Wednesday, October 24, 2007

Ziarah Kubur Bung Karno

Ziarah Kubur Bung Karno
Emmanuel Subangun


HIKMAH dari kehidupan bersama dalam negara Indonesia selama lebih dari separuh abad ini adalah tak terbantahkannya kenyataan bahwa kekuasaan politik tidak pernah bersifat tunggal, melainkan selalu bersifat ganda, tak menentu. Bung Karno sebagai orang pergerakan, karena itu, juga harus diterima dalam watak majemuknya. Selalu ada sifat tak terduga, atau mungkin diabolik, dalam sepak terjangnya, dan hal itu mudah dimengerti asalkan kita bisa membaca dengan baik naskah yang dia tulis (atau pidato yang dia ucapkan), tindakan yang dia lakukan, dan akibat politik yang dia timbulkan.S ehingga dengan demikian, dari awal kita melihat bahwa cara baca kita terhadap Bung Karno bukanlah cara baca yang naif-maka tulisan ini berjudul Ziarah Kubur Bung Karno- tetapi sepenuhnya adalah tulisan yang bersifat atau mengandung cacat. Tidak netral seperti bayi, tapi adalah bacaan atas Bung Karno seperti pikiran, perasaan, dan tindakan yang dilakukan oleh jutaan warga masyarakat yang datang ke Blitar, di mana Bung Karno tidur untuk selamanya. Dia tidak musnah, tidak lenyap, tapi semata pralaya, semata berpindah ke alam yang lain, dan mereka yang hidup masih dan selalu punya kesempatan untuk bertemu, mengeluh atau mungkin minta petunjuk dan pelipur hati.

Bacaan atas Bung Karno, dalam keadaan alam pergerakan Indonesia hari-hari ini, tidak mungkin untuk ditelaah semata-mata secara obyektif, dalam asas paling pokok dari positivisme alias otak adalah cermin yang bersih, dan lewat konsep-konsep yang dibentuk oleh akal, lalu benda-benda di luarnya ditangkap secara netral, karena benda-benda itu bisa dibagi menjadi dua dan hanya dua, yakni res extensa dan res cogitans. Hal pertama dalam fakta dan data, dan hal kedua adalah makhluk manusia yang berpikir dan hanya berpikir. Alam berpikir modern Cartesian seperti ini jelas tak memadai untuk kepentingan kita hari-hari ini. Akan jauh lebih memadai pola pikir yang sepenuhnya tradisional, yakni alam pikir metaforik yang menarik makna dari perasaan, dari metafor, dari pengalaman, dan bukan dari konsep, dari analisa abstrak.

Pengalaman kita bernegara selama ini telah memberi hikmah yang penting. Dari zaman Bung Karno sudah amat jelas bahwa sebuah political goodwill tidak memadai untuk menggerakkan sebuah bangsa keluar 100 persen dari negara kolonial. Dan pengalaman selama Orde Baru memberi pelajaran amat berharga bahwa negara modern yang bersendi pada tentara dan pegawai negeri adalah sebuah anakronisme sejarah: hendak keluar dari negara kolonial, tetapi dengan menghidupkan sebuah negara pegawai (beamtenstaat). Dan masa transisi yang kita alami sekarang memberikan wajah amat pasti bahwa sebagai bangsa dan negara, sebuah unit yang bernama Indonesia itu, sekarang sedang dalam krisis konjungtural, struktural, dan politik. Artinya, dari segi tatanan world system, kejatuhan rezim bisa dilihat sebagai keteledoran dalam investasi dan pengelolaan valuta asing, yang lalu memiliki efek domino.

Dana menganggur dari pasar modal dunia secara sembrono ditelan mentah-mentah oleh para kapitalis semu kita, dan akhirnya membawa keruntuhan ekonomi. Sementara di dalam negeri rapuhnya sistem politik segera tak bisa disembunyikan lagi ketika Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) semakin jelas bukan semata-mata sebagai alat negara, tapi sepenuhnya alat penguasa. Dan, karena itu juga sebagai alat penguasa tentara tidak bisa dipisahkan dari sejuta kepentingan yang berkecamuk di dalam negeri-artinya bukan semata-mata dwifungsi, tapi multifungsi!-sehingga posisi khususnya juga runtuh. Akhirnya perimbangan kekuasaan "istana presiden" yang berubah menjadi "istana raja" Jawa semakin tidak peka pada pergeseran zaman. Sehingga secara politik memang tidak bisa bertahan lagi.

Dalam keadaan semacam itulah, saya membaca sejarah, naskah dan ingatan akan Bung Karno. Bukan bacaan cartesian, bukan bacaan lawan/kawan secara ideologis, tapi adalah bacaan yang paling tradisional. Metaforik, semacam ziarah kubur. (1)

Politik aliran dan golongan

Salah satu budaya politik amat penting yang dibawa oleh tentara dalam sistem politik di Indonesia adalah sebuah budaya elite yang menggantikan budaya pelopor. Dengan menjadikan massa rakyat sekadar sebagai penonton yang boleh berpolitik sekali dalam lima tahun dalam "pesta demokrasi", maka selain ritualisme politik, hal lain adalah pergeseran pengertian politik yang setali tiga uang dengan barang najis. Elitisme politik berakibat pada penajisan politik.

Dan, hal ini harus dipahami dalam hubungan dengan soekarnoisme. Soekarnoisme secara deskriptif bisa dibaca dari kutipan kisah seperti ini:

"Megapa Anda tidak membubarkan PKI?" tanya saya kepada Soekarno ketika saya berkunjung ke Indonesia, beberapa minggu sebelum ia dipecat (Soekarno diturunkan Maret 1966).

"Kita tidak dapat menghukum suatu partai secara keseluruhan karena kesalahan beberapa orang," jawabnya. Saya katakan padanya bahwa ia telah dapat melakukannya dalam tahun 1960, ketika ia melarang Masjumi dan PSI.

"Masjumi dan PSI," jawabnya, "telah merintangi penyelesaian revolusi kami. Akan tetapi, PKI merupakan pelopor kekuatan-kekuatan revolusi. Kami membutuhkannya untuk pelaksanaan keadilan sosial dan masyarakat yang makmur."

Saya bertanya, apakah ia masih merasa yakin bahwa konsepnya mengenai Nasakom, konsep pemersatuan golongan-golongan nasionalis, agama dan komunis, pada dasarnya benar.

Ia menjawab, "Ya". (2)

Apa yang dikatakan Soekarno tahun l960 itu tetap merupakan pernyataan keyakinan politik yang dituliskan tahun 1926. Keyakinan akan pentingnya sebuah partai pelopor yang tidak bisa diperankan oleh satu partai saja, tetapi harus dibagi peran oleh tiga unsur pokok yang disebut agama, nasionalis dan komunis yang semua itu mendapatkan perumusan paling utuh dan menyeluruh dalam dasar negara Republik Indonesia yang disebut Pancasila!

Dengan demikian amatlah tidak sederhana untuk menafikan Bung Karno semata-mata sebagai seorang makhluk Jawa yang tidak mampu berpikir secara rasional, dan dengan menggunakan selera kepentingan lalu mencari dan menggabungkan apa saja yang disangka baik, lalu dipadukan sebagai sebuah pandangan hidup. Kegentingan masalah partai pelopor bukanlah masalah selera, tetapi masalah himpitan struktural yang tidak mungkin dihindarkan. Dalam naskah tahun 1926 itu Bung Karno menyebut sebuah via dolorosa yang harus sepenuhnya disadari, jika partai pelopor itu dilupakan.

Dalam bahasa kaum strukturalis, mereka yang melihat Soekarno hanya menjalankan model berpikir sinkretis sepenuhnya menjalankan praktik baca yang disebut oversight, artinya melihat tapi tak suatu pun yang tampak, karena dalam mencari adequatio rei et intellectus yang disebut terakhir itu adalah sistem konsep yang dibangun dalam dan dari pengalaman sejarah negeri dan waktu yang lain. Demokrasi dengan seluruh uraian ideologis yang menyertainya sepenuhnya, tidak mungkin dimengerti tanpa sejarah panjang pembentukan negeri nasional di Eropa, sejarah feodalisme, ekspansi kapitalisme dan konflik perang dingin.

Nalar pergerakan tidak dapat dilihat secara berjenjang dalam hubungan dengan nalar "kebenaran" seperti ditata dalam filsafat, atau disusun dalam dogma agama. Apalagi sekadar ditilik secara dangkal dengan meninggalkan sinoptik seluruh weltanshauung yang tak lain akan menjadi api ideologi yang menggerakkan perubahan masyarakat untuk keluar dari orde kolonial.

Hanya saja ketika tahun 1960-an Soekarno tetap bertahan dengan Front Persatuan, dia tidak terlalu jeli melihat konflik yang tak terkendali antara kepentingan politik militer, dengan sayap dalam sistem politik aliran dan golongan. Soekarno telah menjadi anakronik.

Sinkretik atau tidak, bukan itu masalah bagi soekarnoisme dalam sejarah pergerakan. Tetapi pertanyaannya terletak di tempat lain: mampukah ide fixed "persatuan kesatuan" mengantarkan 200 juta rakyat untuk keluar dari sebuah rezim kolonial yang tetap bercokol sampai hari ini?

Upaya untuk membangun sejumlah partai pelopor yang dengan terus-menerus dijaga oleh Soekarno selama 40 tahun pada akhirnya sampai pada titik buntu. Dan sementara pikiran itu tidak pernah mati, sistem politik yang menggantikannya adalah sistem elitis yang terbukti hari-hari ini kita menuai hasilnya. Malapetaka!

Masyarakat madani

Demi sebuah perbandingan dapatlah kita ambil sebuah naskah dan pemikiran revolusioner yang lain dari Rusia. Gagasan pergerakan tetap pada partai pelopor, dan rumusan masalah diletakkan dalam silogisme yang ketat, yang jika ditanggalkan dari semua kerumitan akhirnya akan muncul hal seperti ini: Akar masalah dunia modern adalah ditetapkannya hak milik pribadi sebagai mutlak dan universal.

Hak milik pribadi hanya akan bisa dihapuskan dengan hak milik bersama. Dan hak milik bersama dijalankan oleh negara.

Oleh karena itu, perjuangan politik paling tinggi adalah merebut kekuasaan negara dari para pembela hak milik pribadi dan mengalihkannya pada fungsi-fungsi rasional dalam sistem negara. Sehingga pada giliran terakhir relevansi "negara" juga hilang, dan kita hidup dalam "masyarakat". (3)

Dalam teori negara sebagai "alat" penindas seperti itu, memang kita bisa meletakkannya dalam uraian yang nonsinkretik, karena dari awal memang dimulai dari silogisme, atau hukum sebab-akibat, propter/ergo.

Asal saja kita tahu bahwa sejarah Rusia adalah sejarah negara predator terhadap masyarakat, sebetulnya juga tidak menjadi terlalu sulit untuk akhirnya kita saksikan pergantian teori negara instrumentalis ini digantikan dengan konsep negara yang nonkausal, yang lazim disebut sebagai hubungan negara/masyarakat yang over-determinatif, artinya hubungan yang melingkar dan seakan-akan tak langsung antara masyarakat dan negara, sehingga sifat gerakan politik juga harus menjadi lain sama sekali.

Di Eropa Timur sifat gerakan politik itulah yang disebut dengan gerakan masyarakat sipil, yang sepenuhnya adalah selundupan konsep demokrasi dalam sistem otoriter Eropa Timur: masyarakat yang tidak dipilah dalam garis ideologi (komunis/ nonkomunis), dan hubungan terbalik masyarakat dan negara. Dan dalam penerapan sistem politik adalah diperkenalkannya sistem multipartai. (4)

Akan terlalu frontal jika terhadap masyarakat yang baru terbebas dari sistem komunis, lalu diperkenalkan sebuah sistem yang diberi nama "kapitalis". Sehingga, meskipun isi ideologi dari masyarakat sipil tak lain adalah kapitalisme yang cocok untuk Eropa Timur, tidaklah terlalu mengherankan jika istilah tersebut diambil alih oleh wacana politik di Indonesia berdasar atas paralelisme pengalaman psikohistoris antara Indonesia dan Eropa Timur, dengan prakarsa penuh dari para teknokrat politik Amerika Serikat.

Anehnya, tak seorang pun pernah mempersoalkan bahwa masyarakat sipil alias madani itu sama anakroniknya dengan front persatuannya Bung Karno di tahun 1960-an, dalam arti sekarang ini masyarakat sipil sesuai dengan kepentingan dan wacana ideologis Amerika Serikat, sedangkan Nasakom, dari awal memang tidak sesuai dengan kepentingan kapitalisme global seperti itu. Dan dapatkah Anda membayangkan bagaimana hal itu mungkin terjadi, sebuah negeri kapitalis pinggiran seperti Indonesia yang hancur lebur dalam proses penataan ulang sistem kapitalisme global, melalu jalur pendek yang disebut saluran finansial dan utang, lalu sejumlah elite nasionalnya sibuk berucap litani tentang kemudaratan masyarakat sipil, sebuah konsep impor bikinan luar untuk obat penenang di Eropa Timur itu?

Sejarah negara kita adalah sejarah negara jajahan. Negara jajahan bukan saja negeri itu diperas untuk negeri induk, tetapi jauh lebih mendalam dari itu semua, selalu tumbuh anggapan bahwa anak negeri jajahan adalah sekadar manusia setengah dewasa, yang tidak mampu berpikir mandiri, bertindak bebas dan bertanggung jawab. Negara jajahan adalah sebuah penghinaan sejarah atas harkat kita sebagai manusia, dan bukan semata masalah ekonomi, politik atau budaya.

Apa yang salah dengan orang Jawa?

Lazimnya orang akan mengatakan bahwa nalar sinkretik amat dominan pada Suku Jawa, karena suku inilah di Nusantara yang secara tuntas mengalami penjajahan dan dalam sejarah yang panjang mengenal gelombang besar peradaban dunia, mulai dari Hindu/Buddha, Islam dan juga ilmu politik modern. Karena Suku Jawa ini juga merupakan warga terbesar dari negara Indonesia, maka seakan teori antropologi gaya Geertz yang trikhotomis (santri, abangan, priayi) juga bisa menjelaskan proses involutif dari gerak masyarakat Indonesia.

Dalam bidang politik, semua tinjauan itu hanya menjadi pengetahuan umum, sejenis common sense yang harus diterima sebagai "anggapan umum", dan tetap diterima sebagai "anggapan". Sebab, seperti kita kenal dalam dasawarsa 1970-an dan 1980-an, seakan-akan program westernisasi itu sudah mencapai titik puncaknya, dan semua berbicara atas nama negeri industri baru (5), seakan-akan Indonesia telah menjadi bagian integral, tanpa masalah, dengan sistem kapitalis global.

Kenyataan hari-hari ini adalah kenyataan yang pahit. Negara dengan pengalaman dijajah secara habis-habisan mengidap penyakit yang sangat tidak mudah disembuhkan: negara selalu dimengerti dalam kaitan rapat dengan bangsa. Sementara negara tak lebih merupakan sebuah unit dari sistem negara dunia, maka bangsa adalah struktur pengalaman yang jauh lebih mendalam. Negara harus bisa menjamin rasa berbangsa, dan masalah ini menjadi mendesak atau tampak amat mendesak jika dibandingkan dengan sejarah bahwa Asia lain yang tidak mengenal penjajahan seperti Thailand, Jepang, Korea atau bahkan Cina. Mereka yang tidak mengalami sindrom westernisasi ini tidak menderita luka sejarah-via dolorosa-seperti harus kita terima bersama.

Soekarno mengerti, menjalani, berjuang dan wafat dalam via dolorosa itu. Bukan semata sebagai warga Suku Jawa yang irasional, sinkretik dan keras kepala. Sebagai orang pergerakanlah harga Soekarno dalam sejarah Indonesia mesti ditorehkan.

Sekali lagi, saya membaca Soekarno secara tradisional (metaforis) dengan mengandalkan pada ingatan, bacaan dan harapan, dan bukan dalam cara baca modern (obyektif) yang menerapkan sebuah konsep lain yang lebih sistematis untuk membaca Soekarno yang sinkretis, juga bukan cara baca pascamodern (simulatif), yang mengambil Soekarno sebagai sekadar naskah yang memburat dan terburai.

Oleh karena itu, sepantasnya pula jika tulisan ini ditutup dengan baris-baris terakhir naskah pemimpin bangsa dan negara itu dari tahun 1926 tersebut tentang persatuan dan kemerdekaan:

"Kita harus bisa menerima, tetapi juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit saja.

Dan jikalau kita semua insyaf bahwa kekuatan hidup itu letakan tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi, jikalau kita semua insyaf bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita, jikalau kita semua insyaf bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya "via dolorosa"; jikalau kita insyaf bahwa roh rakyat kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju sinar yang satu yang berada di tengah-tengah kegelap-gumpita yang menglilingi kita ini maka pastilah persatuan itu terjadi, dan pastilah sinar itu tercapai juga.

Sebab sinar itu dekat!"

Dan, kita menelan kepahitan itu: ternyata sinar itu semakin menjauh, hari-hari ini.

* Emmanuel Subangun Pengamat sosial politik, direktur Alocita, Yogyakarta.

Rujukan:

(1) Cara baca cartesian yang menjadi dasar segala rupa positivisme mengandaikan res cogitans itu ibarat cermin. Semakin bersih dan berkilau cermin itu, akan semakin "obyektif" bacaan kita. Disebut bacaan "bebas nilai". Cara baca yang lain adalah bacaan strukturalis, atau malah pasca strukturalis, lihat Althuser, Louis et al, Lire Le Capital, Petite Collection Maspero,1968, Paris, dan juga Baudirallard, Jean, Le System des objets, Denoel-Gonthier, Paris, 1968.

(2) Banyak buku ditulis mengenai Soekarno, tetapi karya Bernard Dahm adalah salah satu yang utuh melihat tokoh ini secara kultural dan meletakkan dalam sejarah Ratu Adil, sehingga dengan sendirinya muncul kesimpulan sifat sinkretik dari gagasan Soekarno. Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3ES, 1987, Jakarta, p. XIV. Dan Onghokham yang memberi pengantar dalam edisi Indonesia juga sudah mempersoalkan cara pandang kultural Dahm. Tulisan utama yang menjadi acuan pemikiran saya adalah buah pena Bung Karno tahun 1926 yang dimuat di Suluh Indonesia Muda, berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, dimuat dalam bagian pertama buku Di Bawah Bendera Revolusi, 1965, Jakarta, pp.1-23

(3) Teori withering away the state adalah doktrin resmi marxisme ortodoks, yang kemudian banyak menemukan rumusan baru dalam tahun 70-an, di Eropa. Naskah klasik untuk negara instrumental itu, lihat Lenin, N, The State and Revolution, 1917, Petrograd.

(4) Salah satu buku untuk masyarakat sipil, lihat Hefner, RW, Democratic Civility, New Jersey, 1998. Dan kaitan dengan krisis komunisme yang melanda Eropa Timur lihat Drach. Marcel Le Crise dans les pays de L'est, Editions de la Decouverte,1984, Paris.

(5) Optimisme palsu dan hiperbolik tentang Indonesia dan Asia bisa dilihat dalam buku Naisbitt, John, Megatrends Asia, Simons and Schuster, New York, 1996, setahun sebelum krisis menyapu negara kita.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/ziar64.htm
soekarno file di kompas

No comments: