Wednesday, October 24, 2007

Desoekarnoisasi: Delegitimasi yang Tak Tuntas

Desoekarnoisasi: Delegitimasi yang Tak Tuntas
Agus Sudibyo


Kompas/kartono ryadi
TAHUN 1996, Soeharto gelisah. Ia ingin Golkar menang besar dalam Pemilu 1997, namun tak bisa menutup mata dari perkembangan yang terjadi di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Saat itu, semakin nyata bahwa PDI menjadi tempat berlabuh bagi kerinduan terhadap figur Soekarno dan segala rupa kekecewaan terhadap rezim Orde Baru. Maka Soeharto pun mengambil jalan pintas, memadamkan pengaruh simbol-simbol Soekarno di tubuh PDI sebelum pemilu berlangsung. Sebuah kongres partai yang prematur kemudian direkayasa, dan tergusurlah Megawati dari pucuk pimpinan partai berlambang kepala banteng itu. Tak lama kemudian, meletus Tragedi 27 Juli 1996 yang akhirnya justru menjadi titik balik dari kebangkrutan rezim Orde Baru.

Ini bukan yang pertama kali rezim Orde Baru berusaha memadamkan pengaruh Soekarno. Hubungan antara Orde Baru dengan Soekarno memang hubungan yang menarik. Sejak awal kepemimpinannya, Soeharto memandang faktor Soekarno sebagai ancaman bagi legitimasi kekuasaannya. Soeharto bukan hanya memaksa Soekarno untuk turun dari kekuasaan, namun juga menggusur kekuatan-kekuatan soekarnois dari panggung pemerintahan dan militer.

Uniknya, setelah Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, situasi tidak semakin membaik bagi Orde Baru. Jasad yang tak berdaya itu justru meninggalkan pengaruh yang semakin merepotkan Orde Baru. Soekarno sebagai institusi politik, ideologi dan sebagai dramatic-person dalam memori kolektif bangsa Indonesia seakan-akan menjadi hantu yang membuat penguasa Orde Baru tak pernah tidur nyenyak. Maka tak henti-hentinya dilakukan usaha untuk memutus mata rantai pengaruh Soekarno dalam kehidupan birokrasi, militer, serta dalam kehidupan masyarakat. Segala sesuatu yang berbau Soekarno selalu dicurigai, ditekan, bahkan kalau perlu diberangus. Rezim Orde Baru secara sistematis dan kontinu menggunakan perangkat-perangkat kekuasaannya untuk melakukan apa yang disebut sebagai desoekarnoisasi.

Karantina politik

Soekarno meninggal dalam status tahanan rumah. Sungguh tragis nasib Sang Proklamator ini di pengujung hidupnya. Ia digiring dalam sebuah karantina politik, diasingkan dari berbagai hal yang membuatnya merasa bermakna, yakni anak-istri, teman seiring, pengikut-pengikut setia, kerumunan massa dan pidato-pidato yang menggairahkan. Bahkan, untuk sekadar menyalurkan hobi berjalan-jalan dan membaca surat kabar pun Soekarno sempat tak diizinkan.

Seperti yang telah diwasiatkan almarhum, keluarga Soekarno hendak memakamkan almarhum di Batu Tulis, Bogor. Namun, sebagai penguasa Orde Baru, Soeharto berkehendak lain. Bagi Soeharto, Bogor terlalu dekat dengan Jakarta dan pemakaman Bung Karno di sana dikhawatirkan suatu hari dapat menimbulkan dampak negatif bagi Orde Baru. Soeharto juga menolak usul pemakaman Bung Karno di taman makam pahlawan di Jakarta. Blitar, nun jauh di sana, tempat asal orangtua Bung Karno, dianggap "aman" untuk memakamkan Putra Sang Fajar.

Upacara pemakaman Soekarno dilaksanakan dengan sederhana dan singkat. Teks pidato pemerintah yang dibacakan Jenderal M Panggabean dibuat sedapat mungkin seimbang dalam menggambarkan kebaikan dan keburukan Bung Karno. Namun, Soeharto juga menunjukkan penghormatannya terhadap Soekarno dengan mengumumkan hari berkabung nasional, sekaligus menggelar upacara pemakaman secara militer.

Dalam hal ini, Soeharto tampak sangat hati-hati dan memperhitungkan benar dampak keputusan yang diambilnya pada momentum kematian Soekarno. Soeharto sadar masyarakat masih banyak yang mengidolakan Soekarno, dan dalam kondisi seperti ini, mengontrol secara ketat proses pemakaman Soekarno dapat menimbulkan gejolak yang tidak menguntungkan. Prioritas Soeharto lebih pada upaya menghindari situasi eksplosif yang bisa muncul akibat suasana emosional di kalangan pendukung Soekarno. Dengan kata lain, Soeharto berusaha untuk mengontrol sekaligus menghormati pengaruh Bung Karno, sebuah taktik yang dipertahankan selama memimpin Orde Baru.

Prediksi Soeharto akan situasi eksplosif itu cukup masuk akal. Kematian Soekarno begitu menggemparkan masyarakat. Ribuan orang berbondong-bondong untuk memberi penghormatan terakhir bagi Soekarno. Media massa memberitakan bagaimana ratusan ribu manusia menyemut di jalan-jalan yang dilalui rombongan jenazah Bung Karno dari Lapangan Udara Bugis Malang, menuju Kota Blitar, Jawa Timur. Harian Kompas (22/6/1970) menggambarkan Kota Blitar yang kecil dan sederhana mendadak sontak menjadi penuh sesak oleh manusia. Orang-orang dari berbagai daerah datang dengan menggunakan mobil, truk, angkutan umum, sepeda motor, sepeda bahkan berjalan kaki untuk menyaksikan pemakaman Soekarno.

Meskipun demikian, masyarakat sesungguhnya menyambut kematian Soekarno dengan gamang. Situasi politik waktu itu membuat masyarakat tidak berani terang-terangan mengekspresikan kesedihan atas meninggalnya Soekarno. Meskipun telah diumumkan hari berkabung nasional, masyarakat Blitar baru berani mengibarkan bendera setengah tiang setelah ada instruksi dari Gubernur Jawa Timur M Noer. Mereka berani keluar rumah, bergerombol dan memperbincangkan apa yang terjadi setelah orang-orang dari luar daerah berdatangan untuk menyaksikan pemakaman Soekarno. (Kompas, 23/06/70)

Suasana serupa juga terjadi di Jakarta. Warta Minggu (5/7/70) memberitakan sedikit sekali pejabat tinggi, pemimpin masyarakat, instansi atau perusahaan yang berani memasang iklan belasungkawa di surat kabar. Warta Minggu mencatat mereka yang berani memasang iklan duka cita adalah DPP PNI, DPP IPKI, Keluarga Yayasan Rehabilitasi Sosial BU NALO, Keluarga Sudarmoto Djakarta, PT Hotel Indonesia Internasional, Brigdjen H Sugandhi, DPP Djamiatul Muslimin Indonesia, DPP GMNI, Fraksi PNI DPR GR dan PPK Kosgoro. "Jang lain2 mungkin 'tidak berani' pasang iklan, atau tidak melihat keuntungannja jang njata," tulis Warta Minggu.

Setelah Soekarno wafat, represi terhadap hal-hal yang berbau Soekarno justru semakin meningkat. Pada awal dekade 1970-an, diskusi tentang Bung Karno sangat dibatasi. Sebuah larangan tak resmi diberlakukan terhadap publikasi tulisan-tulisan politik Bung Karno. Nama presiden pertama Indonesia ini jarang, atau bahkan tidak pernah sama sekali, disebut-sebut oleh unsur-unsur rezim Orde Baru. Meskipun keyakinan bahwa Soekarno adalah perumus Pancasila begitu mengakar kuat dalam skema pemahaman mayoritas bangsa Indonesia, referensi yang mengaitkan Bung Karno dengan Pancasila hampir sepenuhnya diingkari oleh pemerintahan Orde Baru.

Praktik desoekarnoisasi itu merupakan kontinum dari politik yang dijalankan Orde Baru pada saat-saat sebelumnya. Konsolidasi politik pasca-G30S/1965 bukan hanya dilakukan dengan membersihkan tubuh birokrasi dan militer dari unsur-unsur PKI dan simpatisannya, namun juga dari unsur-unsur soekarnois. Amputasi politik dalam skala masif dialami kalangan loyalis Soekarno di berbagai tingkatan birokrasi dan militer. Ada yang sekadar digeser posisinya, dipecat, dipenjarakan, bahkan ada yang turut dilenyapkan dalam huru-hara politik yang penuh darah itu.

Lewat fusi paksa selepas tahun 1973, PNI sebagai simbol kelembagaan yang paling langsung dari Soekarno, dipaksa meleburkan diri dalam wadah yang justru lebih sempit, Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Orang-orang PNI yang masih Soekarnois tak diberi pilihan lain, bahkan teror-teror langsung dan sistematis dialami aktivis-aktivis PNI di pusat dan terutama sekali di daerah yang berusaha melakukan perlawanan.

Rezim Orde Baru juga sempat melarang penggunaan gambar dan simbol Soekarno dalam kampanye Pemilu 1987, meskipun pelarangan ini terbukti tidak efektif. Pelarangan gambar Soekarno ini merupakan ekspresi permukaan dari tindakan sistematis rezim Orde Baru untuk menggunakan status legal-formalnya guna menyudahi eksistensi Soekarno sebagai ideologi dan institusi politik. Demikian juga ketika Orde Baru menghalangi usaha Rachmawati Soekarno untuk mendirikan Universitas Bung Karno tahun 1984. Yang terakhir dan paling fenomenal, rezim Orde Baru secara kasar menggusur Megawati Soekarnoputri dari pucuk pimpinan PDI tahun 1996.

Pancasila dan
Bung Karno

Khalayak nasional pernah dibikin heboh oleh artikel berjudul Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara di Sinar Harapan, 3 Agustus 1981. Artikel ini ditulis Nugroho Notosusanto yang ketika itu sebagai Kepala Pusat Sejarah Militer ABRI. Dalam artikelnya, Nugroho menyatakan Soekarno bukan orang pertama yang merumuskan lima prinsip Pancasila. Menurut Nugroho, perumus utama Pancasila adalah Muhammad Yamin, Supomo, baru kemudian Soekarno. Peran Soekarno hanyalah dalam hal memunculkan istilah Pancasila. Bertolak dari premis ini, Nugroho juga menggugat keabsahan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila.

Menarik untuk dicatat, premis yang merupakan reevaluasi terhadap sejarah Pancasila ini paralel dengan perubahan kebijakan rezim Orde Baru. Soeharto kemudian menghapus peringatan lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni, dan melarang semua bentuk peringatan pada tanggal itu. Meskipun menimbulkan keberatan dari berbagai pihak, rezim Orde Baru secara terang-terangan justru mengabsahkan premis Nugroho. Tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan artikel Nugroho itu menjadi sebuah booklet 69 halaman yang dijadikan bacaan wajib bagi para guru pengajar pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).

Ada hal yang kurang relevan dalam tulisan Nugroho. Perumusan Pancasila adalah proses sejarah yang terjadi tahun 1945, namun Nugroho menghubung-hubungkannya dengan apa yang terjadi pada dekade 1960-an. Nugroho menegaskan, generasi muda perlu diberi tahu pengalaman sejarah Orde Lama di mana ideologi marxisme-leninisme berkembang, agar mereka tidak mengulangi salah langkah pada masa itu, semata-mata hanya karena tidak tahu. Nugroho juga melihat pencabutan kekuasaan pemerintahan dari Soekarno oleh MPRS tahun 1967 adalah "faktor yang menjulang tinggi" di dalam persoalan pengamanan Pancasila dari ancaman ideologi marxisme-leninisme sebagaimana yang dimaksud oleh Ketetapan MPRS No XXV/ MPRS/1966.

Selanjutnya, menurut Nugroho, penghormatan terhadap jasa-jasa Soekarno seharusnya tidak membutakan mata masyarakat terhadap "kenyataan bahwa selama zaman Orde Lama itu, Bung Karno memberikan keleluasaan bergerak kepada PKI, dan bahkan mendukung partai itu dengan menyingkirkan kekuatan-kekuatan Pancasilais yang dapat mengimbangi kaum komunis..."

Perlu dipertanyakan apa relevansi ditampilkannya "tafsir" sejarah itu. Sebab Nugroho tidak sedang berbicara tentang ancaman komunisme terhadap Pancasila, atau "kesaktian" Pancasila dalam menghadapi berbagai rongrongan. Proses perumusan Pancasila notabene berhenti pada 18 Agustus 1945 ketika PPKI mengesahkan UUD 1945, dan tentu saja berbeda dengan "proses perjalanan Pancasila sebagai dasar negara". Nugroho terlalu jauh masuk dalam pembahasan tentang sepak terjang politik Soekarno sehingga sedikit keluar dari konteks bahasan lahirnya Pancasila.

Di sisi lain, Nugroho juga menegaskan rumusan Pancasila 1 Juni 1945 rentan terhadap ancaman komunisme. Nugroho menunjukkan bagaimana tokoh PKI seperti DN Aidit dan Nyoto pernah menggunakan sila internasionalisme, salah satu sila dalam Pancasila rumusan 1 Juni, untuk mendukung ide-ide komunismenya. Sebuah kesimpulan yang simplistik. Legitimasi atas rumusan Pancasila 1 Juni juga datang dari berbagai pihak, dengan latar belakang dan alasan yang berbeda dengan yang diutarakan tokoh PKI tadi.

Dua minggu setelah artikel Nugroho itu dimuat, Institut Soekarno-Hatta mengumumkan "Deklarasi Pancasila" yang berisi penegasan bahwa tanggal 1 Juni merupakan hari lahirnya Pancasila. Deklarasi ini ditandatangani 17 tokoh masyarakat yang sebagian mempunyai latar belakang antikomunis. Mereka di antaranya adalah Jusuf Hasyim (pemimpin PPP), Usep Ranawijaya (pemimpin senior PDI), HR Dharsono (mantan Sekretaris Jenderal ASEAN) dan Jenderal (Purn) Hugeng. Deklarasi ini dibacakan di Monumen Soekarno-Hatta, Jalan Proklamasi Jakarta pada pukul 00.00, 17 Agustus 1981. Sebuah pemandangan yang menarik. Sejumlah tokoh dengan otoritas politik yang tinggi melakukan perlawanan simbolis terhadap seorang ahli sejarah yang baru saja menggugat sebuah versi sejarah. Kompetensi akademis dilawan secara politis.

Dalam kacamata Brooks, tindakan Nugroho di atas mendapat restu pemerintah, sebagai bagian dari usaha untuk menciptakan "keseimbangan" perspektif tentang Soekarno. Peningkatan idealisasi terhadap Soekarno di kalangan loyalis Soekarno dan generasi muda, diimbangi dengan usaha-usaha untuk menegaskan makna penting Soekarno dalam konteks sejarah. Kebangkitan kekuatan nostalgis terhadap Soekarno dan semakin kuatnya mitos-mitos tentang Soekarno sekitar tahun 1978 cukup mengkhawatirkan Orde Baru sehingga Nugroho diinstruksikan untuk melakukan counter dengan menciptakan gambaran-gambaran yang negatif tentang Soekarno.

Meskipun premis-premisnya sempat memicu kontroversi, Nugroho dipromosikan pemerintah menjadi Rektor UI tahun 1982. Setahun kemudian, Nugroho diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam jabatan yang terakhir ini, Nugroho pernah diinstruksikan Soeharto untuk merevisi pelajaran sejarah sekolah dengan menekankan instabilitas politik di era kepemimpinan Soekarno tahun 50-an. Berawal dari sinilah kemudian bermunculan konstruksi-konstruksi unfavourable tentang Soekarno dalam buku teks sejarah.

Konstruksi unfavourable tentang Soekarno diidentifikasi Leigh dalam buku teks Tiga Puluh Tahun Indonesia Merdeka. Buku ini terdiri dari empat volume: volume 1 dan 2 menjelaskan sejarah era kepemimpinan Soekarno. Volume 1 (1945-1949) diawali dengan sampul foto Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan 1945. Dalam kacamata Leigh, foto yang memperlihatkan Soekarno sedang menundukkan pandangannya ini cenderung menafikan kharisma Soekarno. Buku ini terdiri dari 254 halaman dilengkapi dengan foto atau gambar. Namun, foto Soekarno hanya dimunculkan 14 kali dan menurut Leigh rata-rata berupa foto yang sulit diamati karena berukuran kecil atau foto dengan sudut pengambilan yang kurang tepat.

Leigh membandingkannya dengan foto-foto Letkol Soeharto. Di antaranya adalah foto yang menonjolkan wajahnya, serta foto yang menunjukkan dia sedang di tengah-tengah kerumunan prajurit, yang menggambarkan peran pentingnya dalam Serangan Oemoem I Maret 1949 di Yogyakarta. Foto yang lain berupa foto sepenuh halaman Soeharto dengan para veteran perang, serta foto Soeharto dengan Sultan Yogyakarta. Foto-foto ini, menurut Leigh, memperteguh citra Soeharto sebagai militer yang bersih dan sosok pemimpin yang terpercaya.

Periode 1945-1949 merupakan puncak karier Soekarno sebagai negarawan maupun politisi. Namun, eksistensi Soekarno justru dikecilkan atau dikeluarkan dari teks resmi pemerintah yang membahas sejarah periode itu. Eksklusi terhadap eksistensi Soekarno bersandingan dengan inklusi terhadap eksistensi militer di era revolusi fisik, dengan penonjolan peranan Soeharto pada momentum Serangan Oemoem 1 Maret.

Satu fakta yang sangat menarik juga ditemukan Leigh dalam soal-soal ujian untuk materi sejarah tingkat sekolah dasar. Dalam soal-soal pilihan berganda itu, Soekarno ternyata banyak ditempatkan pada pilihan jawaban yang salah untuk pertanyaan-pertanyaan seputar Pancasila, perjuangan melawan penjajah, dan penumpasan pemberontakan pascakemerdekaan. Sebaliknya, Leigh tidak menemukan satu pun soal ujian yang menempatkan nama Soeharto dalam pilihan jawaban yang salah. Fakta ini menurut Leigh dapat berdampak buruk terhadap persepsi siswa terhadap peranan Soekarno maupun Soeharto dalam sejarah.

Komunisme dan Soekarno

Dalam buku Tiga Puluh Tahun Indonesia Merdeka Volume 3. (1965-1974), Leigh mencatat beberapa penyajian yang berdampak buruk terhadap citra Soekarno. Misalnya foto Soekarno dengan pemimpin PKI Aidit, karikatur yang menggambarkan Soekarno menjadi bahan tertawaan mahasiswa berkaitan dengan masalah PKI, serta foto tim dokter dari RRC sedang memberikan perawatan medis kepada Soekarno. Foto-foto ini ditampilkan dalam deskripsi peristiwa G30S/1965.

Dalam buku ini, peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto dijelaskan dalam term pergantian kekuasaan, dan bukannya dalam term perebutan kekuasaan (coup d'etat). Soekarno dihadirkan sebagai personifikasi Orde Lama yang diidentifikasi dengan instabilitas politik, kemerosotan moral, dan krisis ekonomi. Sebaliknya, Soeharto digambarkan sebagai personifikasi Orde Baru yang berhasil menyelamatkan bangsa dari kondisi-kondisi kacau warisan Orde Lama.

Tahun 1968, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh meluncurkan buku The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia. Buku ini menegaskan kesimpulan rezim Orde Baru bahwa PKI adalah kekuatan di balik peristiwa G30S/1965 yang telah diberi kesempatan Soekarno untuk berkembang pesat pada akhir dekade 50-an dan awal dekade 60-an. Rezim Orde Baru secara implisit menyimpulkan kontribusi Soekarno dalam peristiwa September 1965. Buku ini merupakan reaksi atas buku Ben Anderson dan Ruth McVey berjudul Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia yang menyimpulkan ABRI sebagai pemain utama dalam peristiwa G30S/1965. Pada tahun 1978, Nugroho juga mengoordinasi penyusunan Buku Putih G30S Tahun 1965 dengan kesimpulan yang sama dengan buku pertama tadi.

Hal yang tak kalah menarik adalah sikap rezim Orde Baru ketika Kolonel (Purn) Soegiarso Soerojo mempublikasikan buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai tahun 1988. Buku ini sarat dengan tuduhan bahwa Soekarno seorang
Marxis, komunis, serta terlibat dalam G30S/1965. Menanggapi penerbitan buku ini, Mensesneg Moerdiono dengan tegas menyatakan bahwa secara politik Soekarno memang salah.

"Buktinya ada Tap MPRS tahun 1967, yang mencabut kekuasaannya dan tidak diterima pelaksanaan Nawaksara-nya," ujar Moerdiono. Dengan mengutip hasil Sidang MPRS 1967, Ketua BP-7 Oetoyo Oesman juga menyatakan, "Itulah kesalahan (Soekarno-pen) yang bertautan dengan Peristiwa G30S/PKI. Yakni, kesalahan di bidang politik dan kesalahan yuridis. Dua kesalahan itu yang menyebabkan Soekarno dikoreksi oleh wakil rakyat yang duduk dalam lembaga tertinggi negara MPRS di tahun 1967." Ketika berbagai pihak mempertanyakan keabsahan buku itu, Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono menyatakan substansi buku karya Soegiarso itu tidak mengganggu ketertiban umum sehingga tidak perlu dilarang.

Media massa dalam hal ini benar-benar dimanfaatkan rezim Orde Baru untuk melakukan delegitimasi terhadap Soekarno. Namun, media ternyata tak hanya memberi ruang kepada tafsir kebenaran negara tentang seluk-beluk G30S/1965, tetapi juga kepada tafsir-tafsir alternatif. Untuk memenangkan perdebatan di media yang kompetitif itu, tak pelak rezim Orde Baru menempatkan figur yang otoritatif dan berkompeten, seperti terwakili oleh figur Moerdiono, Oetoyo Oesman, dan Sukarton.

"Mikul dhuwur
mendhem jero"

Namun, desoekarnoisasi dalam berbagai bentuknya bukan satu-satunya dimensi dalam sikap politik Orde Baru terhadap Soekarno. Sebab menentukan sikap terhadap Soekarno, ternyata menjadi suatu hal yang dilematis bagi Orde Baru. Terus-menerus mendiskreditkan Bung Karno ternyata bukan pilihan yang tak mengandung risiko. Pada akhirnya, pertimbangan-pertimbangan politislah yang lebih menentukan apakah Orde Baru harus mendelegitimasi atau melegitimasi Soekarno.

Dalam ulang tahun PDI tahun 1978, Ali Moertopo mengumumkan rencana Presiden Soeharto untuk memugar kompleks makam Soekarno di Blitar. Rencana ini menjadi kontroversial dan mengundang kecurigaan karena bertolak belakang dengan perlakuan rezim Orde Baru terhadap Soekarno sebelumnya. Menurut Brooks, ada tiga kemungkinan di balik rencana itu. Pertama, Soeharto benar-benar ingin menghormati Soekarno. Kedua, rencana itu merupakan bagian dari strategi untuk menghadapi Pemilu 1992. Ada kepentingan politis untuk menetralisasi kekecewaan kalangan loyalis Soekarno atas sikap negara Orde Baru terhadap Soekarno sebelumnya. Kekecewaan ini dapat menimbulkan sikap apriori, bahkan antipati terhadap partai pemerintah (Golkar), dan sebaliknya menimbulkan dorongan untuk memilih partai politik yang "berseberangan" dengan pemerintah. Ketiga, rencana yang dapat menimbulkan efek rehabilitasi nama Soekarno bertujuan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari aksi-aksi protes mahasiswa yang cenderung semakin semarak tahun 1977-1978.

Tahun 1985, nama Soekarno (Hatta) diabadikan sebagai nama bandara udara terbesar di Indonesia. Setahun kemudian, Orde Baru juga mengesahkan Soekarno-Hatta sebagai pahlawan proklamator kemerdekaan RI dan membangun Tugu Proklamator untuk mengenang jasanya. Beberapa pengamat menilai "eforia" Soekarno ini bisa jadi merupakan strategi untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari krisis ekonomi akibat anjloknya harga minyak pada awal dekade 1980-an. Krisis ini dapat melemahkan legitimasi kekuasaan Soeharto pada Pemilu 1987.

Pada titik ini terlihat Soeharto menerapkan dua pendekatan yang berbeda terhadap Soekarno. Ia secara diam-diam berusaha mendiskreditkan Soekarno dan mengontrol pengaruhnya. Ketika taktik ini kurang berhasil, Soeharto berusaha untuk mewarisi popularitas Soekarno dengan menempatkan diri sebagai bagian dari kontinum kekuasaan yang telah digerakkan Soekarno. Kombinasi antara containment dan cooptation ini menjadi ekspresi dasar dari falsafah mikul dhuwur mendhem jero. Soeharto dapat menunjukkan penghormatannya kepada Soekarno sekaligus membelenggu mitologi-mitologi tentang Soekarno dengan selalu menekankan bahwa Soekarno telah melakukan berbagai kesalahan.

Entah ada hubungannya dengan sikap di atas atau tidak, yang jelas desoekarnoisasi tak pernah berakhir tuntas. Romantisisme terhadap Soekarno hingga kini belum sepenuhnya pudar. Simbol-simbol Soekarno masih menjadi sarana yang efektif untuk menggalang massa dalam pemilu. Beberapa jajak pendapat yang dilakukan media massa juga menunjukkan generasi yang tak mengenal hiruk-pikuk perpolitikan era Soekarno dan yang notabene tak dididik untuk "melek" politik pun banyak yang mengagumi Soekarno melebihi tokoh sejarah yang lain.

Meminjam istilah Cornelis Lay, Soekarno bukan saja terus bertahan sebagai ideologi dan pemikiran politik, namun dari waktu ke waktu mendapatkan impor energi yang semakin besar dari kegagalan Orde Baru dalam merumuskan ideologi bagi bangsa Indonesia yang
ingin mereka bangun.

* Agus Sudibyo Peneliti pada Institut Studi Arus Informasi Jakarta, menulis buku Citra Bung Karno, Analisis Berita Pers Orde Baru
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/deso70.htm
soekarno file di kompas

Bung Karno, Seni, dan Saya

Bung Karno, Seni, dan Saya
Daoed Joesoef


Dok Kompas

SEWAKTU ber-SMA di Yogyakarta selama periode revolusi fisik, saya menggabungkan diri pada organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM) dan dipilih menjadi ketuanya di saat organisasi itu mula-mula didirikan pada tahun 1946. Organisasi ini berpusat di Solo, dengan S Soedjojono sebagai Ketua Umum SIM, dan mempunyai dua cabang, di Yogya dan Madiun. Anggota SIM cabang Yogya tidak banyak jumlahnya, namun terdiri dari para pelukis senior yang sudah "jadi", yaitu Affandy, Hendra, Roesli, Soedarso, Dullah, Hariadi, dan beberapa pelukis muda "harapan", seperti Troeboes, Zaini, Nasyah Djamin, Nazhar, Soeharto, dan Tino Sidin.Sanggar SIM di Alun-alun Lor sering dikunjungi oleh tamu-tamu negara dari negara asing, atas anjuran Bung Karno, dan ada kalanya SIM diminta membawa koleksi lukisan anggota-anggotanya ke Istana Negara untuk dipamerkan oleh Presiden kepada para tamu.

Pada suatu pagi, tiba-tiba datang utusan dari Bung Karno yang meminta SIM segera membawa karya-karya yang bermutu ke Istana. Saya memang tinggal sendirian di sanggar dan kebetulan belum berangkat ke sekolah. Mengingat waktu yang disediakan hanya dua jam, tidak ada kesempatan bagi saya untuk mengabarkan hal ini kepada para anggota senior yang tinggal bertebaran jauh dari sanggar. Maka saya sendirilah-seorang diri-yang akhirnya membawa lukisan-lukisan dengan andong ke Istana Negara di Jalan Malioboro.

Tidak lama setelah lukisan siap dipajang di serambi depan Istana, dari ruang dalam keluar ketiga Bung Besar, yakni Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Rupanya mereka ingin melihat lebih dahulu lukisan-lukisan yang ada sebelum membanggakannya nanti di muka para tamu. Bung Karno menanyakan kepada saya-dengan nada kebapakan-apakah tidak keberatan kalau mereka berbahasa Belanda. Saya katakan sama sekali tidak, karena saya mengerti bahasa tersebut.

Sebelum Jepang datang, saya sudah sempat duduk di kelas satu MULO. "Wel, in dat geval mag ik u dan verzoeken, meneer de voorzitter, om mee te praten met ons?!", kata Bung Karno dengan nada kepresidenan, namun dengan sikap bercanda. "Met genoegen, meneer de president," jawab saya, "en dank u zeer."

Lalu sambil berkeliling menatap lukisan satu per satu, yang untuk sebagian besar bercorak ekspresionistis dan impresionistis, Bung Karno dan Bung Sjahrir bertukar pikiran mengenai apresiasi masing-masing. Dalam berdiskusi mereka saling "bertutoyer" saja-kelihatan intim sekali-namun saya tetap membahasakan mereka dengan sebutan "u". Walaupun umur saya jauh lebih muda dan bicara Belanda saya tentu tidak selancar mereka, saya tidak merasa mereka remehkan. Mereka mendengarkan dengan saksama uraian dan ulasan saya, termasuk tentang pendapat mereka, dan tidak memotong pembicaraan sebelum saya selesai berbicara.

Dari perdebatan seni itu saya berkesimpulan bahwa Bung Karno lebih merupakan seorang "pencinta seni" (kunst liefhebber). Bagi dia seni lukis, atau seni rupa pada umumnya, adalah identik dengan keindahan visual. Maka itu tidak mengherankan kalau dia menggandrungi lukisan-lukisan wanita cantik dari Basoeki Abdoellah. Wanita dengan kecantikan wajah dan kemolekan tubuhnya adalah by nature simbol dari keindahan par excellence. Inilah idee fixe yang kiranya menentukan pula sikap dan perlakuannya terhadap wanita. Baginya, tarikan atau jalannya kuas yang ekspresif tidak begitu penting untuk diperhatikan apalagi diperhitungkan. Kalaupun dia "tertarik" pada lukisan Affandy yang serba impresionistis dan karya Soedjojono yang begitu ekspresif, saya pikir-menurut kesan saya-karena dia telah mengenal baik kepribadian dan kemanusiaan kedua seniman tersebut dan naluri humanitasnya-bukan penalaran seninya-mengakui ketinggian mutu seni karya-karya mereka.

Bung Sjahrir, sebaliknya, mengesankan benar-benar seorang "pengenal seni" (kunstkenner) dan sangat mengetahui sejarah perkembangan seni rupa modern. Saya sendiri sebelumnya tidak menduga bahwa pengetahuan umumnya tentang seni sedalam dan seluas itu. Mungkin sekali selama studi di negeri Belanda dahulu dia telah melihat sendiri lukisan-lukisan modern yang asli di berbagai museum Eropa. Dia ternyata seorang intelektual hasil tempaan nalar akademis Eropa Barat yang berpembawaan luas. Dia dan Bung Karno lama memperdebatkan "konsep" seni mengingat "keindahan visual" tidak selalu disepakati sebagai "de standaard" mutu seni. Akhirnya kedua Bung Besar menantang jawaban saya yang, menurut Bung Karno, memegang leiderschap SIM cabang Yogyakarta, Ibu Kota Republik Indonesia, "membawahi" beberapa pelukis senior yang dia kenal baik.

Saya katakan bahwa "keindahan" bukan berupa "harga mati" yang terpatri di mata atau kertas uang, bisa dipindahkan dari satu tangan ke tangan lain dengan nilai yang sama tetap. Tidak ada seorang pun yang berani mengatakan bahwa apa yang diperlukan bagi kreasi suatu seni yang baik adalah sebuah konsep yang baik mengenai seni. Namun, saya bisa mengatakan bahwa suatu konsep seni yang tidak memadai dapat menghambat-bahkan merusak-jalannya kreativitas. Di kalangan para seniman sendiri mungkin ada yang tidak tertarik secara khusus pada teori estetika dan di antara mereka yang mungkin relatif lemah dalam teori tersebut, atau bahkan tidak mempedulikannya sama sekali, tentu ada yang mungkin mampu mengombinasikan bakat kreasi artistik dengan flair untuk estetika. Kelihatannya bila pikiran tidak bisa menjelaskan, naluri punya alasan-alasannya sendiri. Maka bila otak manusia belum mampu mengatur, biarkanlah kodrat alam membimbing sewajarnya. Dalam berkarya perlu bagi seniman tetap memupuk individualitas, eigen persoonlijkheid, dalam artian tidak ikut-ikutan dan bisa menjelaskan sendiri mengapa karyanya dianggap baik dan waardig genceg untuk dipamerkan.

Selama perdebatan seni ini Bung Hatta diam saja. Sikapnya bagai "guru" yang sedang mengawasi "murid-muridnya" sedang bertengkar. Dia ikut mendengarkan dengan serius, menatap muka setiap pembicara dan sesekali tersenyum lembut. Saya berkeringat dingin bukan karena berdebat dengan Bung Karno dan Bung Sjahrir, tetapi karena tahu sedang diawasi terus-menerus oleh Bung Hatta. Saya tidak yakin kalau tokoh yang saya kagumi ini tidak tertarik pada seni. Betapa tidak. Saya ingin benar ketika masih remaja di zaman Belanda dahulu saya pernah menghadiri malam deklamasi di gedung organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) di Medan. Ketika itu para anggota senior dari JIB membacakan berbagai soneta, sajak, dan syair dari beberapa pujangga "Pulau Masa Depan", yaitu Muhammad Jamin, Sanusi dan Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Tengku Amir Hamzah, dan ... Mohammad Hatta.

Cobalah perhatikan tanda tangan negarawan kita yang satu ini. Ia benar-benar merupakan ekspresi dari suatu jiwa seni. Sebagai tanda tangan ia bukan sembarang ungkapan jati diri, tetapi merupakan pula suatu gubahan kaligrafis yang bermutu, suatu persenyawaan yang sungguh artistik dari dua jenis huruf, yaitu Latin dan Arab.

***

SATU kejadian lain lagi, masih di Yogyakarta, menambah kenangan pribadi saya dengan Bung Karno, humanis dan pencinta seni. Saya diajak oleh pelukis Affandy menemui Bung Karno di Istana Negara. Dia ingin menjual lukisannya kepada Bung Presiden karena istrinya sakit berat dan perlu uang untuk obat serta dokter. Walaupun kunjungan ini mendadak dan tanpa membuat janji lebih dahulu, Bung Karno, toh, bersedia menerima Sang Pelukis dengan ramah. Mereka berbicara dengan akrab dalam bahasa Belanda. Setelah mendengar maksud kedatangan Affandy, Bung Karno lama termenung dan diam saja. Akhirnya dengan suara bernada rendah dia berkata: "Mas, terus terang sekarang ini saya tidak punya uang. Tapi, terimalah pulpen saya ini. Nama saya ada diukir di situ. Barangkali saja bisa dijual dan pakai uangnya untuk biaya pengobatan yang diperlukan."

Pak Affandy menolak pemberian pulpen itu sambil berkata dengan lirih, "Bung, terima kasih. Saya butuh uang, bukan pulpen. Saya juga tidak tahu di mana bisa menjualnya. Lagi pula jangan-jangan saya nanti dituduh mencuri." Mendengar ucapan Affandy yang terakhir itu Bung Karno tertawa terbahak-bahak. Tanpa disadari, Pak Affandy dan saya ikut pula tertawa sejadinya. Lalu Bung Karno bangkit dari duduknya, berdiri dan menepuk bahu Pak Affandy. "Tunggu sebentar Mas Affandy", katanya, "saya akan menemui Bu Fat di dalam." Tidak lama kemudian, Bung Karno keluar, lalu memilih sebuah lukisan yang ditawarkan, dan memberikan sebuah amplop kepada Sang Pelukis. "Terimalah ini, saya pinjam dulu dari Bu Fat, diambil dari uang belanja sehari-hari", katanya. "Jumlahnya memang tidak seberapa. Kekurangannya akan saya angsur bulan depan. Sudah saya perintahkan kepada dokter kepresidenan supaya memeriksa Bu Affandy di rumah. Tolong tinggalkan alamat rumah kepada ajudan sebelum pulang."

Setelah mengucapkan terima kasih kami berdua segera meninggalkan Bung Karno dengan membawa sisa lukisan yang tidak dibeli. Di tengah jalan saya katakan kepada Pak Affandy betapa mahal harga pulpen Bung Karno itu di kemudian hari, lebih-lebih kelak bila revolusi Indonesia telah selesai dan berhasil. "Ah, dik", jawab Sang Maestro, "bila harus menunggu selama itu tanpa uang buat beli obat, istri saya sudah keburu mati." Saya pikir-pikir, betul juga ungkapan polos Pak Affandy ini.

Mengingat betapa pentingnya karya seni sebagai wahana untuk menaikkan citra bangsa, berdasarkan pengalaman berpameran di Istana selama ini, saya pikir ia bisa juga dipakai sebagai wahana diplomasi untuk menembus blokade Belanda. Kira-kira sama dengan diplomasi beras dengan India dari Sutan Sjahrir. Saya lalu menulis surat kepada Presiden Soekarno. Di situ saya usulkan supaya pemerintah mengirim Pak Affandy berpameran di luar negeri agar Indonesia dikenal luas di kalangan internasional dan dengan demikian menguak tabir kebohongan Belanda yang selalu mengecilkan martabat bangsa kita.

Saya pilih Pak Affandy, karena pelukis kita yang satu ini sudah memiliki koleksi yang cukup untuk berpameran tunggal. Dia betul-betul kreatif, siang dan malam terus berkarya. Kalau sedang melukis seperti orang kesurupan dan mutu lukisannya pantas dibanggakan. Pada Pak Affandy bisa saja dititipkan karya pelukis-pelukis lainnya, dan kalau keuangan negara memungkinkan diikutsertakan pula satu atau dua pelukis
senior.

Perbuatan saya ini disalahkan oleh Ketua Umum SIM karena dianggap melampaui wewenang Ketua Cabang SIM tanpa berkonsultasi lebih dahulu dengan pengurus pusat. Saya dipanggil ke Solo dan diadili di dalam rapat yang dihadiri oleh pelukis-pelukis senior dan yunior yang ada di pusat. Setelah Ketua Umum SIM menjatuhkan vonisnya yang menyatakan saya bersalah, saya bangkit dan mendatangi mejanya. Saya gebrak meja itu dan berkata keras, "Persetan!". Saya segera keluar dari ruang rapat dan langsung pulang ke Yogyakarta.

***

DI tahun 1960-an Bung Karno membiarkan-kalaupun bukan membenarkan-penghancuran Gedung Proklamasi, rumah kediamannya dahulu, yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur. Bersamaan dengan itu diruntuhkan pula sebuah tugu kecil sederhana di halaman gedung yang biasa disebut Tugu Proklamasi. Ketika itu ada yang mengkritik penghancuran tersebut, dan saya kira per-buatan destruktif ini memang merupakan satu blunder yang sangat tercela.

Apa pun alasan penghancuran ini, Bung Karno telah melenyapkan satu saksi penting dari sejarah bangsa, padahal di Yogya dahulu dia sering mengatakan kepada pemuda-pelajar betapa pentingnya orang mempelajari sejarah. Maka, sebagai tanda protes, ketika proses penghancuran gedung bersejarah itu sedang dilaksanakan, saya kirim sebuah lukisan cat air kepada Bung Karno. Lukisan ini berukuran 15 x 20 cm dan di situ saya gambarkan Bung Karno berhadap-hadapan dengan saya. Lukisan saya beri judul "Soekarno sainganku". Saya kirim per pos dan sebagai pengirim saya sebut: Daoed Joesoef, ex-voor-zitter van SIM Yogyakarta.

Pernah terpikir oleh saya apakah perbuatan Bung Karno ini bukan suatu gerak refleks spontan dari seorang seniman. Bukankah seorang seniman biasa menghancurkan karyanya-lukisan, patung, partitur musik-bila dia kesal atau tidak puas dan orang lain tidak berhak melarangnya karena yang dihancurkannya itu adalah miliknya sendiri. Hal seperti ini memang sering terjadi dalam sejarah.

Namun, yang dihancurkan oleh Bung Karno itu bukan sekadar bangunan rumah miliknya sendiri. Yang dilenyapkannya bersama-sama dengan kehancuran rumah dan tugu di Pegangsaan Timur itu adalah sebuah bukti otentik dari suatu sejarah kolektif, sejarah perjuangan nasional, walaupun memang diakui betapa besar peranannya dalam kejadian bersejarah yang pantas dibanggakan itu.

Di awal tahun 1950-an, halaman Gedung Proklamasi sering menjadi tempat berkumpul para pemuda yang dahulu turut aktif dalam perjuangan revolusi fisik di daerah-daerah. Halaman ini cukup luas, teduh, dan di senja hari cukup nyaman sebagai ajang pertemuan. Pertemuan itu sendiri terjadi secara spontan, tanpa rencana apa dan oleh siapa pun sebelumnya. Masing-masing datang atas keinginannya sendiri, termasuk saya, dan lalu terjalinlah perkenalan yang akrab. Dengan membentuk lingkaran di atas rumput, setiap orang duduk menceritakan pengalaman masing-masing, anekdot suka duka berjuang dalam kesatuan Tentara Pelajar (TP), Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), atau pasukan perjuangan kedaerahan lainnya. Pernah satu kali saya gelar di muka mereka semua sketsa perjuangan yang saya buat di tempat kejadian selama di Sumatera dan di berbagai front Jawa Tengah sewaktu aksi polisional Belanda yang pertama.

Namun, lama-kelamaan, dari hari ke hari, cerita-cerita nostalgia ini berubah menjadi ungkapan kejengkelan dan ketidakpuasan tentang suasana politik dan tingkah laku para elite partai. Mereka asyik saling memaki dan menuduh, tetapi diam-diam sibuk memperebutkan aset yang berangsur-angsur ditinggal Belanda, berupa pabrik, perkebunan, rumah, dan harta benda lainnya. Yang paling menjengkelkan para peserta pertemuan di halaman rumah Pegangsaan Timur ini bukanlah keserakahan para Bapak itu saja, tetapi kenyataan bahwa para pemuda eks-pejuang sudah ikut memperebutkan harta karun. Idealisme mulai sirna dan masing-masing mulai menyalahgunakan surat-surat perjuangan masa lalu sebagai kunci masuk ke khazanah harta peninggalan Belanda, padahal dahulu baik TP maupun TRIP telah berikrar akan berjuang demi kemerdekaan tanpa pamrih pribadi.

Oleh karena jengkel dan muak melihat keadaan itu, beberapa orang pemuda mengumpulkan dokumen-dokumen perjuangan pribadi untuk dibakar sebagai bukti dari tekad tidak akan menggunakan partisipasi perjuangan masa lalu guna mendapatkan berbagai keistimewaan dan fasilitas. Dan pembakaran ini dilakukan dengan khidmat, pada suatu senja, di kaki tugu sederhana yang ada di halaman depan Gedung Proklamasi.

Saya pernah mendapat kesempatan melihat-lihat keadaan rumah bersejarah ini dari dalam. Tanpa saya minta, kesempatan ini ditawarkan oleh Bapak dan Ibu Moenar S Hamidjojo yang saya kenal sejak remaja di Medan. Suami-istri terpelajar ini adalah tokoh-tokoh pergerakan yang berkiprah di bidang pendidikan, kepanduan, dan pembinaan semangat kebangsaan di kalangan remaja. Di awal tahun 50-an ini, Pak Moenar rupanya ditarik oleh Pemerintah Pusat ke Jawa dan sementara menunggu penempatannya di jajaran pemerintahan daerah Jawa Tengah, dia dan istrinya diizinkan tinggal di Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur sekaligus menjaga keamanannya.

Saya kadang-kadang mampir menjenguk mereka di siang hari kalau ada kuliah malam hari di Salemba. Mungkin karena melihat saya lelah sekali, pada suatu hari yang cukup terik, mereka menawarkan saya istirahat sejenak di ruang tengah. Tikar yang mereka berikan saya gelar di lantai. Sebelum tertidur saya bayangkan kesibukan, ketegangan, kecemasan, dan harapan yang dialami oleh orang-orang di rumah ini menjelang pembacaan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kira-kira sebulan setelah saya dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1978, saya diundang untuk memberikan pidato dalam rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei, bertempat di Gedung Pola yang dahulu dibangun Bung Karno di atas puing reruntuhan Gedung Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur. Keengganan berpidato di tempat itu saya katakan terus terang kepada panitia perayaan. Mereka jelaskan bahwa yang diundang cukup banyak: tokoh-tokoh dari generasi pergerakan di zaman Belanda, zaman Jepang, zaman revolusi fisik dan pemuda, mahasiswa, pelajar, pramuka serta pimpinan dari berbagai organisasi sosial, termasuk tiga orang mantan Menteri P dan K, dua di antaranya asal Aceh. Maka satu-satunya tempat yang mampu menampung orang sebanyak itu dengan ongkos sewa yang relatif murah adalah Gedung Pola yang berdiri di atas lahan Gedung Proklamasi dahulu.

Sesudah berpidato, saya tidak segera pulang. Saya jalani perlahan-lahan halaman gedung, di mana terdapat patung Bung Karno dan Bung Hatta, sambil mencoba membayangkan semua yang telah terjadi di sini, termasuk apa-apa yang pernah saya lakukan sendiri. Beberapa orang dari panitia penyelenggara peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanpa diminta mengiringi saya berkeliling. Salah seorang di antaranya memberanikan diri untuk menanyakan mengapa saya dahulu sangat menyesali penghancuran Gedung Proklamasi. "Karena saya pernah makan dan tidur di situ", jawab saya singkat.

*Daoed Joesoef Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan mantan Ketua Dewan Direktur Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/bung78.htm
soekarno file di kompas

Dunia Menurut Sang Putra Fajar

Dunia Menurut Sang Putra Fajar
Budiarto Shambazy


DENGAN baju kebesaran berwarna putih, lengkap dengan kopiah dan kacamata baca, Bung Karno tidak mempedulikan protokoler Sidang Umum.

Biasanya, setiap kepala negara berpidato sendiri saja. Tetapi, untuk pertama kalinya, Bung Karno naik ke podium didampingi ajudannya, Letkol (CPM) M Sabur. Lima tahun kemudian, per tanggal 1 Januari 1965, Bung Karno menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Ia memrotes penerimaan Malaysia, antek kolonialisme Inggris, menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK)-PBB. Ketika mendengar instruksi Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu dari PTRI New York, Sekjen PBB U Thanh menangis sedih, tak menyangka BK begitu marah dan kecewa.

Bung Karno dikenal sering kecewa dengan kinerja DK-PBB. Sampai sekarang pun kewenangan DK-PBB yang terlalu luas masih sering terasa kontroversial. Misalnya, ketika mereka-terutama AS, Inggris dan Perancis-bersama Sekjen Koffi Annan, menjatuhkan sanksi-sanksi tak berperikemanusiaan atas Irak. Sudah lama memang Bung Karno tidak menyukai struktur PBB yang didominasi negara-negara Barat, tanpa memperhitungkan representasi Dunia Ketiga yang sukses unjuk kekuatan dan kekompakan melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Untuk itulah, setiap tahun Bung Karno coba mengoreksi ketimpangan itu dengan memperjuangkan diterimanya Cina, yang waktu itu diisolasi Barat.

"Kita menghendaki PBB yang kuat dan universal, serta dapat bertugas sesuai dengan fungsinya. Oleh sebab itulah, kami konsisten mendukung Cina," kata Bung Karno. Wawasan berpikir Bung Karno waktu itu ternyata benar. Cina bukan cuma lalu diterima sebagai anggota, namun juga menjadi salah satu anggota tetap DK-PBB. Puluhan tahun lalu, Bung Karno sudah memproyeksikan Cina sebagai negara besar dan berpengaruh, yang harus dilibatkan dalam persoalan-persoalan dunia. Dewasa ini, Cina sudah memainkan peranan penting dalam mengoreksi perimbangan kekuatan regional dan internasional, yang sudah terlalu lama dijenuhkan oleh penyakit yang berjangkit Perang Dingin.

Kini hampir semua warga dunia sudah familiar dengan kata "globalisasi" atau saling keterkaitan (linkage) antar-bangsa, baik secara politis maupun ekonomis. Dan dalam pidato To Build the World Anew, Bung Karno sudah pernah mengucapkannya. "Adalah jelas, semua masalah besar di dunia kita ini saling berkaitan. Kolonialisme berkaitan dengan keamanan; keamanan juga berkaitan dengan masalah perdamaian dan perlucutan senjata; sementara perlucutan senjata berkaitan pula dengan kemajuan perdamaian di negara-negara belum berkembang," ujar Sang Putra Fajar.

Di mana pun di dunia, Bung Karno tak pernah lupa membawakan suara Dunia Ketiga dan aspirasi nasionalisme rakyatnya sendiri. Siapa pun yang tidak suka kepadanya pasti akan mengakui sukses Bung Karno memelopori perjuangan Dunia Ketiga melalui Konrefensi Asia-Afrika atau KTT Gerakan Nonblok. Inilah Soekarno yang serius. Jika sedang santai dalam saat kunjungan ke luar negeri, Bung Karno menjadi manusia biasa yang sangat menyukai seni. Kemana pun, yang tidak boleh dilupakan dalam jadwal kunjungan adalah menonton opera, melihat museum, atau mengunjungi seniman setempat. Hollywood pun dikunjunginya, ketika Ronald Reagan dan Marilyn Monroe masih menjadi bintang film berusia muda.

Ia pun tak segan memarahi seorang jenderal besar jago perang, Dwight Eisenhower, yang waktu itu menjadi Presiden AS dan sebagai tuan rumah yang terlambat keluar dari ruang kerjanya di Gedung Putih dalam kunjungan tahun 1956. Sebaliknya, Bung Karno rela memperpanjang selama sehari kunjungannya di Washington DC, setelah mengenal akrab Presiden John F Kennedy. Waktu berkunjung ke AS, banyak wartawan kawakan dari harian-harian besar di Amerika-mulai dari The New York Times, The Washington Post, LA Times, sampai Wall Street Journal-menulis dan memuat pidato dan pernyataannya yang menggugah, foto-fotonya yang segar, sampai soal-soal yang mendetail dari Bung Karno.

Kunjungan-kunjungannya ke luar negeri, memang membuat Bung Karno menjadi tokoh Dunia Ketiga yang selalu menjadi sorotan internasional. Sikapnya yang charming dan kosmopolitan, kegemarannya terhadap kesenian dan kebudayaan, pengetahuannya mengenai sejarah, bahasa tubuhnya yang menyenangkan, mungkin menjadikan Bung Karno menjadi tamu agung terpenting di abad ke-20, yang barangkali cuma bisa ditandingi oleh Fidel Castro atau JF Kennedy.

PERUMUSAN politik luar negeri sebuah negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia Kedua, lebih banyak dipengaruhi oleh kepala negara/pemerintahan. Mereka sangat berkepentingan untuk menjaga negara mereka masing-masing agar tidak terjerumus ke dalam persaingan ideologis dan militer Blok Barat melawan Blok Timur. Lagi pula, netralitas politik luar negeri semacam ini waktu itu berhasil menggugah semangat "senasib dan sepenanggungan" di negara-negara baru Asia dan Afrika, untuk menantang bipolarisme Barat-Timur melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.

Di Indonesia, peranan Bung Karno dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, jelas sangat dominan sejak ia mulai memerintah sampai akhirnya ia terisolasi menyusul pecahnya peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Ia bahkan menjadi salah satu founding father pembentukan Gerakan Nonblok (GNB) sebagai kelanjutan dari Konferensi Bandung. Penting untuk digarisbawahi pula, Bung Karno pada awalnya menjadi satu-satunya pemimpin Dunia Ketiga yang dengan sangat santun menjalin serta menjaga jarak hubungan yang sama dan seimbang, dengan negara-negara Barat maupun Timur.

Hubungan Bung Karno dengan Washington pada prinsipnya selalu akrab. Akan tetapi, Bung Karno merasa dikhianati dan mulai bersikap anti-Amerika ketika pemerintahan hawkish Presiden Dwight Eisenhower mulai menjadikan Indonesia sebagai tembok untuk membendung komunisme Cina dan Uni Soviet pada paruh kedua dasawarsa 1950. Sewaktu Moskwa dan Beijing terlibat permusuhan ideologis yang sengit, Bung Karno juga relatif mampu menjaga kebijakan berjarak sama dan seimbang (equidistance) terhadap Cina dan Uni Soviet.

Lagi pula, Bung Karno dengan sangat pandai menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Bobot Indonesia sebagai negara yang besar dan strategis, peranan penting Indonesia dalam menggagas GNB, dan posisi "soko guru" sebagai negara yang baru merdeka, benar-benar dimanfaatkannya sebagai posisi tawar yang cukup tinggi dalam diplomasi internasional. Oleh sebab itulah, pelaksanaan politik luar negeri yang high profile ala Bung Karno, tidak pelak lagi, membuat suara Indonesia terdengar sampai ke ujung dunia.

Mengapa ia akhirnya kecewa kepada Washington sehingga hubungan bilateral AS-Indonesia semakin hari semakin memburuk? Sebab Bung Karno tahu persis sepak terjang AS-juga Inggris, Australia dan Malaysia-ketika membantu pemberontakan PRRI-Permesta. Lebih dari itu, setelah kegagalan pemberontakan itu, Pemerintah AS memasukkan Bung Karno dalam daftar pemimpin yang harus segera dilenyapkan karena menjadi penghalang containment policy Barat terhadap Cina. Juga ada beberapa alasan domestik yang membuat Washington kesal terhadap Bung Karno, seperti sikapnya kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada lima tahun pertama dekade 1960, hubungan Indonesia dengan Cina meningkat pesat. Mao Zedong sangat menghormati Bung Karno yang memberikan tempat khusus kepada komunis, dan sebaliknya Bung Karno mengagumi perjuangan Mao melawan dominasi AS dan Rusia di panggung internasional. Istimewanya hubungan Bung Karno dengan Mao ini tercermin dari gagasan pembentukan Poros Jakarta-Beijing. Bahkan kala itu poros ini sempat akan diluaskan dengan mengajak pemimpin Korut Kim Il-sung, pemimpin Vietnam Utara Ho Chi Minh, dan pemimpin Kamboja Norodom Sihanouk.

Tatkala memutuskan untuk keluar dari PBB, Bung Karno mencanangkan pembentukan New Emerging Forces sebagai reaksi terhadap Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Ia juga bercita-cita membentuk sendiri forum konferensi negara-negara baru itu di Jakarta, sebagai reaksi terhadap dominasi PBB yang dinilainya terlalu condong ke Barat. Sungguh patut disayangkan, wadah kerja sama Dunia Ketiga ini hanya sempat bergulir sampai pesta olahraga Ganefo belaka.

***

SEPERTI telah disinggung di atas, dominasi Bung Karno dalam perumusan politik luar negeri yang bebas dan aktif, sangat dominan. Persepsi, sikap, dan keputusan Bung Karno dalam mengendalikan diplomasi Indonesia, bersumber pada pengalaman-pengalamannya dalam kancah perjuangan dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mungkin karena terlalu banyak krisis yang dihadapi Bung Karno selama ia memimpin, membuat pelaksanaan politik luar negerinya menjadi high profile dan agak bergejolak.

Akan tetapi, gejolak-gejolak tersebut, juga sikap Bung Karno menghadapi politik Perang Dingin, tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kelemahan ataupun penyimpangan dari politik luar negeri yang bebas aktif. Justru yang terjadi, Bung Karno senantiasa mencoba menghadirkan gagasan-gagasannya tentang dunia yang damai dan adil, dengan mengedepankan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang menyuarakan nasib Asia dan Afrika.

Penting pula untuk ditegaskan, perilaku internasional Bung Karno pada kenyataannya memang berhasil mengangkat derajat masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga dalam menghadapi kemapanan politik Perang Dingin. Malahan jika menghitung akibatnya, ada kekhawatiran besar di negara-negara adidaya terhadap internasionalisasi sukarnoism yang akan membahayakan posisi mereka.

Jika berbicara mengenai sumber-sumber yang mempengaruhi "politik global" Bung Karno, sesungguhnya mudah untuk memahaminya. Ia lahir dari persatuan antara dua etnis, Bali dan Jawa Timur. Ia menikahi pula gadis dari Pulau Sumatera. Ia beberapa kali dipenjarakan penjajah Belanda di berbagai tempat di Nusantara, membuatnya mengenal dari dekat kehidupan berbagai
etnis. Pendek kata, ia lebih "Indonesia" ketimbang menjadi seorang yang "Jawasentris."

Dalam pandangan Bung Karno, dunia merupakan bentuk dari sebuah "Indonesia kecil" yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Dan ini betul. Bung Karno seakan-akan membawa misi untuk membuat agar semua bangsa berdiri sama tinggi dan setara di dunia ini, sama dengan upayanya berlelah-lelah mempersatukan semua suku bangsa menjadi Indonesia. Meskipun Indonesia cuma menyandang kekuatan menengah, Bung Karno sedikit banyak memiliki sebuah "visi dunia" seperti para pemimpin negara adidaya, yang waktu itu merupakan sebuah utopia belaka.

Pengalaman pahit menghadapi penjajah Belanda serta Jepang, merupakan sumber utama bagi Bung Karno untuk membawa Indonesia menjadi anti-Barat di kemudian hari. Kebijakan anti-komunisme yang dijalankan Barat untuk membendung pengaruh Uni Soviet, menurut Bung Karno merupakan sebuah pemasungan terhadap sebuah penolakan terhadap hak kesetaraan semua bangsa di dunia untuk bersuara. Persepsi Bung Karno mengenai perjuangan GNB pun serupa, yakni memberdayakan Dunia Ketiga untuk mengikis ketimpangan antara negara-negara kaya dengan yang miskin.

Pada hakikatnya, wawasan Bung Karno tentang perlunya memperjuangkan ketidakadilan internasional itu, masih relevan dengan situasi politik dan ekonomi global saat ini. Entah sudah berapa banyak dibentuk fora-fora kerja sama politik dan ekonomi internasional, yang masih gagal menutup kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin, seperti Dialog Utara-Selatan, atau G-15. Sampai saat ini pun, PBB masih belum melepaskan diri dari genggaman kepentingan-kepentingan negara-negara Barat di Dewan Keamanan.

***

ANDAIKAN saja Bung Karno tidak tersingkir dari kekuasaan, apa yang sesungguhnya telah ia lakukan dalam ruang lingkup politik global? Mungkin saja, satu-satunya kegagalan-kalaupun itu layak disebut sebagai kegagalan-adalah
ingin menantang atau mengubah (to challenge) tata dunia yang "stabil" pada masa itu.

Stabilitas, atau equilibrium global pada saat itu, suka atau tidak, diatur oleh perimbangan kekuatan antara Barat dengan Timur. Kedua blok yang berseteru meyakini bahwa perdamaian abadi hanya bisa dicapai dengan sebuah lomba senjata yang seimbang, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

Pengaturan perimbangan kekuatan itu bersifat pasti, matematis, dan mengamankan dunia dari ancaman instabilitas. Itulah jadinya pembentukan NATO dan Pakta Warsawa, serta perjanjian hot line dan anti-tes senjata nuklir antara JF Kennedy dengan Nikita Kruschev. Stabilitas global AS-Uni Soviet inilah yang juga menjamin peredaan ketegangan dan tercegahnya perang antara Eropa Barat dengan Eropa Timur, antara Korut dan Korsel di Semenanjung Korea, antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan di daratan Asia Tenggara, dan antara Kuba dengan AS.

Pada prinsipnya, akan selalu ada pemimpin yang ingin mengubah stabilitas semu semacam ini. Upaya-upaya yang membahayakan kemaslahatan perimbangan kekuatan tersebut, akan selalu menimbulkan krisis politik atau krisis militer. Bagi para penjamin stabilitas, seorang Bung Karno memang hanya merupakan sebuah ancaman yang akan menimbulkan krisis politik, bukan krisis militer. Oleh sebab itulah perlu ditekankan sekali lagi, pihak-pihak Barat-khususnya AS dan Inggris-sudah sampai pada kesimpulan bahwa Bung Karno mesti dilenyapkan.

Sayang sekali, inisiatif-inisiatif diplomasi Bung Karno terhenti di tengah jalan saat ia diisolasi dari kekuasaannya. Betapapun, banyak doktrin dari politik luar negeri yang dijalankannya, dilanjutkan oleh para penggantinya. Warisan Bung Karno bukan hanya menjadi diorama yang bagus dilihat-lihat, tetapi juga masih kontekstual untuk zaman-zaman selanjutnya.

Tidak pada tempatnya bagi kita untuk menyesali politik
luar negeri Bung Karno, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Apakah kebijakan lebih buruk ketimbang politik luar negeri yang cuma mengemis-ngemis bantuan luar negeri? Apakah melepas Timor Timur juga merupakan kebijakan yang lebih baik? Apakah berwisata ke luar negeri tanpa tujuan, lalu mendengang-dengungkan poros Cina-Indonesia-India juga lebih hebat dari politik global Bung Karno?

Sesuai dengan julukan Sang Putra Fajar, Bung Karno membuka matanya melihat terang benderang dunia saat fajar menyising, tatkala sebagian dari kita masih terlelap menutup mata. Dunia versi Bung Karno adalah dunia yang mutlak harus berubah menjadi tempat yang lebih adil dan setara bagi semua. Kita pernah beruntung memiliki seorang duta bangsa, yang sekaligus juga seorang diplomat terulung yang pernah dimiliki Indonesia.

* Budiarto Shambazy Wartawan Kompas.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/duni60.htm
soekarno file di kompas

Soekarno di Masa Krisis PDRI

Soekarno di Masa Krisis PDRI
Mestika Zed


Dok Kompas

BULAN-bulan terakhir tahun 1948 adalah saat terberat dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan saja karena Republik yang masih usia balita itu harus menghadapi musuh di depan Belanda-tetapi juga ditusuk dari belakang oleh anak-bangsa sendiri, yaitu kelompok komunis (PKI) pimpinan Muso yang mendalangi peristiwa (kudeta) Madiun pada pertengahan September 1948. Klimaksnya ialah terjadinya serangan (agresi) militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Akibatnya nyaris fatal. Ibu kota Republik, Yogyakarta, diduduki Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang berada di ibu kota ditangkap. Sejak itu Belanda menganggap Republik sudah tamat riwayatnya.Akan tetapi, kemenangan militernya itu hanya bersifat sementara. Walaupun ibu kota Yogya jatuh ke tangan Belanda dan Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Hatta dengan sejumlah menteri dapat ditawannya, nyatanya Republik tidak pernah bubar seperti yang dibayangkan Belanda. Suatu titik balik yang tak terduga oleh Belanda datang secara hampir serentak dari dua jurusan. Pertama, dari Yogya dan kedua dari Bukittinggi di Sumatera. Beberapa jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting: Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat (dalam sumber "menguasakan") kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI di Sumatera. Jika ikhtiar ini gagal, mandat diserahkan kepada Dr Soedarsono, Mr Maramis dan Palar untuk membentuk exile-government di New Delhi, India. Surat mandat tersebut kabarnya tidak sempat "dikawatkan" karena hubungan telekomunikasi keburu jatuh ke tangan Belanda. Namun, naskahnya dalam bentuk ketikan sempat beredar di kalangan orang Republieken.

Kedua, sewaktu mengetahui (via radio) bahwa Yogya diserang, Mr Sjafruddin Prawiranegara (waktu itu Menteri Kemakmuran) yang sedang bertugas di Sumatera, segera mengumumkan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Tindakannya itu mulanya bukan berdasarkan pada mandat yang dikirimkan Yogya, melainkan atas inisiatif "spontan", Sjafruddin dengan pemimpin setempat, PDRI pada gilirannya dapat berperan sebagai "pemerintah alternatif" bagi Republik yang tengah menghadapi "koma".

Sebagaimana terbukti kemudian, selama delapan bulan keberadaannya (Desember 1948-Juli 1949), PDRI di bawah kepemimpinan Sjafruddin di Sumatera mampu memainkan peran penting sebagai pusat gravitasi baru dalam mempersatukan kembali kekuatan Republik yang bercerai-berai di Jawa dan Sumatera. Bahkan, tidak kurang dari Panglima Soedirman sendiri, yang kecewa dengan menyerahnya Soekarno-Hatta kepada Belanda, menyatakan kesetiaannya kepada PDRI dan siap memimpin perjuangan dengan bergerilya di hutan-hutan belantara dalam keadaan sakit parah sekalipun.

Sementara itu, kontak-kontak PDRI via India ke dunia internasional membuat kemenangan militer Belanda semakin tak berarti, suatu Pyrrhic victory, suatu kemenangan yang terlalu banyak makan korban, suatu kemenangan sia-sia karena sukses militer yang dicapainya harus ditarik kembali. Hanya dalam tempo tiga hari setelah kejatuhan Yogya, tepatnya tanggal 22-23 Desember, Dewan Keamanan PBB buru-buru mengadakan sidangnya. Semua negara, kecuali Belgia, mengecam keras tindakan Belanda di Indonesia. Pihak Belanda benar-benar dibuat sebagai "pesakitan" yang kehilangan muka di panggung pengadilan dunia.

Resolusi DK-PBB, kemudian juga diperkuat dengan Konferensi Asia di New Delhi kurang satu bulan kemudian, yang menuntut pembebasan segera para pemimpin Republik yang ditangkap, begitu juga pengembalian ibu kota Yogya dan pembentukan pemerintahan Indonesia yang demokratis tanpa campur tangan Belanda. Dalam perundingan-perundingan selanjutnya negara bekas penjajah itu tidak bisa lagi mengelak dari campur tangan internasional. Sejak itu, kebohongan-kebohongan yang direkayasa Belanda lewat manipulasi informasi untuk mempengaruhi opini dunia semakin kelihatan belangnya sehingga membuat posisinya semakin terpojok, baik di Indonesia maupun di mata dunia.

Tulisan ini ingin mendiskusikan sekadarnya tentang posisi Soekarno di masa PDRI, yang selama ini terkesan ingin dilupakan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh sejumlah penulis biografinya, dan bahkan juga dalam wacana sejarah bangsa umumnya. Apakah dilema sejarah yang dihadapinya dalam kerangka perjuangan diplomasi dan/atau militer pada masa itu? Apa sebenarnya yang terjadi dalam diri Soekarno sehingga peranannya dalam masa-masa krisis waktu itu seakan-akan tenggelam sebagai kawasan terra incognita yang belum banyak disentuh selama ini?

Pemimpin yang hadir di saat-saat kritis

Telah berpuluh-puluh tahun "Bapak Bangsa" (the founding fathers)-jika yang dimaksud dengan itu ialah semua tokoh yang ikut merumuskan konstitusi-berjuang mendirikan sebuah nation-state, negara bangsa yang akhirnya diproklamasikan 17 Agustus 1945 itu: Republik Indonesia atau sering disingkat dengan Republik saja. Dalam usianya yang masih bayi itu, Republik yang dimerdekakan dengan revolusi itu terpaksa harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi. Namun, belum pernah terjadi sebelumnya dan juga tidak sesudahnya, kecuali hanya pada masa agresi kedua, ketika sebuah ibu kota negara jatuh ke tangan musuh, Presiden dan Wakil Presidennya beserta sejumlah menteri ditangkap Belanda. Juga belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali pada masa ini, simpati dan dukungan dunia internasional terhadap Indonesia demikian intensnya. Di atas segala-galanya nasib Republik pada akhirnya haruslah ditentukan oleh pemimpin dan bangsanya sendiri.

Salah seorang pemimpinnya yang paling terkemuka ialah Soekarno, proklamator dan Presiden Republik yang pertama. Ia tak hanya cakap dalam menghadirkan gagasan, tetapi juga seorang pemimpin yang selalu hadir memberi "kata-putus" di saat-saat yang paling genting bagi negara dan bangsanya. Itulah yang terjadi, misalnya, pada saat-saat genting sebelum Proklamasi, di mana faktor Soekarno bersama Hatta, menjadi amat menentukan dalam Kasus Rengasdengklok. Bukankah, situasi kritis pada rapat raksasa yang penuh gejolak di Lapangan Ikada-satu bulan setelah ia menjadi presiden-hanya dapat didinginkan oleh Soekarno, hingga hadirin bisa pulang dengan tenang dan pertumpahan darah dengan Jepang pun akhirnya tak perlu terjadi? Bukankah Soekarno pula yang dipanggil Sekutu untuk meredakan pertempuran 10 November di Surabaya ketika posisinya yang semakin terjepit dan siap melepaskan senjata modern, memerlukan seorang Bung Karno, demi untuk menghindari semakin banyak korban 'mati-konyol' karena pasukan bambu runcing yang siap "berjibaku" untuk Tanah Air mereka, seperti juga dalam pertempuran Ambarawa?

Akan tetapi, di masa kritis pada penghujung tahun 1948, bisakah Soekarno sebagai pemimpin, membawa bangsanya keluar dari keadaan gawat itu? Memang tak mudah melihat Bung Karno dalam potret hitam putih. Seperti dikatakan sejarawan Onghokham (1978), dia adalah "pribadi yang kompleks dan tokoh penuh aneka warna". Namun, untuk satu hal, "Bung Karno adalah sebuah gelora", tulis kolumnis Gunawan Mohamad dalam sebuah esai pendeknya (1991). Sebuah gelora adalah sesuatu yang menggetarkan. Sebuah gelora juga merupakan sesuatu yang bisa memesonakan dan bahkan menghanyutkan. Tetapi, sebuah gelora juga merupakan sesuatu yang tak punya definisi yang persis. Ia bagaikan nebula yang jauh di langit. Mungkin gugus itu sehimpun bintang yang bersinar atau barangkali hanya selapis kabut bercahaya.

Nebula yang bersinar itu ialah harapan yang dipancarkan dari figur dan pidato-pidatonya yang menggetarkan. Tetapi, harapan juga bisa berbalik menjadi kekecewaan baru, ketika apa yang dijanjikannya tak sesuai kenyataan. Itulah yang terjadi pada saat-saat genting sewaktu agresi Belanda kedua itu.

Pada bulan-bulan terakhir 1948, Bung Karno sangat sibuk mengadakan perjalanan dan menyampaikan pidato-pidato politiknya yang gegap gempita, guna mengangkat moral perjuangan yang semakin merosot karena ditusuk dari muka dan belakang. Di depan ada Belanda, yang setelah Perjanjian Renville (Januari 1948) terus-menerus menggembosi dukungan Republik dengan mendirikan negara-negara federal versi Van Mook. Waktu itu hampir semua wilayah Indonesia sudah berada di bawah pengaruh Belanda dengan berdirinya negara-negara federal ciptaan Van Mook di sana, kecuali di tiga daerah: Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Aceh, di mana negara federal tidak mendapat tempat karena kesetiaan kepada Republik sudah merupakan harga mati yang tak bisa ditawar-tawar.

Sementara tekanan politik federal Van Mook semakin gencar, terjadi pula pemberontakan PKI di Solo dan Madiun bulan September 1948. Pemberontakan itu bukan hanya suatu pengkhianatan, melainkan juga "tusukan dari belakang", yang memperlemah Republik di saat posisi Belanda semakin unjuk kekuatan dan diperkirakan akan melakukan serangan baru setiap saat. Dalam suasana kacau balau dan terombang-ambing "di antara dua karang" seperti dilukiskan Hatta waktu itu Soekarno-Hatta adalah "dwitunggal" yang membuat kepastian dalam ketidakpastian. Sebuah pesan radio dari Presiden Soekarno meminta ketegasan kepada rakyat untuk memilih pemerintahan yang sah atau Muso.

Pidato-pidato Soekarno menggetarkan, acap kali diselingi dengan slogan-slogan yang menggugah. Salah satu slogan berbahasa Belanda yang tidak saja sering diulang-ulanginya dalam setiap kesempatan, melainkan juga dengan gigih diperjuangkannya sejak muda ialah samenbundeling van alle krachten (menghimpun segala kekuatan). "Saya menyaksikan bagaimana pidatonya mampu membangkitkan kesadaran politik di kalangan rakyat di desa dan di kota", kenang George McT Kahin, seorang mahasiswa Amerika yang saat itu berada di Yogya untuk keperluan riset disertasinya. Ia benar-benar mengenal detak jantung rakyatnya dan "tidak dapat ditandingi oleh pemimpin mana pun juga", tulis Kahin dalam sebuah risalahnya (1986).

Namun, ucapan Bung Karno yang paling berkesan waktu itu, hingga sering dikutip-kutip koran dan itu diulanginya lagi lewat radio dan terakhir dalam pidatonya dua hari sebelum aksi militer Belanda ialah, "Jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya untuk menghancurkan Republik Indonesia dengan menduduki Yogyakarta, tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan bangkit berjuang dan saya sendiri akan memimpin perang gerilya." (Merdeka, 29 Mei 1948)

Namun, apa yang terjadi kemudian ialah sebuah kekecewaan. Ketika Yogya diserang, Soekarno dan pemimpin Republik merencanakan tetap tinggal di dalam kota, artinya menyerah kepada Belanda. Reaksi dari kalangan militer, terutama di kalangan para perwira yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya bersedia untuk ikut bergerilya bersama mereka, telah menimbulkan rasa kecewa yang dalam. Bahkan, perintah yang dikeluarkan Hatta, pada saat-saat terakhir menjelang kejatuhan Yogyakarta, agar perjuangan diteruskan, tidak lagi mampu memulihkan rasa hormat tentara terhadap pemimpin sipil mereka. Peristiwa di atas, menurut Ulf Sundhaussen (1982) merupakan awal rusaknya hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia.

Akan tetapi, kekecewaan pada Bung Karno-patahnya kepercayaan kepada obor, sebuah simbol-tidak hanya merisaukan banyak orang. Kejadian dramatis di hari itu juga menimbulkan kekecewaan dan kecemasan Soekarno pribadi. Ia pun senantiasa berada dalam kecemasan terus-menerus terhadap nasib Republik dan terhadap nyawanya. "Pada akhirnya saya hanya manusia biasa. Siapa yang tahu apa rencana mereka terhadap saya? Saya punya perasaan mereka akan membunuh saya. Tiap kali saya mendengar bunyi yang asing, saya berpikir: sekarang tiba saatnya; mereka akan membawa saya ke depan pleton penembak", begitu dituturkannya kepada Cindy Adam, penulis otobiografinya yang terkenal.

Walaupun pada akhirnya Presiden dan Wakil Presiden dengan sejumlah anggota kabinet ditawan Belanda, suasana kritis dan mencekam waktu itu tidak perlu membuat kedua tokoh puncak Republik itu kehilangan akal sehat. Pada detik-detik sebelum kejatuhan Yogya, mereka masih sempat melepas anak panah terakhir dari busurnya: mandat berdirinya PDRI, sebuah keputusan yang menentukan perjalanan sejarah Republik selanjutnya. Setelah itu mereka ditangkap dan tak lagi tahu apa yang terjadi di luar dinding tembok tahanan mereka.

Menurut keterangan Hatta di belakang hari, keputusan apakah pemerintah akan tetap berada dalam kota atau ikut bergerilya bukan atas kemauan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, melainkan keputusan yang ditetapkan kabinet berdasarkan pemungutan suara. Soekarno dan Menteri Laoh cenderung memilih sikap pertama, artinya tetap di tempat, sedangkan pihak militer, terutama Panglima Besar Soedirman, dengan tegas sejak pagi-pagi sudah memutuskan untuk meninggalkan kota, artinya siap bergerilya dengan prajurit TNI. Simatupang juga menyarankan agar Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya "ikut perang gerilya". Namun, karena tidak tersedia cukup pasukan pengawal untuk kedua pemimpin itu, dia bisa menerima sikap resmi pemerintah. (Hatta, 1982: 541-2)

Hidup dalam pembuangan

Para pemimpin Republik yang ditawan Belanda selepas pendudukan Yogya, diasingkan pada dua tempat yang berbeda. Tiga orang pemimpin besar Indonesia: Soekarno, Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir ditawan di Brastagi, Sumatera Utara, kemudian dipindahkan ke Prapat. Selebihnya, termasuk Hatta, dideportasi ke Bangka. Di antara tokoh yang ditawan di Brastagi, Haji Agoes Salim adalah yang paling tua, tetapi paling singkat masa penahanannya. Di zaman Belanda ia tak pernah masuk penjara, kecuali sebentar di zaman Jepang. Karena penahanan itu dianggap kekhilafan belaka, kemudian ia dibebaskan dengan "permintaan maaf" dari pembesar Jepang. Tetapi, kejadian serupa juga dapat ditemukan dalam setiap zaman sejarah Indonesia merdeka, bahkan juga dalam periode yang lebih belakangan.

Akan tetapi, Soekarno dan Sjahrir sama-sama pernah mengalami hidup dalam penjara Belanda dalam waktu yang lama. Sjahrir pernah menjadi Digulis, tahanan kelas berat bersama Hatta dan kawan-kawan di Digul, Papua, kemudian dipindahkan ke Bandaneira, dekat Ambon. Jika dihitung ada sekitar 10 tahun lamanya Sjahrir hidup dalam tahanan Belanda. Sedang Soekarno juga menghabiskan sebagian besar waktunya dalam tahanan Belanda. Mula-mula masuk penjara berdasarkan keputusan "Landraad" Bandung tahun 1930, kemudian ia dibuang lagi ke Ende, lalu dipindahkan lagi ke Bengkulu. Sewaktu dibebaskan karena Jepang masuk dan Belanda jatuh, Soekarno sudah menghabiskan usianya dalam tahanan Belanda selama 10 tahun.

Antara Sjahrir dan Bung Karno yang sama-sama ditahan di Brastagi, kemudian dipindahkan ke Prapat, terdapat beberapa kesamaan nasib dalam berurusan dengan penjara Belanda. Kecuali ditahan untuk waktu yang lama-sampai 10 tahun-keduanya adalah korban exorbitante rechten Belanda, yaitu hak khusus pemerintah kolonial untuk menahan dengan mengasingkan siapa saja yang dianggap membahayakan rust en orde (keamanan dan ketertiban). Tentu saja "membahayakan" menurut tafsiran yang berkuasa. Kalau hal itu dinamakan "kezaliman", orang tak begitu keliru. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan tahanan biasa, exorbitante rechten, menurut Mr Moh Roem (1983), amat berat. Sebab, korban exorbitante rechten tidak pernah diberitahu berapa lama ia akan ditahan dan juga tidak tahu tuduhan yang dikenakan kepadanya, atau jika pun tahu terasa sekali mengada-ada. Tetapi, kalau tahanan biasa, bisa mengetahui apa yang dituduhkan kepadanya. Begitu pula perkaranya akan diperiksa secara terbuka di depan pengadilan dan ia dapat membela diri atau dibela oleh pengacara. Jika ia dijatuhi hukuman, ia diberitahu berapa lama vonis hukumannya.

Apa pun namanya, hukuman yang diterima Bung Karno dan Sjahrir amat mempengaruhi perjalanan hidupnya, dan dengan demikian juga sejarah bangsanya. Keduanya juga pernah ditahan di akhir hayatnya. Sjahrir ditahan oleh Soekarno dan tidak sempat menikmati pembebasan karena dalam masa tahanan ia meninggal dunia di tempat pengobatannya di Zurich. Soekarno ditawan oleh Soeharto dan sampai meninggalnya ia juga tak pernah mengalami pembebasan. Namun, belum pernah terjadi sebelumnya Sjahrir dan Soekarno hidup begitu dekat kecuali pada masa ini. Mereka tinggal bertiga dengan Haji Agus Salim dalam satu kamar.

Sjahrir pendiam dan suka marah kalau ketenangannya merasa terusik, sementara Soekarno adalah pribadi yang ceria suka "membunuh" waktunya dengan menyanyi atau apa saja yang disukainya. Ketika mereka dibolehkan pengawal memesan kebutuhan yang diperlukan, Sjahrir minta dibawakan buku-bukunya, tetapi Soekarno minta dibawakan kemeja "Arrow". Sekali waktu Bung Karno pernah mengatakan, "saya tak keberatan menjadi tawanan Belanda karena ada tujuh cermin di kamar saya...." Sjahrir dibuat jengkel dengan sikap-sikap Bung Karno yang dianggapnya a bloody old fool atau dengan umpatan serapah yang tak mengenakkan. Tetapi, inilah klimaksnya.

Bung Karno kalau lagi mandi suka nyanyi. Sekali waktu Bung Karno menyanyi di kamar mandi dengan suara cukup keras dan bagi Sjahrir dirasakannya membuat ribut, hingga Sjahrir berteriak (dalam bahasa Belanda): houd je mond (tutup mulutmu). Soekarno terdiam dan jengkel juga sama Sjahrir. Ketika suatu kali Moh Roem menanyakan kepada Soekarno mengapa ia benci pada Sjahrir, ia mengatakan, "Bagaimanapun juga saya adalah Kepala Negara, mengapa dia menghardik saya seperti itu?"

Dalam kasus lain, sewaktu PM Belanda Willem Drees datang ke Indonesia, Sjahrir diminta datang ke Jakarta untuk bertemu dengan Drees. Sjahrir bersedia datang ke Jakarta, tetapi ia tidak kembali lagi ke Prapat karena sudah dibebaskan Belanda, dengan maksud untuk memanfaatkannya sebagai "perantara" dalam rencana perundingan baru, Roem-Roijen. Kejadian ini membuat Bung Karno tambah marah. "Mengapa ia tidak kembali ke sini" (Prapat). "Kalau begitu ia tidak setia," sambungnya lagi seperti diceritakannya kepada Haji Agus Salim.

Sepeninggal Sjahrir, di Prapat hanya tinggal dua tawanan, Bung Karno dan HA Salim. Sejak Februari 1949, keduanya digabungkan dengan tawanan Republik di Manumbing, Bangka. Tetapi, karena Bung Karno tidak tahan hawa dingin, ia minta dipindahkan ke Mentok, yang berhawa panas. Karena beliau tidak mau tinggal di sana sendirian, maka ditunjuk beberapa orang untuk menemani Bung Karno di sana. Antara lain H Agus Salim, Mr Moh Roem, dan Ali Sastroamidjojo. Sejak itu tawanan jadi dua kelompok: Kelompok Manumbing di bawah pimpinan Bung Hatta dan Kelompok Muntok di bawah pimpinan Bung Karno.

Ketika prakarsa persetujuan Roem-Roijen dimulai bulan April 1949, Sjahrir yang sudah dibebaskan, atas saran Hatta, diangkat sebagai penasihat delegasi perunding Indonesia ke Roem-Roijen. Mulanya Sjahrir menolak karena mempertanyakan tanda tangan Soekarno dalam surat keputusan itu. "Apa dia itu? Mengapa dia yang harus mengangkat saya? Orang yang seharusnya mengangkat saya ialah Mr Sjafruddin Prawiranegara", (Ketua PDRI di Sumatera). Roem kesal, tetapi lebih kesal lagi dan marah ialah Bung Karno setelah mendengar itu.

Pengalaman yang kurang menyenangkan selama dalam masa tahanan, dan kekecewaan dirinya dan orang-orang yang setia kepadanya pada saat memilih ditawan Belanda dan bukan bergerilya, saat kejatuhan Yogya, agaknya merupakan bagian terburuk dalam memori sejarah pribadi Bung Karno, dan sekaligus penyebab utama mengapa ia terkesan melupakan sejarah episode PDRI. Baginya, episode ini seakan-akan eine vergangheit die nicht vergehen will, sebuah pengalaman masa lalu yang ingin-tapi tak bisa dilupakan-dalam ingatan kolektif, sebagaimana tercermin dalam otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adam. Lagi pula, setelah kembali ke Yoyga dan dalam perundingan-perundingan selanjutnya, bukan Bung Karno, tetapi Hatta-lah sebagai Perdana Menteri yang menjadi nakhoda Republik hingga pengakuan kedaulatan di pengujung 1949.

PDRI, ujian pertama integrasi bangsa

Pada detik-detik terakhir yang menegangkan sebelum pemimpin puncak Republik ditawan Belanda, Hatta masih sempat mendiktekan pidato singkatnya untuk diedarkan ke seluruh wilayah Republik. "Musuh mau mengepung pemerintah, tetapi Republik tidak tergantung pada nasibnja orang2 jang mendjadi kepala-negara atau jang duduk dalam pemerintahan.... Rakjat harus berdjoang terus...." Memang, Republik tidak hanya punya Soekarno-Hatta, tetapi juga sederetan nama besar lainnya. Salah seorang yang paling diremehkan agaknya ialah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selama tahun-tahun krisis 1948-1950 sesungguhnya dialah tokoh yang memegang kendali dalam mengurusi intern di bidang militer, ekonomi dan politik di belakang layar. Sjafruddin Prawiranegara berada jauh dalam hutan di Sumatera, sedangkan Soekarno-Hatta dalam kerangkeng Belanda di Bangka. Apa jadinya Republik kalau tidak ada Sri Sultan? Otoritasnya sebagai ahli waris takhta Yogya tak tersentuh oleh tangan kekuasaan Belanda. Sebagai Republiekan sejati ia tak hanya menyerahkan takhtanya untuk rakyat, tetapi berbuat banyak untuk Republik. Tidak hanya menjembatani kubu PDRI dan Bangka, tetapi juga melindungi kepentingan Republik di Yogya. Sesungguhnya dialah arsitek utama dalam serangan balik Republik terhadap kedudukan Belanda di Yogya, yang dikomandoi oleh Letkol Soeharto pada awal Maret 1949. Dia jugalah yang membiayai semua keperluan Republik ketika "kembali ke Yogya". Sekitar 6 juta gulden kekayaan Kraton Yogya diserahkan untuk menghidupi dapur Republik.

Maka Belanda keliru besar, ketika Yogya jatuh ke tangannya menyimpulkan bahwa Republik telah dirobohkan. Mereka lupa atau tak mau peduli bahwa Republik yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945 itu, telah tercerahkan (enlightened) oleh cita-cita kebangsaan sejak awal abad lalu. Ia bukanlah sebuah kerajaan, juga bukan hadiah Jepang, sebagaimana yang ada dalam benak kaum kolonialis Belanda, melainkan sebuah "negara-bangsa" yang modern yang telah dipersiapkan sedemikian rupa. Pembukaan UUD '45 dan bangunan konstitusi itu sendiri, sesungguhnya adalah blue-print dari Republik yang baru itu, dan keduanya disusun oleh para "bapak bangsa" dengan penuh kesadaran dan kecerdasan sebuah generasi yang tak ada duanya. Ketika pimpinan puncak Republik ditawan Belanda, PDRI di Sumatera mampu memerankan dirinya sebagai faktor integratif, yang menjadi pusat jaringan perjuangan Republik via India ke dunia internasional dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di ibu kota Yogya dan Jenderal Soedirman di medan gerilya.

Maka, pada masa perjuangan kemerdekaan, khususnya era PDRI, teori politik klasik kolonial tak berlaku lagi, yang selalu percaya bahwa jika raja atau pemimpin ditawan atau dibujuk, semua akan beres, bisa ditundukkan. Nyatanya tidak demikian, dan Belanda sempat dibuat shock karena kemenangan militernya hanya sebuah kemenangan yang sia-sia.

Sesungguhnya inilah periode di mana proses integrasi nasional menunjukkan hasil, ketika panggung sejarah beralih dari kota ke desa-desa dan hutan-hutan, ketika rakyat tidak lagi sekadar pelengkap penderita, melainkan tokoh sentral di panggung sejarah bangsa. Baik PDRI maupun militer tidak bisa hidup kalau bukan disubsidi nasibnya oleh rakyat, tetapi mengapa sekarang semuanya seakan-akan dilupakan?

Memang wacana sejarah bangsa kita, seperti dikatakan sejarawan Taufik Abdullah, adalah soal pilihan: ada bagian yang ingin dilupakan dan yang ingin diingat dan bahkan dipalsukan. Pilihan yang semena-mena terhadap sejarah bangsa bisa menyesatkan selama kriterianya ialah like and dislike yang berkuasa. Terserahlah kalau itu sejarah pribadi. Sejarah PDRI seperti juga biografi Soekarno adalah bagian dari sejarah bangsa, dan keduanya merupakan wajah kita di masa lalu dengan segala warna-warninya.

* Mestika Zed Sejarawan, lulusan Vrije Universiteit, Amsterdam, tinggal di Padang.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/soek61.htm
soekarno file di kompas


Ziarah Kubur Bung Karno

Ziarah Kubur Bung Karno
Emmanuel Subangun


HIKMAH dari kehidupan bersama dalam negara Indonesia selama lebih dari separuh abad ini adalah tak terbantahkannya kenyataan bahwa kekuasaan politik tidak pernah bersifat tunggal, melainkan selalu bersifat ganda, tak menentu. Bung Karno sebagai orang pergerakan, karena itu, juga harus diterima dalam watak majemuknya. Selalu ada sifat tak terduga, atau mungkin diabolik, dalam sepak terjangnya, dan hal itu mudah dimengerti asalkan kita bisa membaca dengan baik naskah yang dia tulis (atau pidato yang dia ucapkan), tindakan yang dia lakukan, dan akibat politik yang dia timbulkan.S ehingga dengan demikian, dari awal kita melihat bahwa cara baca kita terhadap Bung Karno bukanlah cara baca yang naif-maka tulisan ini berjudul Ziarah Kubur Bung Karno- tetapi sepenuhnya adalah tulisan yang bersifat atau mengandung cacat. Tidak netral seperti bayi, tapi adalah bacaan atas Bung Karno seperti pikiran, perasaan, dan tindakan yang dilakukan oleh jutaan warga masyarakat yang datang ke Blitar, di mana Bung Karno tidur untuk selamanya. Dia tidak musnah, tidak lenyap, tapi semata pralaya, semata berpindah ke alam yang lain, dan mereka yang hidup masih dan selalu punya kesempatan untuk bertemu, mengeluh atau mungkin minta petunjuk dan pelipur hati.

Bacaan atas Bung Karno, dalam keadaan alam pergerakan Indonesia hari-hari ini, tidak mungkin untuk ditelaah semata-mata secara obyektif, dalam asas paling pokok dari positivisme alias otak adalah cermin yang bersih, dan lewat konsep-konsep yang dibentuk oleh akal, lalu benda-benda di luarnya ditangkap secara netral, karena benda-benda itu bisa dibagi menjadi dua dan hanya dua, yakni res extensa dan res cogitans. Hal pertama dalam fakta dan data, dan hal kedua adalah makhluk manusia yang berpikir dan hanya berpikir. Alam berpikir modern Cartesian seperti ini jelas tak memadai untuk kepentingan kita hari-hari ini. Akan jauh lebih memadai pola pikir yang sepenuhnya tradisional, yakni alam pikir metaforik yang menarik makna dari perasaan, dari metafor, dari pengalaman, dan bukan dari konsep, dari analisa abstrak.

Pengalaman kita bernegara selama ini telah memberi hikmah yang penting. Dari zaman Bung Karno sudah amat jelas bahwa sebuah political goodwill tidak memadai untuk menggerakkan sebuah bangsa keluar 100 persen dari negara kolonial. Dan pengalaman selama Orde Baru memberi pelajaran amat berharga bahwa negara modern yang bersendi pada tentara dan pegawai negeri adalah sebuah anakronisme sejarah: hendak keluar dari negara kolonial, tetapi dengan menghidupkan sebuah negara pegawai (beamtenstaat). Dan masa transisi yang kita alami sekarang memberikan wajah amat pasti bahwa sebagai bangsa dan negara, sebuah unit yang bernama Indonesia itu, sekarang sedang dalam krisis konjungtural, struktural, dan politik. Artinya, dari segi tatanan world system, kejatuhan rezim bisa dilihat sebagai keteledoran dalam investasi dan pengelolaan valuta asing, yang lalu memiliki efek domino.

Dana menganggur dari pasar modal dunia secara sembrono ditelan mentah-mentah oleh para kapitalis semu kita, dan akhirnya membawa keruntuhan ekonomi. Sementara di dalam negeri rapuhnya sistem politik segera tak bisa disembunyikan lagi ketika Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) semakin jelas bukan semata-mata sebagai alat negara, tapi sepenuhnya alat penguasa. Dan, karena itu juga sebagai alat penguasa tentara tidak bisa dipisahkan dari sejuta kepentingan yang berkecamuk di dalam negeri-artinya bukan semata-mata dwifungsi, tapi multifungsi!-sehingga posisi khususnya juga runtuh. Akhirnya perimbangan kekuasaan "istana presiden" yang berubah menjadi "istana raja" Jawa semakin tidak peka pada pergeseran zaman. Sehingga secara politik memang tidak bisa bertahan lagi.

Dalam keadaan semacam itulah, saya membaca sejarah, naskah dan ingatan akan Bung Karno. Bukan bacaan cartesian, bukan bacaan lawan/kawan secara ideologis, tapi adalah bacaan yang paling tradisional. Metaforik, semacam ziarah kubur. (1)

Politik aliran dan golongan

Salah satu budaya politik amat penting yang dibawa oleh tentara dalam sistem politik di Indonesia adalah sebuah budaya elite yang menggantikan budaya pelopor. Dengan menjadikan massa rakyat sekadar sebagai penonton yang boleh berpolitik sekali dalam lima tahun dalam "pesta demokrasi", maka selain ritualisme politik, hal lain adalah pergeseran pengertian politik yang setali tiga uang dengan barang najis. Elitisme politik berakibat pada penajisan politik.

Dan, hal ini harus dipahami dalam hubungan dengan soekarnoisme. Soekarnoisme secara deskriptif bisa dibaca dari kutipan kisah seperti ini:

"Megapa Anda tidak membubarkan PKI?" tanya saya kepada Soekarno ketika saya berkunjung ke Indonesia, beberapa minggu sebelum ia dipecat (Soekarno diturunkan Maret 1966).

"Kita tidak dapat menghukum suatu partai secara keseluruhan karena kesalahan beberapa orang," jawabnya. Saya katakan padanya bahwa ia telah dapat melakukannya dalam tahun 1960, ketika ia melarang Masjumi dan PSI.

"Masjumi dan PSI," jawabnya, "telah merintangi penyelesaian revolusi kami. Akan tetapi, PKI merupakan pelopor kekuatan-kekuatan revolusi. Kami membutuhkannya untuk pelaksanaan keadilan sosial dan masyarakat yang makmur."

Saya bertanya, apakah ia masih merasa yakin bahwa konsepnya mengenai Nasakom, konsep pemersatuan golongan-golongan nasionalis, agama dan komunis, pada dasarnya benar.

Ia menjawab, "Ya". (2)

Apa yang dikatakan Soekarno tahun l960 itu tetap merupakan pernyataan keyakinan politik yang dituliskan tahun 1926. Keyakinan akan pentingnya sebuah partai pelopor yang tidak bisa diperankan oleh satu partai saja, tetapi harus dibagi peran oleh tiga unsur pokok yang disebut agama, nasionalis dan komunis yang semua itu mendapatkan perumusan paling utuh dan menyeluruh dalam dasar negara Republik Indonesia yang disebut Pancasila!

Dengan demikian amatlah tidak sederhana untuk menafikan Bung Karno semata-mata sebagai seorang makhluk Jawa yang tidak mampu berpikir secara rasional, dan dengan menggunakan selera kepentingan lalu mencari dan menggabungkan apa saja yang disangka baik, lalu dipadukan sebagai sebuah pandangan hidup. Kegentingan masalah partai pelopor bukanlah masalah selera, tetapi masalah himpitan struktural yang tidak mungkin dihindarkan. Dalam naskah tahun 1926 itu Bung Karno menyebut sebuah via dolorosa yang harus sepenuhnya disadari, jika partai pelopor itu dilupakan.

Dalam bahasa kaum strukturalis, mereka yang melihat Soekarno hanya menjalankan model berpikir sinkretis sepenuhnya menjalankan praktik baca yang disebut oversight, artinya melihat tapi tak suatu pun yang tampak, karena dalam mencari adequatio rei et intellectus yang disebut terakhir itu adalah sistem konsep yang dibangun dalam dan dari pengalaman sejarah negeri dan waktu yang lain. Demokrasi dengan seluruh uraian ideologis yang menyertainya sepenuhnya, tidak mungkin dimengerti tanpa sejarah panjang pembentukan negeri nasional di Eropa, sejarah feodalisme, ekspansi kapitalisme dan konflik perang dingin.

Nalar pergerakan tidak dapat dilihat secara berjenjang dalam hubungan dengan nalar "kebenaran" seperti ditata dalam filsafat, atau disusun dalam dogma agama. Apalagi sekadar ditilik secara dangkal dengan meninggalkan sinoptik seluruh weltanshauung yang tak lain akan menjadi api ideologi yang menggerakkan perubahan masyarakat untuk keluar dari orde kolonial.

Hanya saja ketika tahun 1960-an Soekarno tetap bertahan dengan Front Persatuan, dia tidak terlalu jeli melihat konflik yang tak terkendali antara kepentingan politik militer, dengan sayap dalam sistem politik aliran dan golongan. Soekarno telah menjadi anakronik.

Sinkretik atau tidak, bukan itu masalah bagi soekarnoisme dalam sejarah pergerakan. Tetapi pertanyaannya terletak di tempat lain: mampukah ide fixed "persatuan kesatuan" mengantarkan 200 juta rakyat untuk keluar dari sebuah rezim kolonial yang tetap bercokol sampai hari ini?

Upaya untuk membangun sejumlah partai pelopor yang dengan terus-menerus dijaga oleh Soekarno selama 40 tahun pada akhirnya sampai pada titik buntu. Dan sementara pikiran itu tidak pernah mati, sistem politik yang menggantikannya adalah sistem elitis yang terbukti hari-hari ini kita menuai hasilnya. Malapetaka!

Masyarakat madani

Demi sebuah perbandingan dapatlah kita ambil sebuah naskah dan pemikiran revolusioner yang lain dari Rusia. Gagasan pergerakan tetap pada partai pelopor, dan rumusan masalah diletakkan dalam silogisme yang ketat, yang jika ditanggalkan dari semua kerumitan akhirnya akan muncul hal seperti ini: Akar masalah dunia modern adalah ditetapkannya hak milik pribadi sebagai mutlak dan universal.

Hak milik pribadi hanya akan bisa dihapuskan dengan hak milik bersama. Dan hak milik bersama dijalankan oleh negara.

Oleh karena itu, perjuangan politik paling tinggi adalah merebut kekuasaan negara dari para pembela hak milik pribadi dan mengalihkannya pada fungsi-fungsi rasional dalam sistem negara. Sehingga pada giliran terakhir relevansi "negara" juga hilang, dan kita hidup dalam "masyarakat". (3)

Dalam teori negara sebagai "alat" penindas seperti itu, memang kita bisa meletakkannya dalam uraian yang nonsinkretik, karena dari awal memang dimulai dari silogisme, atau hukum sebab-akibat, propter/ergo.

Asal saja kita tahu bahwa sejarah Rusia adalah sejarah negara predator terhadap masyarakat, sebetulnya juga tidak menjadi terlalu sulit untuk akhirnya kita saksikan pergantian teori negara instrumentalis ini digantikan dengan konsep negara yang nonkausal, yang lazim disebut sebagai hubungan negara/masyarakat yang over-determinatif, artinya hubungan yang melingkar dan seakan-akan tak langsung antara masyarakat dan negara, sehingga sifat gerakan politik juga harus menjadi lain sama sekali.

Di Eropa Timur sifat gerakan politik itulah yang disebut dengan gerakan masyarakat sipil, yang sepenuhnya adalah selundupan konsep demokrasi dalam sistem otoriter Eropa Timur: masyarakat yang tidak dipilah dalam garis ideologi (komunis/ nonkomunis), dan hubungan terbalik masyarakat dan negara. Dan dalam penerapan sistem politik adalah diperkenalkannya sistem multipartai. (4)

Akan terlalu frontal jika terhadap masyarakat yang baru terbebas dari sistem komunis, lalu diperkenalkan sebuah sistem yang diberi nama "kapitalis". Sehingga, meskipun isi ideologi dari masyarakat sipil tak lain adalah kapitalisme yang cocok untuk Eropa Timur, tidaklah terlalu mengherankan jika istilah tersebut diambil alih oleh wacana politik di Indonesia berdasar atas paralelisme pengalaman psikohistoris antara Indonesia dan Eropa Timur, dengan prakarsa penuh dari para teknokrat politik Amerika Serikat.

Anehnya, tak seorang pun pernah mempersoalkan bahwa masyarakat sipil alias madani itu sama anakroniknya dengan front persatuannya Bung Karno di tahun 1960-an, dalam arti sekarang ini masyarakat sipil sesuai dengan kepentingan dan wacana ideologis Amerika Serikat, sedangkan Nasakom, dari awal memang tidak sesuai dengan kepentingan kapitalisme global seperti itu. Dan dapatkah Anda membayangkan bagaimana hal itu mungkin terjadi, sebuah negeri kapitalis pinggiran seperti Indonesia yang hancur lebur dalam proses penataan ulang sistem kapitalisme global, melalu jalur pendek yang disebut saluran finansial dan utang, lalu sejumlah elite nasionalnya sibuk berucap litani tentang kemudaratan masyarakat sipil, sebuah konsep impor bikinan luar untuk obat penenang di Eropa Timur itu?

Sejarah negara kita adalah sejarah negara jajahan. Negara jajahan bukan saja negeri itu diperas untuk negeri induk, tetapi jauh lebih mendalam dari itu semua, selalu tumbuh anggapan bahwa anak negeri jajahan adalah sekadar manusia setengah dewasa, yang tidak mampu berpikir mandiri, bertindak bebas dan bertanggung jawab. Negara jajahan adalah sebuah penghinaan sejarah atas harkat kita sebagai manusia, dan bukan semata masalah ekonomi, politik atau budaya.

Apa yang salah dengan orang Jawa?

Lazimnya orang akan mengatakan bahwa nalar sinkretik amat dominan pada Suku Jawa, karena suku inilah di Nusantara yang secara tuntas mengalami penjajahan dan dalam sejarah yang panjang mengenal gelombang besar peradaban dunia, mulai dari Hindu/Buddha, Islam dan juga ilmu politik modern. Karena Suku Jawa ini juga merupakan warga terbesar dari negara Indonesia, maka seakan teori antropologi gaya Geertz yang trikhotomis (santri, abangan, priayi) juga bisa menjelaskan proses involutif dari gerak masyarakat Indonesia.

Dalam bidang politik, semua tinjauan itu hanya menjadi pengetahuan umum, sejenis common sense yang harus diterima sebagai "anggapan umum", dan tetap diterima sebagai "anggapan". Sebab, seperti kita kenal dalam dasawarsa 1970-an dan 1980-an, seakan-akan program westernisasi itu sudah mencapai titik puncaknya, dan semua berbicara atas nama negeri industri baru (5), seakan-akan Indonesia telah menjadi bagian integral, tanpa masalah, dengan sistem kapitalis global.

Kenyataan hari-hari ini adalah kenyataan yang pahit. Negara dengan pengalaman dijajah secara habis-habisan mengidap penyakit yang sangat tidak mudah disembuhkan: negara selalu dimengerti dalam kaitan rapat dengan bangsa. Sementara negara tak lebih merupakan sebuah unit dari sistem negara dunia, maka bangsa adalah struktur pengalaman yang jauh lebih mendalam. Negara harus bisa menjamin rasa berbangsa, dan masalah ini menjadi mendesak atau tampak amat mendesak jika dibandingkan dengan sejarah bahwa Asia lain yang tidak mengenal penjajahan seperti Thailand, Jepang, Korea atau bahkan Cina. Mereka yang tidak mengalami sindrom westernisasi ini tidak menderita luka sejarah-via dolorosa-seperti harus kita terima bersama.

Soekarno mengerti, menjalani, berjuang dan wafat dalam via dolorosa itu. Bukan semata sebagai warga Suku Jawa yang irasional, sinkretik dan keras kepala. Sebagai orang pergerakanlah harga Soekarno dalam sejarah Indonesia mesti ditorehkan.

Sekali lagi, saya membaca Soekarno secara tradisional (metaforis) dengan mengandalkan pada ingatan, bacaan dan harapan, dan bukan dalam cara baca modern (obyektif) yang menerapkan sebuah konsep lain yang lebih sistematis untuk membaca Soekarno yang sinkretis, juga bukan cara baca pascamodern (simulatif), yang mengambil Soekarno sebagai sekadar naskah yang memburat dan terburai.

Oleh karena itu, sepantasnya pula jika tulisan ini ditutup dengan baris-baris terakhir naskah pemimpin bangsa dan negara itu dari tahun 1926 tersebut tentang persatuan dan kemerdekaan:

"Kita harus bisa menerima, tetapi juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit saja.

Dan jikalau kita semua insyaf bahwa kekuatan hidup itu letakan tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi, jikalau kita semua insyaf bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita, jikalau kita semua insyaf bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya "via dolorosa"; jikalau kita insyaf bahwa roh rakyat kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju sinar yang satu yang berada di tengah-tengah kegelap-gumpita yang menglilingi kita ini maka pastilah persatuan itu terjadi, dan pastilah sinar itu tercapai juga.

Sebab sinar itu dekat!"

Dan, kita menelan kepahitan itu: ternyata sinar itu semakin menjauh, hari-hari ini.

* Emmanuel Subangun Pengamat sosial politik, direktur Alocita, Yogyakarta.

Rujukan:

(1) Cara baca cartesian yang menjadi dasar segala rupa positivisme mengandaikan res cogitans itu ibarat cermin. Semakin bersih dan berkilau cermin itu, akan semakin "obyektif" bacaan kita. Disebut bacaan "bebas nilai". Cara baca yang lain adalah bacaan strukturalis, atau malah pasca strukturalis, lihat Althuser, Louis et al, Lire Le Capital, Petite Collection Maspero,1968, Paris, dan juga Baudirallard, Jean, Le System des objets, Denoel-Gonthier, Paris, 1968.

(2) Banyak buku ditulis mengenai Soekarno, tetapi karya Bernard Dahm adalah salah satu yang utuh melihat tokoh ini secara kultural dan meletakkan dalam sejarah Ratu Adil, sehingga dengan sendirinya muncul kesimpulan sifat sinkretik dari gagasan Soekarno. Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3ES, 1987, Jakarta, p. XIV. Dan Onghokham yang memberi pengantar dalam edisi Indonesia juga sudah mempersoalkan cara pandang kultural Dahm. Tulisan utama yang menjadi acuan pemikiran saya adalah buah pena Bung Karno tahun 1926 yang dimuat di Suluh Indonesia Muda, berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, dimuat dalam bagian pertama buku Di Bawah Bendera Revolusi, 1965, Jakarta, pp.1-23

(3) Teori withering away the state adalah doktrin resmi marxisme ortodoks, yang kemudian banyak menemukan rumusan baru dalam tahun 70-an, di Eropa. Naskah klasik untuk negara instrumental itu, lihat Lenin, N, The State and Revolution, 1917, Petrograd.

(4) Salah satu buku untuk masyarakat sipil, lihat Hefner, RW, Democratic Civility, New Jersey, 1998. Dan kaitan dengan krisis komunisme yang melanda Eropa Timur lihat Drach. Marcel Le Crise dans les pays de L'est, Editions de la Decouverte,1984, Paris.

(5) Optimisme palsu dan hiperbolik tentang Indonesia dan Asia bisa dilihat dalam buku Naisbitt, John, Megatrends Asia, Simons and Schuster, New York, 1996, setahun sebelum krisis menyapu negara kita.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/ziar64.htm
soekarno file di kompas