Friday, May 05, 2006

Sutan Sjahrir, Etos Politik dan Jiwa Klasik

IGNAS KLEDEN
Dalam dua pucuk suratnya yang ditulis dari penjara Cipinang dan dari tempat pembuangan di Boven Digoel, Sjahrir mengutip sepenggal sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller. Dalam teks aslinya kutipan itu berbunyi: und setzt ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein—yang maknanya: hidup yang tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan.
Menurut pengakuannya, kalimat-kalimat yang indah itu dikutipnya dari luar kepala. Jadi kita dapat menduga petikan tersebut sangat disukainya dan besar artinya buat hidupnya.
Membaca tulisan-tulisan Sutan Sjahrir muncul kesan yang sangat kuat dalam diri saya bahwa bagi dia politik bukanlah perkara yang sangat digandrunginya, tetapi lebih merupakan perkara yang tak terelakkan dalam hidupnya. Demikian pula politik untuk dia tidak terutama berarti merebut kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan itu, bukan machtsvorming & machtsaanwending menurut formula Bung Karno.
Politik juga bukan persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh pelaksana money politics dewasa ini di Tanah Air kita. Bahkan, politik juga tidak sekadar mempertaruhkan kemungkinan untuk merebut kemungkinan yang lebih besar, sebagaimana yang kita pelajari dari Otto von Bismarck dari Prusia.
Bagi Sjahrir, politik rupanya bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas instrumental atau Zweckrationalitaet yang diajarkan Max Weber. Bagi Sjahrir, politik lebih dari pragmatisme simplistis, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai atau Wertrationalitaet.
Karena itulah, politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Kalau politik dalam pengertian Sjahrir bukan semua yang disebut di atas, apa gerangan politik menurut pandangan dia? Menurut tafsiran saya, kutipan dari Friedrich Schiller di atas adalah sebagian jawabannya. Kalau penggal sajak Schiller itu boleh kita parafrasekan, maka politik bagi Sjahrir adalah das Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinnen—politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri.
Konsepsi politik seperti itu kedengarannya terlalu halus kalau diperhadapkan dengan Realpolitik, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat internasional. Namun, di balik kehalusan itu tegak sebuah keberanian yang kukuh karena tanpa komplikasi, suatu kesahajaan yang menakutkan karena tanpa pretensi.
Khusus untuk para politisi muda, konsepsi seperti itu membantu mengingatkan bahwa dalam politik ada keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Wajar belaka bahwa gagasan seperti itu tidak selalu mudah dipahami oleh banyak orang karena mengandaikan pengertian tentang beberapa asumsi yang filosofis sifatnya.
Mempertaruhkan hidup adalah suatu sikap dan perbuatan yang bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang serba nekat. Namun, Sjahrir memperingatkan bahwa dalam politik, hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. Pada titik inilah dapat kita pahami kecemasannya tentang orang-orang muda di Indonesia pada masa selepas Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan. Mereka penuh tenaga dan determinasi, tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana hidup mereka harus dimenangkan.
Setelah Jepang menyerah kalah, Sjahrir mencatat dengan prihatin bahwa para pemuda terjebak di antara sikap nekat di satu pihak dan keragu-raguan di pihak lainnya. Semboyan "Merdeka atau Mati" ternyata dapat menjadi perangkap kejiwaan, karena selagi menyaksikan kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud sedangkan kesempatan untuk mati belum juga tiba, maka para pemuda itu terombang-ambing dalam kebimbangan yang tak menentu. Ini semua terjadi karena, menurut Sjahrir, selama Jepang berkuasa di Indonesia, para pemuda kita hanya dilatih berbaris dan berkelahi, tetapi tak pernah dilatih memimpin.
Mengatakan bahwa Sjahrir melihat politik sebagai sikap mempertaruhkan hidup untuk memenangkan hidup, dapat memberi kesan bahwa dia mirip seorang politikus romantis yang tidak memahami bekerjanya mesin kekuasaan atau mechanics of power dalam politik praktis. Anggapan ini tidak sesuai dengan kenyataan hidup Sjahrir, baik kalau kita melihat sepak terjangnya dalam dunia politik maupun kalau kita membaca tulisan-tulisannya atau tulisan para pengamat dan kesaksian para sahabatnya.

Feodalisme

Di dasar hatinya, Sjahrir mendambakan kebebasan untuk setiap orang, yaitu individu-individu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk bertanggung jawab terhadap cita-cita dan tindak perbuatannya masing-masing. Impian itu mempunyai beberapa konsekuensi yang amat nyata.
Pertama, di dalam negeri, Sjahrir sangat cemas akan hidupnya kembali feodalisme lama dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik menjadi raja-raja versi baru yang tetap membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan. Karena itu, selain revolusi nasional dibutuhkan juga suatu revolusi sosial yang dinamakannya revolusi kerakyatan.
Revolusi nasional harus didahulukan karena hanya dalam alam kemerdekaan, perjuangan menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme dapat dilaksanakan. Kolonialisme Belanda, menurut Sjahrir, telah mengawinkan rasio modern dari Barat dengan feodalisme lokal dengan sangat cerdik, dan hasilnya adalah semacam fasisme terselubung yang menyiapkan lahan subur bagi fasisme Jepang.
Seterusnya, partai politik sebaiknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin.
Sementara itu, dalam politik nasional, dia bersama Bung Hatta mendorong berkembangnya sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan saja.
Kedua, secara internasional dia juga cemas melihat menguatnya fasisme yang ketika itu melebarkan sayapnya dari Spanyol, Italia, Jerman hingga ke Jepang. Dalam pandangannya, feodalisme lokal mudah sekali digabungkan dengan setiap kecenderungan totaliter karena massa rakyat yang tidak mempunyai pengertian dan keyakinan politik akan mudah saja dimobilisasi oleh seorang pemimpin politik melalui slogan, demagogi, dan sedikit pengetahuan tentang psikologi massa. Baik totalitarianisme maupun feodalisme mempunyai kesamaan watak dalam membunuh kebebasan perorangan yang pada akhirnya membuat manusia tak lebih dari budak kekuasaan.
Kecemasannya terhadap totalitarianisme kanan, yaitu fasisme, tidak lebih besar atau lebih kecil dari sikap awasnya terhadap totalitarianisme kiri, yaitu komunisme. Entah dari kanan atau dari kiri, totalitarianisme selalu menindas kebebasan perorangan yang dianggap sepele dan tak berarti dalam berhadapan dengan suatu totalitas besar, entah itu bernama negara entah diktatur protelariat.
Dalam politik internasional keyakinan ini direalisasikannya dengan menolak berpihak pada dua totalitas besar pada waktu itu, yaitu blok politik dan blok keamanan yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris berhadapan dengan blok kiri yang dipimpin oleh Uni Soviet.
Pembentukan Inter-Asian Relations Conference di New Dehli pada April 1947 mendapat dukungan penuh dari Sjahrir dalam kedudukannya sebagai perdana menteri Indonesia ketika itu. Seperti kita tahu, konferensi itu menjadi embrio suatu politik luar negeri yang bebas dan aktif, yaitu politik yang turut bertanggung jawab terhadap perkembangan kejadian-kejadian di dunia tanpa membangun afiliasi dengan salah satu dari blok-blok yang sedang bersaing.
Dengan semangat seperti itu tidaklah mengherankan kalau Sjahrir berpendapat bahwa revolusi nasional harus segera disusul oleh suatu revolusi sosial yang dapat membebaskan rakyat dari kungkungan feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan ke arah fasisme yang muncul bersama kapitalisme yang tak terkendali. Seterusnya, kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik, tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk merealisasikan diri dan bakat-bakatnya dalam kebebasan tanpa halangan dan hambatan.
Karena itulah, nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi, dan bukan sebaliknya, karena tanpa demokrasi maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan feodalisme lama yang hanya memerlukan beberapa langkah berikut untuk tiba pada fasisme. Dalam penilaian Sjahrir, inilah yang terjadi pada politik dan kepemimpinan Franco di Spanyol, Mussolini di Italia, Hitler di Jerman, dan Chiang Kai Sek di Tiongkok.

Humanisme

Kalau dalam negeri nasionalisme harus tunduk pada tuntutan demokrasi, maka dalam hubungan internasional, nasionalisme harus tunduk pada tuntutan humanisme karena kalau tidak, maka nasionalisme itu dapat menjadi sumber ketegangan dan perseteruan di antara bangsa yang satu dan bangsa lainnya. Fasisme dalam negeri hanyalah wajah lain dari chauvinisme dalam pergaulan antarbangsa. Pada titik ini kelihatan bahwa bagi Sjahrir, politik adalah usaha dan upaya mewujudkan nilai-nilai martabat dan kesejahteraan manusia.
Akan tetapi, nilai-nilai tersebut tak mungkin terwujud hanya dengan cara menghilangkan feodalisme dan menolak setiap politik yang totaliter. Taruhlah, tindakan-tindakan tersebut merupakan persiapan dan langkah-langkah secara negatif, maka kita dapat bertanya apa gerangan yang diusulkan Sjahrir sebagai langkah yang positif. Jawaban Sjahrir adalah edukasi, yaitu pendidikan dalam arti seluas-luasnya yang mungkin dikandung dalam pengertian itu.
Penekanannya pada edukasi inilah yang membuat Sjahrir demikian terlibat dan bahkan terpesona oleh beberapa urusan yang tidak begitu langsung berkaitan dengan politik. Di tempat pembuangannya di Banda Neira, teman- temannya yang paling akrab adalah anak-anak kecil yang hampir setiap hari bermain ke rumahnya, yang baju-baju mereka dia jahit sendiri dengan mesin jahit, yang diajaknya berenang dan bermain di pantai sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Mereka menjadi murid-murid pelajaran privat yang diberikannya, di mana mereka diajar membaca, menulis, berbahasa dengan benar, dan berani bertanya, dan dengan cara itu membuka pintu bagi mereka ke dunia ilmu pengetahuan. Kembali dari pembuangan, Sjahrir aktif lagi dalam pergerakan dan memberi perhatian khusus kepada para pemuda yang demikian penuh semangat, tetapi tidak diajarkan kepandaian memimpin, dengan akibat bahwa mereka selalu siap mati tanpa mengetahui mengapa mereka harus mati dan bukannya harus hidup dan menikmati hidup mereka.

Gabungan minat

Aneh tapi nyata bahwa di tengah kesibukan sebagai orang pergerakan, Sjahrir tetap memberi perhatian besar kepada perkembangan dunia ilmu pengetahuan, menulis pandangan tentang manfaat nuklir, mengikuti apa yang terjadi dalam seni dan sastra, melakukan studi-studi ilmu sosial, dan memberikan komentar tentang pemikiran-pemikiran filsafat pada masanya.
Gabungan minat dan kegiatan seperti ini hanya mungkin ada pada seorang pendidik, yaitu seseorang yang merasa bertugas melakukan transfer sejumlah pengetahuan kepada orang-orang yang dididiknya dan kemudian membantu transformasi pengetahuan tersebut menjadi seperangkat nilai agar nilai-nilai itu dapat diejawantahkan dalam sikap dan perbuatan.
Dalam kaitan ini, politik bagi Sjahrir pertama-tama berarti mendidik suatu bangsa dan rakyatnya untuk mandiri dan bebas. Kemandirian adalah lawan dari ketidakmatangan dan kebebasan adalah lawan dari ketergantungan. Karena itulah, dia selalu menekankan pentingnya dimensi-dalam atau aspek interioritas dari kebudayaan, politik, dan ilmu pengetahuan.
Dalam pandangannya, banyak kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu baru menjadi pemegang titel dan belum menjadi kaum intelektual. Mereka masih memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai perkara yang bersifat lahiriah belaka dan sebagai barang mati dan "bukan suatu hakikat yang hidup ... yang senantiasa harus dipupuk dan dipelihara".
Demikian pun tentang kebudayaan dan politik, Sjahrir menulis: Inilah inti persoalan: kita pada akhirnya adalah anak-anak zaman kita, dan kita mempunyai hati nurani. Sebutlah itu rasa respek terhadap diri sendiri, sebutlah itu kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan, sebutlah itu dengan nama apa saja—hati nurani itu berarti menguji diri sendiri pada pegangan batin kita, pada nilai-nilai, prinsip-prinsip, prasangka-prasangka, perasaan-perasaan dan naluri-naluri. Kita semua dalam diri kita mempunyai sedikit dari imperatif kategoris seperti yang dimaksud oleh Kant.
Pada titik itu kita tahu Sjahrir lebih dari seorang Realpolitiker. Karena dalam politik tidak berlaku apa yang oleh Kant dinamakan imperatif kategoris, tetapi yang lebih dominan adalah imperatif hipotetis, yakni suatu perintah bersyarat, dan di sini syaratnya adalah akibat atau hasil yang bakal diberikan oleh pelaksanaan perintah tersebut.
Pokok pertimbangan adalah apakah dengan melakukan suatu perintah, seseorang akan memperoleh akibat yang dibayangkannya. Kalau seorang politikus Indonesia memperjuangkan nasib para petani dan nelayan dengan perhitungan bahwa dia akan memperoleh dukungan suara yang cukup dalam pemilu, maka politikus ini bertindak berdasarkan imperatif hipotetis. Tindakannya ini mungkin baik dan perlu, tetapi tak bisa dijadikan prinsip umum bagi tindakan orang-orang lain yang kebetulan tidak mempunyai minat untuk posisi politik.
Namun, kadangkala kita bertemu juga dengan orang-orang yang berjuang mati-matian untuk kelompok petani dan nelayan, meskipun tidak ada target politik padanya, semata-mata karena merasa bahwa kelompok ini layak dibela karena mereka juga mempunyai martabat dan hak-hak seperti orang-orang dari kelompok lain yang lebih beruntung. Di sini kita berjumpa dengan orang-orang yang bertindak berdasarkan imperatif kategoris karena prinsip tindakan mereka dapat digeneralisasikan menjadi prinsip tindakan semua orang lain, dan bahkan dapat dijadikan prinsip dalam pembuatan undang-undang.
Tidaklah mengherankan bahwa dalam suratnya dari penjara Cipinang tertanggal 22 Juli 1934, Sjahrir menulis: "Hal meletakkan suatu dasar moral bagi politik dan kebudayaan lalu bisa dianggap sebagai politik dalam pengertian yang lebih luas".
Tak perlu diuraikan panjang-lebar bahwa dalam usaha melakukan pendidikan yang menghasilkan manusia yang bebas dan mandiri, Sjahrir melihat peranan besar yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan. Dengan cukup intensif, dia memanfaatkan waktunya dalam tahanan, dalam pelayaran ke tempat pembuangan, dan dalam keterasingan di Digul dan Banda Neira untuk mengikuti perkembangan politik Indonesia dan politik dunia melalui koran-koran yang sampai ke tangannya, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui buku-buku yang kebetulan ada padanya.
Catatan-catatan dalam pelayaran ke Digul menunjukkan perhatian dan pengamatannya yang cermat tentang keadaan dan cara hidup orang-orang di pulau-pulau sebelah timur, dan sangat mirip catatan etnografis seorang antropolog profesional, meskipun masih penuh dengan prasangka-prasangka Eurosentris.
Demikian pula catatannya tentang sesama orang buangan di Digul menunjukkan simpati besar kepada manusia yang menderita tekanan lahir batin dan kehilangan harapan, yang kesulitan-kesulitan kejiwaan mereka, dicoba dipahaminya berdasarkan pengetahuannya tentang psikologi atau psikoanalisa. Sedangkan tentang penduduk asli di Digul, dia dengan hati-hati menulis:
Barangkali aku akan menulis sketsa-sketsa atau studi-studi mengenai etnologi, meskipun di lain pihak aku tidak pula suka menulis secara diletantis, secara awam. Dan tulisan-tulisanku itu sudah pasti tak bisa lain daripada bersifat diletantis saja, karena buku-buku penuntun yang perlu untuk itu tidak tersedia, dan aku tidak bisa mempergunakan buku-bukuku sendiri yang masih ketinggalan di Jawa, dan yang belum juga bisa dikirimkan kemari, meski pun aku sudah berusaha untuk itu. Kawan-kawan yang harus menguruskannya tidak mempunyai uang untuk mengirimkannya.
Di Banda Neira, dia selalu ingin bekerja sepuluh jam sehari meskipun niat ini tidak selalu kesampaian.
Seperti juga Soekarno di Ende-Flores membuat studi yang intensif tentang Islam dan modernisasi, dan Hatta di Digul mengajar dan menulis tentang filsafat Yunani Antik, maka Sjahrir pun merencanakan bacaannya secara teratur berdasarkan buku-buku yang ada.
Untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu ekonomi, dia membaca John Stuart Mill, menulis tinjauan budaya yang panjang dan mendalam tentang buku Huizinga, membaca Ortega Y Gasset dan Benetto Croce untuk memperdalam pengetahuannya tentang filsafat kebudayaan, menulis kritik tentang positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, membaca dengan simpati besar biografi Friedrich Engels dan Gustav Meyer, membandingkan psikologi Kant dan Goethe, menganalisis penulisan cerpen Amerika, Belanda, dan Indonesia sambil memberi komentar kritis tentang majalah Poedjangga Baru dan bahkan menyempatkan diri berpolemik dengan penyair JE Tatengkeng.
Dengan minat yang sedemikian luasnya, Sjahrir tidak terombang-ambing dalam berbagai aliran pemikiran karena dia tetap berpegang pada satu fokus utama untuk menguji berbagai pandangan dan pendapat yang dihadapinya. Adapun titik fokal yang menjadi pegangan Sjahrir adalah pertanyaan: apakah suatu pandangan dunia, pendapat politik, paham filsafat, ajaran agama, dan bahkan teori ilmu pengetahuan membantu manusia untuk mandiri dan bebas atau malah membuatnya terperangkap kembali dalam jebakan-jebakan yang dibuatnya sendiri?

Sosialisme

Cita-cita tentang kebebasan dan kemandirian manusia inilah yang rupanya telah mendorong Sjahrir memilih sosialisme sebagai paham politiknya, yang kemudian pada tahun 1948 dijadikan dasar bagi partai politik yang didirikannya, yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Ahli ilmu politik dan Indonesianis terkemuka, Herbert Feith, menulis bahwa PSI merupakan jelmaan politik sosial-demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, menurut pendapatnya, partai ini lebih tepat dinamakan liberal-sosialis daripada sosial-demokratis, seandainya saja istilah "liberal" dalam pemakaian bahasa politik di Indonesia tidak telanjur diasosiasikan dengan kapitalisme yang tak terkendali.
Usulnya ini didasarkannya pada dua alasan. Pada satu pihak, istilah "demokrasi" tak begitu cocok karena partai ini hanya mempunyai sedikit pengikut di kalangan massa rakyat biasa. Keanggotaannya lebih terbatas pada kalangan kelas menengah perkotaan yang berpendidikan tinggi, sementara pengaruh politiknya tidak diperoleh melalui cara-cara populer seperti rally politik atau mobilisasi.
Pada pihak lainnya, partai ini memperlihatkan suatu kekhasan yang membedakannya dari partai politik lainnya, dalam perhatian besar yang diberikan kepada kebebasan individual, keterbukaan yang leluasa terhadap paham-paham intelektual di dunia, serta penolakan tegas terhadap berbagai bentuk obskurantisme, chauvinisme, dan kultus pribadi.
Sebetulnya, benih-benih organisasi PSI sudah ada semenjak 1932, saat Sjahrir dan Hatta kembali dari studi mereka di negeri Belanda. Keduanya sepakat mendirikan PNI Baru yang bertujuan mendidik kader-kader politik sehingga para kader ini sanggup meneruskan perjuangan kaum nasionalis, seandainya para pemimpinnya ditangkap atau dibuang. PNI Baru, seperti kita tahu, tidak mempunyai banyak waktu berkiprah mewujudkan cita-cita tersebut karena hanya dua tahun kemudian, pada 1934, kedua pemimpin itu ditangkap oleh Pemerintah Belanda, dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira, dan baru dibebaskan pada 31 Januari 1942.
Pertanyaan yang menarik dan penting: mengapa Sjahrir memilih sosialisme? Dilihat menurut konteks sejarahnya, sosialisme merupakan gagasan politik kiri pada masa itu yang menjadi representasi pemikiran progresif di kalangan kaum terpelajar Indonesia dalam menghadapi kolonialisme yang dianggap sebagai perkembangan lanjut dari kapitalisme. Dengan sendirinya, orang-orang yang menolak kolonialisme akan cenderung juga menolak kapitalisme sebagai induknya.
Teori imperalisme Lenin telah menarik perhatian hampir semua kalangan inteligensia (cendekiawan) Indonesia pada tahun 1920-an dan 1930-an, mulai dari Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan Sjahrir. Dalam semangat zaman ketika itu kapitalisme dan kolonialisme dianggap kekuatan sejarah yang cenderung kepada eksploitasi manusia atas manusia dan akan menghasilkan kemakmuran dan kejayaan untuk para pemilik modal dan penderitaan untuk bagian terbesar orang-orang yang hanya mempunyai tenaga kerja.

Revolusi sosial

Sebagai seorang inteligensia terkemuka pada masanya, Sjahrir terlibat dalam pemikiran yang sama. Pada Sjahrir, khususnya sosialisme, dibutuhkan untuk melaksanakan revolusi sosial di Indonesia untuk mengakhiri feodalisme dan mengikis benih-benih fasisme setelah tercapai kemerdekaan nasional.
Revolusi sosial ini perlu dilakukan agar feodalisme lama tidak hidup lagi setelah berakhirnya kekuasaan kolonial, tatkala para pemimpin politik bisa tergoda mempergunakan ketaatan hierarkis feodal untuk tetap membelenggu rakyatnya dalam kebodohan dan ketergantungan. Maka, sosial-demokrasi pada Sjahrir pada tempat pertama berarti sosialisme kerakyatan yang tujuannya adalah "membebaskan dan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia, yaitu bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia".
Tujuan seperti itu boleh dikata merupakan tujuan umum semua kelompok politik kiri. Maka, Sjahrir berusaha membedakan dirinya dan partainya dari beberapa golongan lain yang juga mengklaim melaksanakan politik kiri. Terhadap golongan komunis, Sjahrir menolak penggunaan kekerasan dan menolak pula pengertian diktatur proletariat sebagaimana dikonsepsikan oleh Lenin dan dipraktikkan oleh Stalin. Yaitu bahwa diktatur proletariat berarti diktatur yang dijalankan oleh partai tunggal, yaitu partai komunis, yang berhak memaksakan seluruh ketaatan rakyat.
Paham dan praktik ini ditolak secara kategoris oleh Sjahrir, yang yakin sepenuhnya bahwa tujuan politik adalah membebaskan rakyat dari cengkeraman segala jenis totalitarianisme agar memberi jalan kepada rakyat mencapai kemandirian dan kebebasan. Atas cara yang sama, Sjahrir juga menolak Bolsyewisme, yang menurut pendapatnya membenarkan penggunaan kekerasan oleh beberapa orang dalam Politbiro partai komunis Uni Soviet, yang menindas semua lawan politiknya, sekalipun tidak semua lawan politik itu dapat dikelompokkan ke dalam golongan kapitalis.
Karena itulah, penggabungan konsep sosialisme dan konsep demokrasi merupakan suatu keharusan sebab sosialisme menekankan perjuangan politik yang bersifat kerakyatan, sementara demokrasi menolak semua bentuk politik yang totaliter, serta menjamin terjamin kemandirian dan kebebasan setiap orang.

Sosialisme kerakyatan

Di pihak lain, Sjahrir juga melihat perbedaan antara sosial-demokrasi yang berkembang di negara-negara Eropa dan sosialisme kerakyatan yang berkembang di negara-negara Asia, khususnya di Indonesia. Perbedaan itu terlihat dalam dua soal utama, yaitu dalam sikap terhadap kolonialisme dan dalam pandangan tentang industrialisasi. Dalam berhadapan dengan kekuatan kolonial, kaum sosialis kerakyatan di Asia lebih bersedia bekerja sama dengan kaum komunis dalam melakukan akselerasi suasana revolusioner, tetapi menolak tegas penggunaan cara-cara kediktaturan.
Seterusnya, dalam peralihan dari masyarakat feodal-agraris ke masyarakat industri modern, kaum sosialis kerakyatan di Asia lebih berani mendorong percepatan peralihan tersebut, sementara kaum sosial-demokrat di Eropa selalu waswas dengan peralihan yang terlalu cepat karena khawatir bahwa kegagalan dalam peralihan tersebut akan mengundang metode paksaan dan kekerasan yang dijalankan oleh suatu diktatur yang dibenarkan oleh sistem komunis.
Sikap kerakyatan Sjahrir dengan komitmen kuat kepada martabat pribadi setiap orang menyebabkan kedudukan Sjahrir agak terpencil di tengah gerakan-gerakan nasionalis lainnya. Dalam berhadapan dengan rakyat bangsanya sendiri, dia enggan melakukan aksi massa seperti yang dilakukan oleh Soekarno, dan tidak tertarik juga untuk menggerakkan rakyat lewat agitasi politik sebagaimana diusulkan oleh Tan Malaka. Lain dari itu, Tan Malaka memberi penekanan utama pada kebutuhan materiil rakyat, sedangkan Sjahrir menekankan kesejahteraan dan sekaligus martabat manusia orang per orang.
Seterusnya, dalam pandangan Sjahrir, sekalipun perjuangan kaum buruh tetap mempunyai watak internasional dari perjuangan kelas kaum buruh di seluruh dunia, dia dengan tegas melihat perjuangan sosialis kerakyatan sebagai perjuangan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat manusia Indonesia; dan membedakan diri dari politik partai komunis yang memperlakukan perjuangan politik mereka di Indonesia sebagai bagian dari aksi massa yang harus merebut kekuasaan nasional sebagaimana diharuskan oleh strategi internasional di bawah kendali Moskow.
Sebaliknya, terhadap kaum nasionalis yang mendewa-dewakan semangat kebangsaan, Sjahrir melihat dengan cemas munculnya potensi chauvinisme yang berkerabat dekat dengan fasisme. Demikian pula rasionalisme dan modernisme yang ditawarkan oleh politiknya tampaknya terlalu sekular untuk kaum agama.
Sikap kritisnya yang tegar dan komitmennya yang penuh kepada nilai-nilai martabat manusia membuat jalan pikiran dan politiknya tidak selalu mudah dipahami. Penilaiannya tentang strategi koperasi dan nonkoperasi yang dijalankan kaum nasionalis dalam berhadapan dengan pemerintah kolonial Belanda mengikuti suatu logika tentang moralitas yang ternyata tidak selalu mudah dipahami, bahkan oleh orang-orang terpelajar pada masa itu.
Dalam penilaian Sjahrir, para tokoh nasionalis seperti Bung Hatta yang memilih jalan nonkoperasi secara politik sebetulnya melakukan suatu koperasi secara moral dengan pihak penjajah. Mereka yang menolak kerja sama politik dan bahkan melakukan oposisi politik pada dasarnya percaya bahwa pemerintah penjajah Belanda masih berpegang pada etika politik yang terwujud dalam hukum dan karena itu tidak akan memberangus hak-hak politik dari para pengkritik dan lawan politiknya.
Ada asumsi dan kepercayaan bahwa baik pemerintah kolonial maupun lawan politiknya sama-sama berpegang pada suatu moralitas politik yang sama. Sebaliknya, mereka yang memilih jalan koperasi yaitu bekerja sama dengan pemerintah kolonial pada hakikatnya melakukan suatu nonkoperasi secara moral karena mereka tidak percaya lagi bahwa pemerintah penjajah dalam menjalankan politiknya masih berpegang pada suatu moralitas. Mereka tidak yakin lagi bahwa hak-hak politik para pengkritik politik kolonial masih dihormati menurut nilai-nilai suatu etika politik dan karena itu menganggap bahwa setiap perlawanan dan oposisi langsung tidak akan ditoleransi dan tidak juga dilindungi oleh hukum.
Cara bernalar seperti itu jelas menunjukkan bahwa Sjahrir seorang yang terlatih berpikir dialektis. Kontradiksi yang dijumpai dalam hidupnya tidak diterima sebagai jalan buntu, tetapi sebagai antitesa yang lahir dari sejarah hidupnya yang akan menggerakkan proses menuju suatu sintesa yang dapat memberi harapan baru.
Ketika menerima surat keputusan dari pemerintah kolonial Belanda tentang pembuangannya ke Boven Digoel, maka jelas ada kesedihan mendalam yang dirasakannya bahwa dia akan terpisah selama bertahun-tahun dari keluarga dan kaum kerabat yang dicintainya. Akan tetapi, surat keputusan dengan alasan yang tak pernah jelas itu telah diterimanya sebagai berkah yang mengatasi kebimbangan hati antara mengabdikan diri kepada keluarga atau membaktikan hidup untuk rakyat dan bangsanya. Tanpa nada pathetis yang berlebihan, dia menulis dalam suratnya dari penjara Cipinang tertanggal 9 Desember 1934:
[Berakhirlah sekarang keragu-raguan dan rasa susah yang kualami selama dua tahun terakhir ini, dan sekarang aku tidak mau dan tidak boleh memikirkannya lagi. Seolah-olah aku diingatkan kepada bangsaku, tatkala kuterima beslit tentang pembuangan itu; diingatkan pada segala sesuatu yang mengikat aku pada nasib dan penderitaan bangsa yang berjuta-juta ini.
Bukankah kesedihan pribadi kita akhirnya hanya sebagian kecil saja dari penderitaan yang besar, yang umum itu? Bukankah justru penderitaan itu merupakan ikatan kita yang semesra-mesranya dan sekuat-kuatnya? Justru sekarang—pada saat aku barangkali harus berpisah untuk selama-lamanya dengan yang paling kucintai dan yang paling indah bagiku di dunia ini—justru sekarang inilah aku merasa lebih terikat pada bangsaku, aku semakin mencintainya lebih daripada yang sudah-sudah.]

Jarak kebudayaan

Dalam perasaan cinta yang demikian mendalam kepada bangsanya, ternyata ada jarak kebudayaan dan jarak intelektual yang lebar antara Sjahrir dan rakyatnya. Dia kadang mengeluh bahwa cara pikirnya, alasan-alasan rasa gembira, dan rasa sedihnya demikian berbeda dari yang ada pada orang-orang di sekelilingnya. Hambatan-hambatan tersebut tidak selalu dapat diatasi dan sampai tingkat tertentu menghalangi saling-pengertian di antara kedua pihak, sekalipun kedua-duanya ingin saling mendekati.
Untuk yang satu Sjahrir terlalu Eropa, terlalu Belanda, terlalu banyak berpikir. Untuk Sjahrir, rakyat yang dicintainya terlalu lamban, terlalu bertele-tele, dengan tingkah laku yang tidak selalu dapat dipahami secara logis. Inilah salah satu alasan mengapa dia demikian ingin agar ada cukup waktu padanya memperdalam studi-studi yang bersifat antropologis dan sosiologis tentang berbagai suku bangsa di Indonesia.
Seperti kita tahu keinginan itu tak pernah kesampaian. Selagi berada dalam penjara dan di tempat pembuangan, dia tidak punya cukup kepustakaan yang dapat membimbingnya secara ilmiah melakukan studi tersebut. Setelah lepas dari pembuangan dan bebas dari tahanan, dia tidak lagi punya cukup waktu karena terpanggil oleh tugas-tugas politik.
Seorang penulis Amerika, Charles Wolf Jr, yang menulis pengantar untuk terjemahan Inggris buku Sjahrir Out of Exile, berpendapat bahwa seandainya Sjahrir boleh memilih di antara politik dan ilmu pengetahuan, pastilah dia memilih melakukan studi-studi yang bersifat ilmu pengetahuan. Meski demikian, prestasi yang dicapai oleh Sjahrir dalam bidang politik sudah tercatat dalam sejarah.
Dengan semua keberhasilan politiknya sebagai perdana menteri pertama, sebagai ketua delegasi Indonesia ke Dewan Keamanan PBB, sebagai penasihat presiden dan kemudian sebagai pendiri partai politik, boleh dikata Sjahrir bukanlah seorang politikus yang dengan penuh gairah memilih politik sebagai bidang pengabdiannya. Dia lebih melihat politik sebagai tanggung jawab yang tak terelakkan yang harus dipikulnya.
Karena itu, dia tak pernah memandang politik sebagai tujuan, dan bahkan kemerdekaan nasional tidak menjadi tujuan akhir politiknya. Kemerdekaan nasional hanyalah jalan mewujudkan martabat manusia dan kesejahteraan bagi bangsanya, sedangkan politik hanyalah jalan mencapai kemerdekaan nasional.
Mengenang semua ini sekarang dan membicarakan kembali pengertian, apresiasi, dan keyakinan politik seperti itu, mungkin timbul kesan betapa jauh ideal politik yang diajukan Sjahrir dari praktik politik Indonesia saat ini. Apakah Sjahrir terlalu jauh dari kita, atau kita yang terlalu jauh dari gagasan politiknya? Apakah terlalu mengawang-awang mendambakan kesejahteraan untuk semua orang tanpa terlalu banyak kemiskinan, dan kebahagiaan semua orang dalam kebebasan tanpa terlalu banyak kekangan dan hambatan?
Kebebasan dalam pengertian Sjahrir bukanlah sekadar kebebasan politik, tetapi keluasan dan keleluasaan jiwa yang memandang dunia dengan gembira tanpa prasangka, yang tidak terhambat oleh kekangan dan kecurigaan-kecurigaan yang sempit. Dalam pandangan Sjahrir inilah rahasia jiwa klasik yang ada pada Yunani Antik, yang ditemukan kembali dalam renaisans Eropa, dan yang masih terlihat pada karya-karya Goethe dan Schiller.
Untuk jiwa klasik dunia akan serba luas dan bukannya sempit dan picik, hidup itu mulia dan tak pernah hina, seni selalu indah dan tidak jahat, dan manusia adalah makhluk penuh bakat yang harus diolah dan dikembangkan. Kebudayaan akan dibuat abadi oleh jiwa-jiwa klasik ini, politik menjadi perkara yang luhur, dan ilmu pengetahuan akan terbuka cakrawalanya seluas kaki langit karena pikiran dan jiwa sanggup menerobos batas-batasnya sendiri.
Sangat mungkin Sjahrir sendiri menyadari sedari awal bahwa politik dengan muatan moral yang demikian berat tak akan menang dalam waktu singkat, semata-mata karena tak terpikulkan dan tak selalu dapat dipahami. Akan tetapi, politik dalam artian Sjahrir bukanlah suatu proyek, bukan sekadar program, tetapi kehidupan itu sendiri.
Partai politik Sjahrir telah kalah dan dikalahkan oleh kekuasaan politik. Yang tinggal pada kita adalah suatu etos politik yang memberi keyakinan bahwa martabat manusia dan jiwa klasik tak selalu dapat dimenangkan, tetapi pasti tak akan pernah dapat dikalahkan sampai tuntas buat selamanya. Dalam arti itu, Sjahrir memenuhi janjinya: dia telah mempertaruhkan hidupnya dan dia telah memenangkannya.
IGNAS KLEDEN Sosiolog, Ketua KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi)
* Tulisan ini merupakan versi singkat orasi pada "Sutan Sjahrir Memorial Lecture" di Galeri Cipta II, TIM, 8 April 2006. Semua anotasi dihilangkan untuk keperluan publikasi ini.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/06/Bentara/2628301.htm

No comments: