakarta.
Apa dampaknya? Permintaan terhadap saham-saham Indonesia meningkat tajam yang membuat IHSG meningkat tajam. Karena yang membeli investor asing, mereka membawa dollar masuk yang dibelikan rupiah terlebih dahulu. Penawaran dollar dan permintaan rupiah meningkat tajam sehingga nilai rupiah menguat.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah modal asing akan mengalir masuk terus? Kalaupun tidak, apakah modal asing yang sudah tertanam dalam saham-saham itu tidak akan pernah dijual dengan maksud merealisasi labanya, yang lantas dibelikan dollar untuk dikembalikan ke negara asalnya?
Kalau ya, dapat diperkirakan bahwa ketika saham-saham dijual cepat dalam volume besar, IHSG akan menurun terus. Hasil penjualannya dalam rupiah akan dibelikan dollar yang berarti penawaran rupiah dan permintaan dollar akan melonjak. Akibatnya, IHSG dan nilai tukar rupiah bersama-sama anjlok. Apakah pernah terjadi? Sering seperti yang saya gambarkan tadi.
Pertanyaan menarik selanjutnya ialah apakah gejolak yang saya gambarkan itu kebetulan atau by design oleh para investor besar yang spekulan profesional? Yang sudah pernah kita alami memang direncanakan.
Ketika saham-saham rendah harganya yang dicerminkan dengan IHSG yang 200, investor asing membeli terus. Dengan pembelian ini harga saham meningkat terus. Ketika mencapai puncaknya yang 600, harga pokok rata-ratanya (200 + 600) : 2 = 400. Ketika mencapai puncaknya yang 600 laba mulai direalisasi dengan menjualnya. Para investor spekulan profesional mengatur penjualannya agar pada saat IHSG mencapai 400, semua sahamnya sudah terjual habis. Kondisi psikologi massa membuat investor amatiran tidak akan berhenti. Mereka akan menjualnya terus seraya menurunkan IHSG sampai titik terendah yang 200.
Apakah pola tersebut akan terulang? Buat saya, ya, karena tidak dapat dibayangkan uang sebanyak itu yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan keuangan internasional yang pandai dan berpengalaman ditanam dalam saham perusahaan- perusahaan Indonesia dengan perhitungan memperoleh keuntungan dari dividen. Motifnya jelas spekulasi.
Tentang penguatan rupiah
Bukankah rupiah menguat karena ekspor versus impor atau transaksi berjalannya surplus terus? Tidak juga. Tahun 1998 sampai dengan tahun 2004 memang surplus terus. Tetapi, bukan karena ekspornya yang meningkat tajam, melainkan impornya yang menurun tajam sebagai akibat dari krisis yang diikuti dengan kelesuan ekonomi. Karena ekonomi lesu, produksi menurun dan kebutuhan akan bahan baku dan bahan penolong yang diimpor menurun. Daya beli juga merosot sehingga impor barang konsumsi juga menurun.
Sekelumit angka-angkanya: transaksi berjalan tahun 2003 surplus 8,1 miliar dollar AS. Tahun 2004 masih surplus, tetapi menyusut menjadi 3,1 miliar dollar AS atau berkurang dengan 61,7 persen. Triwulan II tahun 2005 sudah minus 798 juta dollar AS dan triwulan III 2005 minus 2 juta dollar AS. Jelas sekali kecenderungannya menuju pada defisit dalam transaksi berjalan. Ekonomi baru mulai bangkit sedikit saja, impornya sudah lebih besar daripada ekspornya. Ini berarti kekuatan ekonomi kita sangat lemah. Kekuatan rupiah semata-mata karena masuknya dana asing yang spekulatif dan footloose.
Semua faktor krusial mengindikasikan melejitnya IHSG dan menguatnya rupiah karena spekulasi besar-besaran oleh para spekulan internasional yang profesional. Bahkan ada indikasi bukan spekulasi biasa lagi, tetapi dengan perencanaan supaya saham-saham habis ketika IHSG merosot sampai titik yang tidak lebih rendah daripada harga pokok rata-rata.
Mari sekarang kita letakkan semua yang saya tulis ini dengan latar belakang kredit bermasalah (non performing loan) yang membengkak. Banyaknya sepeda motor yang dikembalikan karena konsumen tidak mampu meneruskan cicilannya. Merosotnya kemampuan bank menyalurkan kreditnya maupun merosotnya permintaan kredit dari perusahaan-perusahaan. Bertenggernya loan to deposit ratio (LDR) yang tetap saja sekitar 40 persen. Ditutupnya banyak perusahaan karena tidak mampu bersaing dengan barang-barang dari China. Keuangan negara yang akan semakin sempit karena meningkatnya harga minyak. Kekalutan berpikir dalam pola subsidi dan sebagainya.
Saya tidak peduli terhadap pemodal besar. Artikel ini bermaksud membela pemodal yang pas-pasan. Janganlah ikut- ikutan. Anda menabungnya dengan susah payah.

Kwik Kian Gie Ekonom Senior

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/27/opini/2610409.htm

Monday, March 13, 2006

Blok Cepu dan Bangsa Mandiri

Kwik Kian Gie
Perundingan antara Pertamina dan ExxonMobil guna mencapai titik temu kerja sama mengeksploitasi sumur Blok Cepu amat alot. Perundingan telah lama dimulai. Ketika saya masih duduk sebagai anggota Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina ex officio, Pemerintah Amerika Serikat sudah ikut campur.

Pemimpin tertinggi ExxonMobil (EM), lalu Dubes Ralph Boyce, dan terakhir Presiden George W Bush ikut menekan Pemerintah Indonesia jangan sampai EM tidak dibolehkan ikut mendapat manfaat dari minyak di sumur Blok Cepu.

Semua kontraktor asing boleh mengeksplorasi dengan peraturan dan syarat jelas. Maka, tidak perlu ada perundingan alot sampai melibatkan presiden kedua pihak. Alotnya perundingan disebabkan permintaan EM yang sejak awal harus ditolak sama sekali tak mau berunding.

Dijual Tommy Soeharto

Semula Tommy Soeharto mempunyai izin untuk mengeksploitasi minyak di sumur ”kecil” Cepu. Lisensi itu berakhir tahun 2010, lalu dijual kepada EM. Mengetahui ada cadangan minyak 600 juta barrel, EM mengusulkan agar kontrak antara Indonesia dan EM diperpanjang hingga 2030, disertai deal bisnis rinci.

Saat itu status hukum Pertamina masih perum. Menurut undang-undang, yang berhak memutuskan adalah Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP), terdiri dari lima menteri dengan suara aklamasi. Jika tidak, keputusan diambil Presiden. Tiga anggota DKPP setuju, dua menolak kontrak diperpanjang. Karena aklamasi tidak dicapai, Presiden Megawati menerima ”bola panas”.

Sebelum keputusan diambil, badan hukum Pertamina berubah dari perum menjadi persero. Kekuasaan tertinggi di tangan pemegang saham, yaitu pemerintah. Namun karena bentuk hukumnya persero, pemerintah harus berpura-pura memberikan wewenang kepada Direksi Pertamina. Ternyata Direksi Pertamina di bawah Widya Purnama tak mau menyerah dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Namun, karena pemerintah dan Presiden AS ikut campur, menarik disimak apakah setelah diambil alih presiden, keputusannya menjadi lebih lunak daripada yang dikehendaki Widya Purnama?

Kita telusuri argumentasi pro-kontra, terus bersama EM atau 100 persen dieksploitasi Pertamina. Mengapa EM ngotot? Karena mereka menemukan kandungan minyak 600 juta barrel. Belakangan disebutkan, kandungannya 1,2 miliar sampai dua miliar barrel.

Kontrak adalah kontrak, setelah 2010 Blok Cepu harus 100 persen dieksploitasi Pertamina. Alasannya sederhana. Jika EM ngotot, pasti labanya besar. Maka, jika sepenuhnya dieksploitasi Pertamina, 100 persen laba jatuh ke Pertamina.

Mampukah Pertamina? Dirut Pertamina saat itu, Baihaki Hakim, menyatakan mampu, apalagi terletak di Pulau Jawa dan mudah aksesnya. Soal expertise bisa disewa, bukan mengundang EM sebagai majikan. Apakah ada dana, jelas ada, karena banyak bank antre memberi kredit jika kandungan minyak begitu besar.

Pesan Bung Karno

Setelah 60 tahun merdeka, pantaskah 92 persen minyak Indonesia dieksploitasi asing? Kini saatnya memperbesar porsi Indonesia dalam eksploitasi minyak sendiri? Khusus Blok Cepu, sumur ini dijadikan titik awal menjalankan strategi.

Sekitar dua bulan setelah menjadi Dirut Pertamina, Baihaki dan jajaran memberikan paparan kepada saya selaku Menko Ekuin kala itu tentang kebijakannya.

Dikemukakan, visi dan misinya menjadikan Pertamina perusahaan kelas dunia yang mampu mengembangkan diri menjadi perusahaan multinasional, seperti BP, Shell, dan EM.

Pertamina sudah menjadi organisasi besar, sementara cadangan minyak terus menyusut, dan minyak adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (nonrenewable resource). Maka, jika cadangan sudah menyusut, Pertamina harus menjadi perusahaan multinasional besar sehingga sumber-sumber minyak mentah diperoleh dari mana saja. Jika tidak, mau diapakan organisasi Pertamina dengan cadangan minyak yang sudah habis?

Itu sebabnya Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan saya menyetujui Pertamina mengambil risiko menanamkan modalnya untuk eksplorasi di mana saja. Saya berpesan agar dicermati supaya risiko yang diambil sudah diperhitungkan (well calculated risk).

Saat Executive Vice Presiden EM mendatangi saya dan mencoba meyakinkan, saya katakan, ”Please, bolehkah saya belajar menjadi perusahaan seperti Anda di Tanah Air sendiri, menggunakan cadangan minyak sendiri sebagai modal awal? Apakah ExxonMobil saat mulai tidak mengambil risiko besar yang Anda gambarkan menakutkan? Saya bukan Inlander.”

Saya kisahkan sikap Bung Karno yang membatasi eksploitasi sumber daya alam oleh asing. Yang lain, ”Kita simpan di tanah sampai para insinyur kita mampu menggarap sendiri,” kata Bung Karno.

Referensi lain, bagian pleidoi Bung Hatta di pengadilan Scheveningen 1932. Dalam sidang, majelis hakim mepertanyakan apakah bangsa Indonesia mampu mengurus diri sendiri di alam merdeka yang dikehendaki Bung Hatta bersama mahasiswa Indonesia yang bergaung Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda.

Bung Hatta mengatakan, ”Saya lebih suka melihat Nusantara tenggelam di laut daripada dijajah Tuan-tuan.” Majelis Hakim memvonis Bung Hatta bebas murni, tetapi di Nederlands Indie (Hindia Belanda) dengan alasan sama, tiga tahun sebelumnya, Bung Karno divonis dibuang dan dipenjara. Hingga kini, haruskah kita berjiwa terjajah? Presiden Yudhoyono selayaknya tidak menuruti kemauan EM dan tidak takut tekanan AS. Tidak semestinya Pemerintah AS ikut dalam deal bisnis.

Kwik Kian Gie
Mantan Menko Perekonomian dan Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Kabinet Gotong Royong

sumber:http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0602/23/opini/2460741.htm

Wednesday, February 15, 2006

just read gitu lohhhh

Google and Yahoo face their Congressional critics
Four of America's most powerful high-tech corporations were accused today of collaborating with repression and "enabling dictatorship" by falling in with Chinese censorship of the internet in return for access to the world's fastest-growing market.



Representatives from Microsoft, Yahoo!, Cisco Systems and Google defended themselves at a House of Representatives human rights subcommittee hearing, called to examine the issue of American corporate responsibility in the face of internet censorship.

Google and Yahoo! in particular have been hit by a barrage of criticism for their actions in China: Google's new China-specific search site filters results on politically sensitive terms such as Taiwan, Tibet or Tiananmen Square, and Yahoo! has been blamed for divulging information that has led to the jailing of two dissidents.

The hearing followed a spat two weeks ago when all four companies declined an invitation to send representatives to an information briefing organised by the same subcommittee.

As if to rub salt into the wounds, Chris Smith, the New Jersey Republican who heads the human rights subcommittee, even invited a group of bloggers to "live-blog" the hearing, saying that Americans had the right to publish and read "unfiltered news".

Elliot Schrage, Google's vice-president of corporate affairs, told today's hearings that figuring out China's internet market "has been a difficult exercise". But members of the House committee said the companies had only tried to explain their policies in China after a crush of negative media and government attention.

Tom Lantos, the full committee’s leading Democrat, told the company officials that they had amassed great wealth and influence "but apparently very little social responsibility".

"Your abhorrent actions in China are a disgrace," Mr Lantos said. "I simply don’t understand how your corporate leadership sleeps at night."

In prepared testimony, the companies appealed for guidance on how to work in what they called a challenging marketplace. Mr Schrage said "the requirements of doing business in China include self-censorship - something that runs counter to Google’s most basic values and commitments as a company."

Still, he said, Google decided to enter China because it thought it "will make a meaningful, though imperfect, contribution to the overall expansion of access to information in China".

Michael Callahan, Yahoo!'s general counsel, testified that "these issues are larger than any one company, or any one industry". He added: "We appeal to the US government to do all it can to help us provide beneficial services to Chinese citizens lawfully and in a way consistent with our shared values."

James Keith, the State Department’s senior adviser on East Asia, told the committee that China’s efforts to manipulate the internet have increased in the last year, "sending a chilling message to internet users". China’s "effort to regulate the political and religious content of the Internet is counter to our interest, to international standards and, we argue, to China’s own long-term modernisation goals," he said.

The hearing has highlighted the dilemma facing US high-tech firms, who cannot afford to miss out on the Chinese market but have little choice but to do so on China's terms. "They are in an extremely dicey position," said John Palfrey, a Harvard Law School professor.

The potential for profit is great: China is estimated to have more than 110 million Internet users already and the number could soon outstrip that of the US. But to do business, Western companiees must satisfy a government that fiercely polices web content. Filters block objectionable foreign websites and regulations ban subversive or pornographic content, requiring service providers to enforce censorship.

A new survey by the Committee to Protect Journalists calls China’s efforts to control its media unique in the world’s history. "Never have so many lines of communication in the hands of so many people been met with such obsessive resistance from a central authority," it said.

Mr Smith, one of the most vocal Congressional critics of China's human rights record, said that the companies are "enabling dictatorship". "Cooperation with tyranny should not be embraced for the sake of profits," he added.

Cisco, the hardware giant which has been accused of providing technology that allows China to filter internet content, testified that it sells the same equipment in China that it does elsewhere. Robert Dietz, who monitors Asia for the Committee to Protect Journalists, said that other repressive regimes were watching closely how the US internet companies acted in China.

"We sense that people are standing back, watching the technology evolve, watching the attitude evolve, seeing how far countries can go in pushing their ... internet censorship," he told the hearing. "We don’t think this will end in China."
sbr:
www.timesonline.co.uk/article/0,,11069-2041793,00.html

Thursday, January 12, 2006

Kenyon dan Strategi Bonsai Chelsea

Hanya orang cerdik yang bisa mengubah uang tak bisa membeli kesuksesan" menjadi uang adalah segalanya. Chelsea memiliki keduanya, orang cerdik dan segunung uang. Bagi klub London ini sukses akhirnya merupakan sesuatu yang bisa dibeli.

lmuwan asal Verona, Cesare Lombardo, dalam bukunya yang bertajuk Sociological Theories of Deviance mengungkapkan orang cerdik bisa dilihat dari ciri fisiknya. Identifikasi umum dari orang pintar adalah kepala plontos dan berbibir tipis.

Chief Executive (CEO) Chelsea Peter Kenyon (50 tahun) memenuhi ciri dari teori sang ilmuwan, kepala plontos dan berbibir tipis. Dengan segala kreasi yang telah digelar lelaki kelahiran Stalybridge ini, agaknya Kenyon memang pantas diganduli label orang cerdik.

Eksekutif bisnis dari pemilik Chelsea, Roman Abramovich, pada kenyataannya telah menusuk jauh lebih dari sekadar CEO. Sukses menghadirkan trofi pertama Liga Inggris dalam 50 tahun di Stamford Bridge pada tahun lalu, dan kemungkinan besar Chelsea kembali menjadi juara pada tahun ini, tak lepas dari perannya.

Kenyon bekerja bak seorang ahli militer yang menempatkan jaringan intelijen sebagai 80 persen penyelesai, dan sisanya oleh serdadu serta senjata. Intelijen diaplikasikan dengan pembonsaian di bursa pemain lewat kekuatan uang pada klub-klub ningrat sekaliber Manchester United, Arsenal, dan Liverpool.

Ditambah pertemanan dengan agen kakap Pini Zahavi, membuat Kenyon tinggal menunggu manajer klub pesaing berat menunjuk seorang pemain berbakat, kemudian dengan cepat ia bergerak menandingi harga yang ditawarkan.

Pada awal musim 2005/06, setiap orang tahu Arsenal sangat menginginkan Shaun Wright-Phillips, sayap lincah Manchester City. Segera Kenyon mengolahnya dengan melipatgandakan penawaran. Harga Wright-Phillips yang tadinya 7 juta pound, meloncat menjadi 21 juta pound.

Manajer Arsenal, Arsene Wenger, hanya bisa gigit jari. ”Kami berada di sebuah pasar di mana kami membuat keputusan dan kemudian Chelsea muncul merusak semuanya,” kata Wenger.

Hal sama terjadi pada United ketika mendekati Arjen Robben. Cara yang dipakai sama, Chelsea menawari PSV Eindhoven harga yang lebih tinggi. Gelandang sayap Damien Duff yang pernah dilirik United akhirnya juga berlabuh di Chelsea.

Pembonsaian begitu efektif sehingga Jose Mourinho sebagai penguasa teknis lapangan bagai tinggal menarik picu. Tak akan pernah meleset karena kekuatan lawan telah dibonsai Kenyon.

Manuver

Kenyon datang ke Chelsea pada September 2003, namun layaknya ia sudah puluhan tahun di sana. Secara trengginas Kenyon memodifikasi Chelsea menjadi mesin supercepat dan mendorong The Blues menjadi super brand yang mengglobal.

Salah satunya, kontrak dengan produsen lokal, Umbro, diputus digantikan Adidas yang sudah lebih dulu go global. Kenyon tak peduli menuai kebencian meski kedekatan kariernya dengan sepak bola justru bermula dari Umbro

Pada 1986, setelah menduduki posisi puncak di perusahaan-perusahaan tekstil top Inggris, Umbro menariknya untuk posisi Direktur Operasi di Manchester. Selama di institusi ini Kenyon sempat duduk di kursi CEO Umbro Eropa, lalu eksekutif wakil presiden serta Direktur Marketing Umbro untuk seluruh dunia.

Dave Johnstone, editor majalah khusus fans Chelsea, pernah mengatakan, ”Saya mengenal tipe profesional seperti Kenyon. Dia bekerja untuk uang tidak untuk sebuah loyalitas.”

Baru pada Mei 1997 karier di dunia sepak bola dimulai dengan menduduki jabatan deputy chief executive di Manchester United PLC. Posisi ini merupakan kreasi baru dengan wilayah kekuasaan bertanggung jawab penuh pada peningkatan merek United secara internasional.

Lalu, manuver bisnis di Chelsea berlanjut dengan melakukan kerja sama sponsorship dengan Samsung yang bernilai 10 juta pound untuk lima musim. Untuk level komersial, Chelsea melesat menjadi klub terkaya di dunia menurut lembaga survei Deloitte and Touch.

Dengan total perputaran dana sebesar 144 juta pound, The Blues mampu melampaui Real Madrid dan AC Milan. Geliat yang dilakukannya tak lain dari target Kenyon untuk mengubah kerugian Chelsea dalam dua tahun, yang disebut oleh analis ekonomi sebagai kerugian finansial terbesar dalam sejarah sepak bola Inggris, menjadi sebuah keuntungan.

Dari laporan The Financial Times Stock Exchange (FTSE), Chelsea telah menderita kerugian sebelum pajak sebesar 88 juta pound sepanjang tahun berjalan 2004/05. Angka ini muncul setelah Chelsea menggelontor dana senilai 115 juta pound pada musim sebelumnya.

Target Kenyon jelas, yaitu Chelsea akan mulai break even point (BEP) pada musim 2010. Saya tidak khawatir, karena sejalan dengan prestasi klub maka aktivitas komersial akan meningkat. Kami akan menciptakan infrastruktur yang akan membuat semuanya tercapai, katanya.

Tak pelak, inilah cetak biru dari kerangka berpikir mengapa Kenyon menjadi beringas melancarkan strategi pembonsaian pada pesaing. Dalam kepalanya telah tercetak pola bahwa prestasi klub akan signifikan dengan keuntungan.

Dimulai dari incaran pemain-pemain penting, seperti kala Liverpool seperti kebakaran jenggot saat Kenyon melambaikan angka 50 juta pound kepada Steven Gerrard.

Ketika Chelsea baru enam pekan meraih gelar Premiership, Kenyon menulis surat kepada Tottenham Hotspur meminta izin berbicara dengan Direktur Sport Frank Arnesen agar bisa membahas proses kepindahannya ke Stamford Bridge.

Tidak membutuhkan waktu lama kabar ini menjadi headline di surat kabar London. Tidak ada kejadian yang mampu menandingi manuver ini dalam sejarah Premiership. Uang berbicara dan Spurs akhirnya tidak bisa menolak. Angka 2,4 juta pound melonjak menjadi 15 juta pound. Kini, kompensasi posisi manajerial bisa melebihi harga transfer pemain bintang.

Langkah Kenyon sangat kencang. Bahkan, Kenyon pernah dijatuhi denda FA Inggris senilai 500.000 pound karena kedapatan melakukan pertemuan tersembunyi dengan bek hebat Arsenal, Ashley Cole.

Nama Kenyon juga terkait pada pertemuan rahasia dengan bek canggih United, Rio Ferdinand, di rumah makan dekat Stamford Bridge. Oleh media, pertemuan itu dicermati sebagai proses transfer dan pembuat Ferdinand limbung kala harus memperpanjang kontrak dengan United.

Malah, strategi pembonsaian ala Kenyon telah dimulai sebelum ia hengkang dari United. Manajer United, Sir Alex Ferguson, menuduh bahwa kegagalan mendatangkan Ronaldinho pada 2003 karena rekayasa Kenyon.

Kepada media dengan lantang Kenyon menepis dan mengatakan bahwa Ronaldinho yang tidak punya nyali bermain serta menanggung beban di United.

Hingga saat ini kerja keras Kenyon dinilai tinggi oleh Abramovich. Sang bos menggajinya 3,35 juta pound, atau setara dengan Rp 60 miliar per tahun. Standar gaji yang menurut para analis sungguh mencengangkan.

Sebagai perbandingan, Freed Goodwin, CEO Royal Bank of Scotland yang membawahkan 45.000 pegawai dan tercatat meraih profit 7 miliar pound pada 2004 digaji 3,2 juta pound per tahun. Kenyon paling banyak membawahkan 50 orang saja.

sumber:www.kompas.com/kompas-cetak/0601/13/or/2358336.htm