Wednesday, October 24, 2007

"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda

"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda
Valina Singka Subekti


MEMAHAMI manusia besar seperti Bung Karno tidaklah mudah. Setiap episode perjalanan hidupnya merupakan proses menuju pematangan pribadi sebagai seorang manusia biasa maupun sebagai pemimpin. Episode itu sangat panjang, sejak ia dilahirkan sampai akhir hidupnya.Bila kita membaca berbagai tulisan mengenai Soekarno, tampak benang merah yang memperlihatkan Soekarno sebagai manusia multidimensi. Di satu sisi adalah manusia yang sangat rasional ketika berhadapan dengan kepentingan bangsanya, tetapi di sisi lain ia bisa menjadi sangat emosional ketika berhadapan dengan penjajah Belanda. Atau ia bisa menjadi sangat sentimental dan perasa ketika berhadapan dengan perempuan. Boleh dikatakan Soekarno adalah manusia yang rasional, sekaligus perasa dan sentimental.

Seluruh perjalanan hidupnya sangat dipengaruhi sifat personalitasnya itu. Salah satu episode penting adalah masa awal abad ke-20, khususnya periode 1927 sampai ketika ia dibuang ke Ende, Flores. Sebagaimana para pemimpin pergerakan kebangsaan lainnya, penjara atau pengasingan sudah merupakan bagian yang inheren sebagai konsekuensi perjuangan. Soekarno pun menyadari hal itu, dan secara mental sudah menyiapkan diri. Untuk membesarkan hatinya ia suka mengulangi apa yang diucapkan pemimpin revolusi Perancis, Danton, dalam perjalanan gerobak sampah sebelum menuju tiang gantungan, "Audace, Danton, Toujours de l'audace", artinya, "Keberanian, Danton, Junjunglah Selalu Keberanian"!.

Maka Soekarno tidak pernah berhenti berpidato dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia menggerakkan dan menggelorakan semangat rakyat untuk merebut kembali kemerdekaan asasinya yang telah direbut dan dinjak-injak oleh pemerintah kolonial Belanda. Katanya, "Hayolah kita bergabung menjadi satu keluarga yang besar dengan satu tujuan yang besar, menggulingkan pemerintah kolonial, melawannya, dan bangkit bersama-sama". Agitasi semacam ini dilakukannya terus-menerus dalam setiap orasinya di depan rakyat.

Semua tahu, Soekarno adalah singa podium yang mempunyai kemampuan menerapkan berbagai gaya bahasa orasi seperti retorika, personifikasi, dan hiperbola. Ia mempersonifikasikan realitas dengan perumpamaan benda-benda yang mampu mendatangkan efek 'menekan', dan pidatonya itu mampu menggetarkan emosi rakyat. Inggit Ganarsih misalnya, menceritakan bagaimana Soekarno membandingkan potensi ledakan kemarahan rakyat yang selalu ditekan dan ditindas pemerintah kolonial Belanda dengan Gunung Kelud yang ketika meledak mendatangkan suara gemuruh hebat. Kata Soekarno, "Manakala perasaan kita meletus, Den Haag akan terbang ke udara". Tidak heran rakyat selalu berkerumun manakala mendengar Soekarno akan berpidato. Ia memang pandai memainkan emosi rakyatnya.

***

PERIODE 1926 sampai dengan ketika Soekarno ditangkap pada tahun 1929 merupakan periode bergolaknya semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada waktu itu PKI baru saja gagal dalam pemberontakan melawan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1926, sehingga partai tersebut dilarang dan tokohnya seperti Semaun dan Alimin dikucilkan. Maka PNI mulai berkembang pesat, sementara Perhimpunan Indonesia di Belanda juga melakukan propaganda gerakan nasionalis untuk disebarluaskan di Indonesia. Ada semacam pertemuan kepentingan antara gerakan di Tanah air dengan yang di negeri Belanda. Tokoh nasionalis mulai bermunculan seperti Soekarno, Sjahrir, Hatta, Sartono, dan Sukiman, di samping sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh pergerakan dari kalangan Sarekat Islam seperti HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim.

Ketika agitasi Soekarno dan kawan-kawannya dari kalangan gerakan nasionalis semakin mampu menciptakan gerakan massa yang sadar politik dan dianggap membahayakan kedudukan Pemerintah Hindia Belanda, maka pemerintah kolonial mulai mengawasi segala gerak-gerik Soekarno dan kawan-kawannya.

Pengalaman pertamanya di penjara adalah ketika ia ditangkap bersama dengan Gatot, Maskun, dan Supriadinata pada malam tanggal 29 Desember 1929. Ia dijebloskan ke Penjara Banceuy, Bandung, selama delapan bulan, sebelum pada akhirnya menetap di Penjara Sukamiskin selama dua tahun. Di sini Soekarno tidak hanya dipenjarakan, tetapi juga diasingkan, tidak boleh berkomunikasi dengan orang luar maupun sesama tahanan. Soekarno mengatakan, hanya cicaklah yang menjadi temannya.

Banceuy adalah penjara tingkat rendah yang didirikan abad ke-19. Keadaannya kotor, bobrok, dan tua. Di sana ada dua macam sel, untuk tahanan politik dan tahanan pepetek (rakyat jelata). Kalau yang pepetek tidur di atas lantai semen, maka yang satu lagi tidur di atas velbed yang dialasi tikar rumput. Soekarno menceritakan pada Cindy Adams betapa tertekan dirinya dalam penjara itu. "Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan. Memang, aku telah lebih seribu kali menghadapi hal ini semua dengan
diam-diam jauh dalam kalbuku sebelum ini
. Akan tetapi ketika pintu yang berat itu tertutup rapat dihadapanku untuk pertama kali, aku rasanya hendak mati".

Pengadilan politik mulai digelar pada tanggal 18 Agustus 1930 di pengadilan Landraad, Bandung. Pada tanggal 22 Desember 1930, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Soekarno naik banding, menyusun pledoi, dan membacakan pidato pembelaannya yang sangat terkenal berjudul Indonesia Menggugat. Pidatonya itu menjelma menjadi suatu dokumen politik historis menentang kolonialisme dan imperialisme. Di situ Soekarno menampilkan diri sebagai manusia 'penggerak', juga intelektual muda yang sedang berusaha memahami persoalan bangsanya berhadapan dengan kolonialisme Belanda.

Boleh dikatakan isi pidato itu merupakan intisari hasil jelajah pikiran Soekarno selama 15 tahun belakangan terhadap tulisan para pemikir besar dunia yang menentang segala bentuk penindasan atau eksploitasi sesama manusia.

Sejak masih tinggal dengan keluarga HOS Tjokroaminoto di Surabaya, Soekarno sudah membaca tulisan pemikir-pemikir besar dunia. Ia membaca Gladstone dari Britania serta Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan gerakan buruh Inggris. Ia gandrung pada karya-karya Karl Marx, Friederich Engels, termasuk Lenin dari Rusia. Karya Karl Kautsky juga dibacanya. Ia pun sangat menyukai Jean Jacques Rousseau, serta ahli pidato dari Perancis Aristide Briand dan Jean Jaures. Ia juga sering menyamakan dirinya sebagai Danton atau Voltaire, karena begitu kagumnya kepada dua orang itu.

Dan sebenarnya cita-cita dan dasar pemikiran politiknya sudah terbentuk pada tahun 1920 itu, yakni sintesa antara tiga aliran besar yaitu nasionalisme, marxisme dan Islamisme. Soekarno selalu mengatakan bahwa menyatukan ketiga aliran itu merupakan keharusan dalam rangka menyatukan kekuatan bangsa Indonesia menentang kolonialisme untuk mencapai pintu gerbang kemerdekaan. Ketiga aliran itu bisa saling mengisi.

***

TESIS yang diajukannya dalam Indonesia Menggugat sebenarnya juga diilhami oleh dasar-dasar pemikiran politiknya itu. Yang paling dominan adalah analisisnya mengenai kejahatan ekonomi dan kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan pemerintah kolonial selama 350 tahun menjajah Indonesia.

Soekarno memaparkan data mengenai penderitaan rakyat Indonesia. Misalnya dikatakan, penghasilan seorang kepala rumah tangga marhaen setahun rata-rata 161 gulden, sementara beban setahun rata-rata 22,50 gulden, sehingga penghasilan bersih setahun adalah 138,50 gulden. Kalau dihitung, maka rata-rata pengeluaran setiap bulan adalah 12 gulden dan pengeluaran per hari 0,40 gulden. Maka apabila dimakan untuk lima orang, setiap harinya adalah sebesar 0,08 gulden per orang. Tidak heran, kondisi rakyat hari ini makan, besok belum tentu makan. Kondisi kesehatan sangat buruk, sekitar 20 persen angka kematian, bahkan di kota-kota besar seperti di Pasuruan, Betawi, dan Makassar bisa mencapai 30 sampai 40 persen kematian setiap tahunnya. Kalaupun bisa bertahan hidup, badan mereka kurus kering dan sangat kekurangan gizi.

Kata Soekarno, "rakyat kami hidup dalam jajahan yang sengsara, imperialisme modern telah menunjukkan kejahatannya".

Dengan penghasilan yang hanya sekian gulden per tahun, setiap marhaen harus membayar pajak 10 persen, sementara bangsa Eropa pajak setinggi itu hanya dikenakan pada mereka yang mempunyai penghasilan tidak kurang dari 8.000-9.000 gulden per tahun. Bayangkan betapa kejamnya penghisapan yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap rakyat Indonesia yang tidak berdaya itu.

Soekarno dianggap bersalah, dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara, kemudian dipindahkan ke Penjara Sukamiskin, Bandung. Ia menerima perlakuan relatif baik di sini. Walaupun diasingkan pada beberapa bulan pertama, namun sesudahnya Inggit, istrinya, dibolehkan membesuk. Soekarno secara mental lebih kuat dibandingkan ketika di Penjara Banceuy. Muncul kesadaran untuk menerima keadaannya dan bahkan kemudian menganggap penjaranya itu sebagai sekolah. Di Sukamiskin inilah Soekarno mulai mendalami agama Islam secara intens dengan cara mempelajari isi Al Quran.

Pembelaan Soekarno Indonesia Menggugat ternyata memperoleh simpati tidak hanya dari kalangan ahli hukum yang ada di negeri Belanda, tetapi juga mereka yang terlibat dalam gerakan anti- imperialisme dan kolonialisme di Eropa Barat. Banyak kritik ditujukan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang memberi hukuman terlampau berat kepada Soekarno. Karena itu pada akhirnya hukuman dikurangi menjadi hanya dua tahun. Ia dibebaskan oleh Gubernur Jenderal De Graeff pada pagi hari tanggal 31 Desember 1931.

Baru beberapa bulan menghirup udara kebebasan, Soekarno ditangkap lagi dengan tuduhan tetap menyebarkan agitasi melawan pemerintah kolonial. Memang selepas dari penjara-seperti biasanya-mulai lagi bergerak memimpin partai. Ia mengadakan pertemuan massa dan membakar semangat massa dengan berbagai pidatonya. Seperti kita ketahui ketika Soekarno dipenjara, PNI- partai yang didirikannya-pecah dan gerakan nasionalis menurun kegiatannya. Sebagai gantinya berdiri PNI Baru dan Partindo. Soekarno kemudian bergiat dalam Partindo.

***

UNTUK kedua kalinya Soekarno masuk penjara. Waktu itu usianya 32 tahun. Kali ini mereka mengurung Soekarno dalam sebuah sel khusus supaya tidak bisa bertemu dengan orang lain. Pemerintah kolonial Belanda menyadari, kekuatan Soekarno terletak pada komunikasinya dengan rakyat, karena itu hubungannya dengan rakyat harus diputuskan. Kalau pada waktu masuk penjara yang pertama dulu masih ada kesenangan bisa berkomunikasi dengan tiga kawannya yang lain yang sama-sama ditahan, maka di sini Soekarno benar-benar dikucilkan. Dan seperti yang diakui oleh Soekarno, keadaan itu telah membunuh seluruh kekuatannya. Rakyat atau massa adalah sumber kekuatan Soekarno. Manakala sumber kekuatan itu ditutup, maka habislah semangatnya.

Maka seperti halilintar di siang bolong, semua orang terkejut ketika mendengar Soekarno telah menulis surat 'meminta ampun' pada pemerintah jajahan. Kabar buruk tersebut cepat tersebar di antara kaum pergerakan dan menjadi bahan pembicaraan. Termasuk Inggit sendiri, merasa sangat tidak enak mendengar kabar tak sedap itu. Yang menjadi pertanyaan adalah darimana mereka memperoleh kabar tersebut?

Ternyata berdasarkan tulisan Ingleson, ada laporan pemerintah kolonial pada akhir bulan Oktober yang diperkuat oleh pengumuman pegurus Partindo, bahwa Soekarno telah mengundurkan diri dari partai, menyesali kegiatannya di masa lalu dan menawarkan kerja sama dengan pemerintah di masa mendatang.

Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Apakah memang benar Soekarno telah meminta ampun kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda?

Sebenarnya tidak banyak orang yang mengetahui mengenai soal permintaan ampun Soekarno itu. Soal ini memang tidak banyak ditulis atau dikupas buku-buku yang terbit di Indonesia. Sampai ketika tahun 1979, John Ingleson, seorang mahasiswa pascasarjana pada Jurusan Sejarah Universitas Monash, Australia, menulis buku yang berjudul Road to Exile: The Indonesia Movement, 1927-1934, diterbitkan oleh Asian Studies Association of Australia, Southeast Asian Publication Series. Buku yang berasal dari disertasi itu ditulis berdasarkan penelitian perpustakaan arsip dokumen pemerintah Hindia Belanda di Kementerian Dalam Negeri Belanda.

Bukunya itu yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1983 dengan judul Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934 itu tentu saja menggemparkan. Buku itu kontan menimbulkan perdebatan seputar kebenaran cerita itu. Yang menarik adalah kolumnis kawakan Rosihan Anwar termasuk yang percaya dengan surat-surat Soekarno seperti yang terdapat dalam tulisan Ingleson. Padahal sebenarnya Ingleson sendiri dalam bukunya itu, selain berpikir kemungkinan kebenaran dari surat-surat itu, juga tidak mengabaikan kemungkinan surat itu sebagai surat-surat palsu.

Rosihan Anwar dalam kolomnya berjudul Perbedaan Analisa Politik antara Sukarno dengan Hatta di Kompas, 15 September 1980, menulis, "Sebuah perbedaan lain ialah dalam sikap politik terhadap pemerintah jajahan Hindia Belanda. Hatta bersikap teguh, konsisten dan konsekuen. Sebaliknya Sukarno, ahli pidato yang bergembar-gembor, lekas bertekuk lutut, jika menghadapi keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya".

Seterusnya Rosihan menulis, "Demikianlah dalam kurun waktu satu bulan, ketika Sukarno berada dalam penjara Sukamiskin di Bandung, ia menulis empat pucuk surat bertanggal 30 Agustus, 7, 21, dan 28 September 1933 kepada Jaksa Agung Hindia-Belanda. Dalam surat-surat itu Sukarno memohon kepada Hindia Belanda supaya ia dibebaskan dari tahanan penjara. Sebagai gantinya Sukarno berjanji tidak akan lagi ambil bagian dalam soal-soal politik untuk masa hidup selanjutnya. Ia mencantumkan sepucuk surat yang dialamatkan kepada dewan pimpinan Partindo dan dalam surat itu ia memajukan permintaan berhenti dari partai. Selain daripada itu dia mengakui, betapa tidak bertanggung jawabnya kegiatan-kegiatan politiknya. Seterusnya ia bertaubat dalam hal pandangan-pandangannya yang bersifat non-koperatif. Apabila pemerintah membebaskannya, maka dia akan bekerja sama dengan pemerintah. Akhirnya dia menawarkan akan menandatangani apa saja yang dikehendaki oleh pemerintah guna memperoleh pembebasannya".

Selanjutnya dalam tulisan kolomnya di harian yang sama, 14 Februari 1981, Rosihan menegaskan kembali pendiriannya yang cenderung meyakini kebenaran surat-surat tersebut. Ia memberi contoh bahwa Soekarno pada tanggal 19 Desember 1948 tatkala tentara Belanda menduduki Lapangan Terbang Maguwo dan sedang bergerak menuju Kota Yogyakarta, Soekarno menyuruh Kepala Rumah tangga Istana mengibarkan bendera putih tanda menyerah pada Belanda dan membiarkan dirinya ditawan tentara Belanda.

Tulisnya, "Ini sekedar ilustrasi, memanglah Sukarno itu lekas bertekuk lutut atau minta ampun, bila ada berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang superior atau sedang mengalami ancaman bahaya dan ketidak-enakan bagi dirinya. Semua ini kedengarannya tidak sedap bagi mereka yang mengagung-agungkan atau mengkultuskan pemimpin. Tetapi suka atau tidak suka, saya pikir, kita sebagai bangsa harus berusaha mendidik diri kita, supaya mencapai kedewasaan. Marilah kita hadapi realitas ini."

Namun demikian pada akhirnya Rosihan mengatakan bahwa itu semua sama sekali tidak mengurangi penghargaan kepada Soekarno sebagai proklamator kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Tulisnya, "Kita mengakuinya sebagai pemimpin yang besar jasanya bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia".

Tentu saja tulisan Rosihan Anwar itu menimbulkan pro dan kontra, terutama mereka yang mencintai Soekarno dan menganggapnya sebagai manusia pejuang tanpa cacat. Yang mengomentari adalah Mahbub Djunaidi, Ayip Bakar, Anwar Luthan dan Mr Mohammad Roem. Semuanya menulis di harian ini, Kompas.

Berlainan dengan Rosihan, keempatnya menyangsikan kebenaran isi surat tersebut. Mr Mohammad Roem dalam tulisannya di Kompas, 25 Januari 1981, berjudul Surat-Surat dari Penjara Sukamiskin, mempertanyakan apa yang dituliskan oleh Ingleson itu, sebab dibuat tidak berdasarkan otentitas surat asli. Ia mempertanyakan otentitas empat surat itu, sebab surat-surat yang dikutip dari arsip Kerajaan Belanda itu bukanlah tulisan asli Soekarno, melainkan salinan dari surat asli Soekarno yang diketik oleh pejabat yang diberi wewenang oleh peraturan pemerintah kolonial waktu itu. Salinan itu diketik dan tidak membawa tanda tangan asli Soekarno, melainkan hanya "tertanda" atau ditandatangani oleh Soekarno.

Mr Roem pada kesimpulan tulisannya mengatakan, sangat meragukan kebenaran salinan surat-surat tersebut. Mr Roem berkata: "Waktu saya membaca surat-surat itu, saya menemukan beberapa kesalahan dalam bahasa Belandanya. Pengetahuan bahasa Belanda Bung Karno (HBS) paling sedikit sama dengan pengetahuan saya (AMS). Di waktu itu, kalau kita membuat surat dalam bahasa Belanda untuk pembesar Belanda, kita hati-hati benar jangan sampai membuat kesalahan. Surat Soekarno yang keempat sangat emosional akhirnya. Meskipun tidak selamanya saya dapat mengikuti Bung Karno, akan tetapi ini: Het te mooi om waar te zijn, atau terlalu indah untuk benar".

***

BAGAIMANA sebenarnya salinan surat-surat Soekarno itu sehinggamembuat Mr Roem tidak yakin?

Surat kedua Soekarno kepada Jaksa Agung tertanggal 7 September 1933 seperti tertulis dalam Laporan Surat Rahasia 1933/1276 adalah sebagai berikut:

"Saya mohon kepada tuan dan pemerintah untuk melindungi saya dari proses pengusutan hukum atau penahanan lebih lanjut, dan untuk memerintahkan pembebasan saya dengan segera. Hukuman penjara atau penahanan Saya mohon kepada tuan dan pemerintah untuk melindungi saya dari akan berarti malapetaka bagi saya, keluarga saya, terutama ibu saya-bagi ibu saya hukuman atas diri saya itu mungkin berarti kematiannya. Setiap hari dalam tahanan ini sekarang ini saya menderita kesedihan yang amat sangat dan perasaan putus asa. Saya akan berterimakasih kepada kemurahan hati pemerintah dan dengan sepenuh hati bersedia memperlihatkan rasa terimakasih itu dalam tindakan-tindakan saya setelah bebas nanti. Maafkanlah sikap saya yang tak tahu syukur setelah pengampunan yang dulu. Saya telah menyatakan dalam surat saya terdahulu bahwa sekarang ini jiwa saya sepenuhnya telah berubah. Di dalam hati, saya telah membuang politik dan memohon tuan melepaskan saya dengan segera dari penderitaan ini. Setiap jam dari penahanan ini bagiku bagaikan satu hari penderitaan panjang dan berat. Selanjutnya saya berharap bahwa tuan akan mempertimbangkan keadaan pikiran saya sekarang yang patut dikasihani, dan bahwa janji saya ini cukup memadai sehingga saya bisa segera dibebaskan. Tetapi, apabila janji yang saya buat ini belum cukup, maka bermurah hatilah terhadap diri saya (karena
keadaan saya benar-benar parah) dengan memberitahu pejabat yang berwenang syarat-syarat mana yang masih harus saya penuhi bagi pembebasan saya. Saya bersedia menerima semua tuntutan. Penderitaan saya sendiri dan penderitaan keluarga serta ibu saya terlalu besar, penanggungan saya demikian beratnya, sementara tanpa kepastian ini amat memakan syaraf, sehingga tak mungkinlah saya tak menerima syarat-syarat itu seluruhnya. Bahkan saya juga bersedia, bila tuan dan pemerintah benar-benar menghendakinya sebagai syarat penglepasan saya, untuk mencabut kembali permintaan saya dulu agar surat-surat saya tetap dirahasiakan, dan menyatakan setuju kalau pemerintah mengadakan pengumuman dengan kalimat-kalimat berikut: "Pemerintah telah menerima permintaan dari Ir Sukarno untuk dibebaskan dengan janji bahwa ia akan berhenti dari segala kegiatan politik lebih lanjut
".

Sementara surat keempat tertanggal 28 September 1933 yang termuat dalam Laporan Surat Rahasia 1933/1276 yang menurut Mr Roem adalah terlalu indah untuk benar yaitu, antara lain, sebagai berikut:

"Saya meratapkan sekali lagi dan sekali lagi permohonan dihadapan tuan dan pemerintah, kembalikan saya kepada isteri saya dan kepada ibu saya yang tua dan manis, akan tetapi sakit-sakitan. Saya sudah berbuat jahat tapi saya menyesalinya yang sedalam-dalamnya. Limpahkan ampun kepadaku dan dahulukan rasa kasihan daripada hukum. Saya menjatuhkan diri di hadapan tuan dan pemerintah agar dibebaskan dari penderitaan".

Roem berpendapat bahwa itu bagian taktik licik Belanda untuk mengacaukan pikiran rakyat dan mengacaukan barisan perjuangan pergerakan nasional Indonesia yang pada waktu itu sedang mencapai puncaknya. Pembunuhan karakter manusia sekaliber Soekarno akan mampu menghancurkan kekuatan mobilisasi massa rakyat menghadapi pemerintah kolonial Belanda.

Yang menarik adalah polemik itu tidak selesai sampai di situ, sebab kemudian Rosihan Anwar menjawabnya kembali dan dijawab sekali lagi oleh Mr Roem. Kemudian polemik itu ditutup oleh sebuah tulisan sejarawan Taufik Abdullah berjudul Biografi dan Surat-surat Itu dalam Majalah Tempo tanggal 28 Februari 1981. Taufik Abdullah berusaha membedakan antara seseorang sebagai manusia biasa dan sebagai aktor sejarah. Sebagai manusia biasa seseorang dalam kediriannya tampil sebagaimana adanya, yang bisa mencintai, membenci, takut, nekat dan apa saja. Sementara sebagai aktor sejarah, seorang manusia dapat luluh dalam kaitannya dengan masyarakat dan dinamika sejarah. Artinya, apa pun yang sudah berlangsung dalam pengalaman pribadinya sebagai manusia biasa dengan segala kekuatan dan kelemahannya, tidak akan mengurangi kontribusinya sebagai manusia pembuat sejarah bangsanya.

Soekarno pernah mengatakan pada Cindy Adams mengenai masa-masa itu sebagai berikut, "Aku akan dibuang ke salah satu pulau yang paling jauh. Berapa lamakah? Hingga semangat dan jasadku menjadi busuk. Aku akan menghadapi pembuangan itu". Namun, hal ini diceritakan Soekarno pada tahun 1960-an, yaitu pada saat empat buah surat soal 'minta ampun' belum dipublikasikan, sehingga Soekarno tidak bisa menjawab tentang kebenarannya.

Apabila demikian halnya, tetap ada baiknya untuk melakukan penelitian sejarah lebih lanjut mengenai kebenaran dari surat-surat tersebut. Bagaimanapun surat-surat tersebut berkaitan dengan periode tertentu yang amat penting dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia.

* Valina Singka Subekti Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/perm63.htm
soekarno file di kompas


No comments: