Wednesday, October 24, 2007

Bung Karno, Seni, dan Saya

Bung Karno, Seni, dan Saya
Daoed Joesoef


Dok Kompas

SEWAKTU ber-SMA di Yogyakarta selama periode revolusi fisik, saya menggabungkan diri pada organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM) dan dipilih menjadi ketuanya di saat organisasi itu mula-mula didirikan pada tahun 1946. Organisasi ini berpusat di Solo, dengan S Soedjojono sebagai Ketua Umum SIM, dan mempunyai dua cabang, di Yogya dan Madiun. Anggota SIM cabang Yogya tidak banyak jumlahnya, namun terdiri dari para pelukis senior yang sudah "jadi", yaitu Affandy, Hendra, Roesli, Soedarso, Dullah, Hariadi, dan beberapa pelukis muda "harapan", seperti Troeboes, Zaini, Nasyah Djamin, Nazhar, Soeharto, dan Tino Sidin.Sanggar SIM di Alun-alun Lor sering dikunjungi oleh tamu-tamu negara dari negara asing, atas anjuran Bung Karno, dan ada kalanya SIM diminta membawa koleksi lukisan anggota-anggotanya ke Istana Negara untuk dipamerkan oleh Presiden kepada para tamu.

Pada suatu pagi, tiba-tiba datang utusan dari Bung Karno yang meminta SIM segera membawa karya-karya yang bermutu ke Istana. Saya memang tinggal sendirian di sanggar dan kebetulan belum berangkat ke sekolah. Mengingat waktu yang disediakan hanya dua jam, tidak ada kesempatan bagi saya untuk mengabarkan hal ini kepada para anggota senior yang tinggal bertebaran jauh dari sanggar. Maka saya sendirilah-seorang diri-yang akhirnya membawa lukisan-lukisan dengan andong ke Istana Negara di Jalan Malioboro.

Tidak lama setelah lukisan siap dipajang di serambi depan Istana, dari ruang dalam keluar ketiga Bung Besar, yakni Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Rupanya mereka ingin melihat lebih dahulu lukisan-lukisan yang ada sebelum membanggakannya nanti di muka para tamu. Bung Karno menanyakan kepada saya-dengan nada kebapakan-apakah tidak keberatan kalau mereka berbahasa Belanda. Saya katakan sama sekali tidak, karena saya mengerti bahasa tersebut.

Sebelum Jepang datang, saya sudah sempat duduk di kelas satu MULO. "Wel, in dat geval mag ik u dan verzoeken, meneer de voorzitter, om mee te praten met ons?!", kata Bung Karno dengan nada kepresidenan, namun dengan sikap bercanda. "Met genoegen, meneer de president," jawab saya, "en dank u zeer."

Lalu sambil berkeliling menatap lukisan satu per satu, yang untuk sebagian besar bercorak ekspresionistis dan impresionistis, Bung Karno dan Bung Sjahrir bertukar pikiran mengenai apresiasi masing-masing. Dalam berdiskusi mereka saling "bertutoyer" saja-kelihatan intim sekali-namun saya tetap membahasakan mereka dengan sebutan "u". Walaupun umur saya jauh lebih muda dan bicara Belanda saya tentu tidak selancar mereka, saya tidak merasa mereka remehkan. Mereka mendengarkan dengan saksama uraian dan ulasan saya, termasuk tentang pendapat mereka, dan tidak memotong pembicaraan sebelum saya selesai berbicara.

Dari perdebatan seni itu saya berkesimpulan bahwa Bung Karno lebih merupakan seorang "pencinta seni" (kunst liefhebber). Bagi dia seni lukis, atau seni rupa pada umumnya, adalah identik dengan keindahan visual. Maka itu tidak mengherankan kalau dia menggandrungi lukisan-lukisan wanita cantik dari Basoeki Abdoellah. Wanita dengan kecantikan wajah dan kemolekan tubuhnya adalah by nature simbol dari keindahan par excellence. Inilah idee fixe yang kiranya menentukan pula sikap dan perlakuannya terhadap wanita. Baginya, tarikan atau jalannya kuas yang ekspresif tidak begitu penting untuk diperhatikan apalagi diperhitungkan. Kalaupun dia "tertarik" pada lukisan Affandy yang serba impresionistis dan karya Soedjojono yang begitu ekspresif, saya pikir-menurut kesan saya-karena dia telah mengenal baik kepribadian dan kemanusiaan kedua seniman tersebut dan naluri humanitasnya-bukan penalaran seninya-mengakui ketinggian mutu seni karya-karya mereka.

Bung Sjahrir, sebaliknya, mengesankan benar-benar seorang "pengenal seni" (kunstkenner) dan sangat mengetahui sejarah perkembangan seni rupa modern. Saya sendiri sebelumnya tidak menduga bahwa pengetahuan umumnya tentang seni sedalam dan seluas itu. Mungkin sekali selama studi di negeri Belanda dahulu dia telah melihat sendiri lukisan-lukisan modern yang asli di berbagai museum Eropa. Dia ternyata seorang intelektual hasil tempaan nalar akademis Eropa Barat yang berpembawaan luas. Dia dan Bung Karno lama memperdebatkan "konsep" seni mengingat "keindahan visual" tidak selalu disepakati sebagai "de standaard" mutu seni. Akhirnya kedua Bung Besar menantang jawaban saya yang, menurut Bung Karno, memegang leiderschap SIM cabang Yogyakarta, Ibu Kota Republik Indonesia, "membawahi" beberapa pelukis senior yang dia kenal baik.

Saya katakan bahwa "keindahan" bukan berupa "harga mati" yang terpatri di mata atau kertas uang, bisa dipindahkan dari satu tangan ke tangan lain dengan nilai yang sama tetap. Tidak ada seorang pun yang berani mengatakan bahwa apa yang diperlukan bagi kreasi suatu seni yang baik adalah sebuah konsep yang baik mengenai seni. Namun, saya bisa mengatakan bahwa suatu konsep seni yang tidak memadai dapat menghambat-bahkan merusak-jalannya kreativitas. Di kalangan para seniman sendiri mungkin ada yang tidak tertarik secara khusus pada teori estetika dan di antara mereka yang mungkin relatif lemah dalam teori tersebut, atau bahkan tidak mempedulikannya sama sekali, tentu ada yang mungkin mampu mengombinasikan bakat kreasi artistik dengan flair untuk estetika. Kelihatannya bila pikiran tidak bisa menjelaskan, naluri punya alasan-alasannya sendiri. Maka bila otak manusia belum mampu mengatur, biarkanlah kodrat alam membimbing sewajarnya. Dalam berkarya perlu bagi seniman tetap memupuk individualitas, eigen persoonlijkheid, dalam artian tidak ikut-ikutan dan bisa menjelaskan sendiri mengapa karyanya dianggap baik dan waardig genceg untuk dipamerkan.

Selama perdebatan seni ini Bung Hatta diam saja. Sikapnya bagai "guru" yang sedang mengawasi "murid-muridnya" sedang bertengkar. Dia ikut mendengarkan dengan serius, menatap muka setiap pembicara dan sesekali tersenyum lembut. Saya berkeringat dingin bukan karena berdebat dengan Bung Karno dan Bung Sjahrir, tetapi karena tahu sedang diawasi terus-menerus oleh Bung Hatta. Saya tidak yakin kalau tokoh yang saya kagumi ini tidak tertarik pada seni. Betapa tidak. Saya ingin benar ketika masih remaja di zaman Belanda dahulu saya pernah menghadiri malam deklamasi di gedung organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) di Medan. Ketika itu para anggota senior dari JIB membacakan berbagai soneta, sajak, dan syair dari beberapa pujangga "Pulau Masa Depan", yaitu Muhammad Jamin, Sanusi dan Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Tengku Amir Hamzah, dan ... Mohammad Hatta.

Cobalah perhatikan tanda tangan negarawan kita yang satu ini. Ia benar-benar merupakan ekspresi dari suatu jiwa seni. Sebagai tanda tangan ia bukan sembarang ungkapan jati diri, tetapi merupakan pula suatu gubahan kaligrafis yang bermutu, suatu persenyawaan yang sungguh artistik dari dua jenis huruf, yaitu Latin dan Arab.

***

SATU kejadian lain lagi, masih di Yogyakarta, menambah kenangan pribadi saya dengan Bung Karno, humanis dan pencinta seni. Saya diajak oleh pelukis Affandy menemui Bung Karno di Istana Negara. Dia ingin menjual lukisannya kepada Bung Presiden karena istrinya sakit berat dan perlu uang untuk obat serta dokter. Walaupun kunjungan ini mendadak dan tanpa membuat janji lebih dahulu, Bung Karno, toh, bersedia menerima Sang Pelukis dengan ramah. Mereka berbicara dengan akrab dalam bahasa Belanda. Setelah mendengar maksud kedatangan Affandy, Bung Karno lama termenung dan diam saja. Akhirnya dengan suara bernada rendah dia berkata: "Mas, terus terang sekarang ini saya tidak punya uang. Tapi, terimalah pulpen saya ini. Nama saya ada diukir di situ. Barangkali saja bisa dijual dan pakai uangnya untuk biaya pengobatan yang diperlukan."

Pak Affandy menolak pemberian pulpen itu sambil berkata dengan lirih, "Bung, terima kasih. Saya butuh uang, bukan pulpen. Saya juga tidak tahu di mana bisa menjualnya. Lagi pula jangan-jangan saya nanti dituduh mencuri." Mendengar ucapan Affandy yang terakhir itu Bung Karno tertawa terbahak-bahak. Tanpa disadari, Pak Affandy dan saya ikut pula tertawa sejadinya. Lalu Bung Karno bangkit dari duduknya, berdiri dan menepuk bahu Pak Affandy. "Tunggu sebentar Mas Affandy", katanya, "saya akan menemui Bu Fat di dalam." Tidak lama kemudian, Bung Karno keluar, lalu memilih sebuah lukisan yang ditawarkan, dan memberikan sebuah amplop kepada Sang Pelukis. "Terimalah ini, saya pinjam dulu dari Bu Fat, diambil dari uang belanja sehari-hari", katanya. "Jumlahnya memang tidak seberapa. Kekurangannya akan saya angsur bulan depan. Sudah saya perintahkan kepada dokter kepresidenan supaya memeriksa Bu Affandy di rumah. Tolong tinggalkan alamat rumah kepada ajudan sebelum pulang."

Setelah mengucapkan terima kasih kami berdua segera meninggalkan Bung Karno dengan membawa sisa lukisan yang tidak dibeli. Di tengah jalan saya katakan kepada Pak Affandy betapa mahal harga pulpen Bung Karno itu di kemudian hari, lebih-lebih kelak bila revolusi Indonesia telah selesai dan berhasil. "Ah, dik", jawab Sang Maestro, "bila harus menunggu selama itu tanpa uang buat beli obat, istri saya sudah keburu mati." Saya pikir-pikir, betul juga ungkapan polos Pak Affandy ini.

Mengingat betapa pentingnya karya seni sebagai wahana untuk menaikkan citra bangsa, berdasarkan pengalaman berpameran di Istana selama ini, saya pikir ia bisa juga dipakai sebagai wahana diplomasi untuk menembus blokade Belanda. Kira-kira sama dengan diplomasi beras dengan India dari Sutan Sjahrir. Saya lalu menulis surat kepada Presiden Soekarno. Di situ saya usulkan supaya pemerintah mengirim Pak Affandy berpameran di luar negeri agar Indonesia dikenal luas di kalangan internasional dan dengan demikian menguak tabir kebohongan Belanda yang selalu mengecilkan martabat bangsa kita.

Saya pilih Pak Affandy, karena pelukis kita yang satu ini sudah memiliki koleksi yang cukup untuk berpameran tunggal. Dia betul-betul kreatif, siang dan malam terus berkarya. Kalau sedang melukis seperti orang kesurupan dan mutu lukisannya pantas dibanggakan. Pada Pak Affandy bisa saja dititipkan karya pelukis-pelukis lainnya, dan kalau keuangan negara memungkinkan diikutsertakan pula satu atau dua pelukis
senior.

Perbuatan saya ini disalahkan oleh Ketua Umum SIM karena dianggap melampaui wewenang Ketua Cabang SIM tanpa berkonsultasi lebih dahulu dengan pengurus pusat. Saya dipanggil ke Solo dan diadili di dalam rapat yang dihadiri oleh pelukis-pelukis senior dan yunior yang ada di pusat. Setelah Ketua Umum SIM menjatuhkan vonisnya yang menyatakan saya bersalah, saya bangkit dan mendatangi mejanya. Saya gebrak meja itu dan berkata keras, "Persetan!". Saya segera keluar dari ruang rapat dan langsung pulang ke Yogyakarta.

***

DI tahun 1960-an Bung Karno membiarkan-kalaupun bukan membenarkan-penghancuran Gedung Proklamasi, rumah kediamannya dahulu, yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur. Bersamaan dengan itu diruntuhkan pula sebuah tugu kecil sederhana di halaman gedung yang biasa disebut Tugu Proklamasi. Ketika itu ada yang mengkritik penghancuran tersebut, dan saya kira per-buatan destruktif ini memang merupakan satu blunder yang sangat tercela.

Apa pun alasan penghancuran ini, Bung Karno telah melenyapkan satu saksi penting dari sejarah bangsa, padahal di Yogya dahulu dia sering mengatakan kepada pemuda-pelajar betapa pentingnya orang mempelajari sejarah. Maka, sebagai tanda protes, ketika proses penghancuran gedung bersejarah itu sedang dilaksanakan, saya kirim sebuah lukisan cat air kepada Bung Karno. Lukisan ini berukuran 15 x 20 cm dan di situ saya gambarkan Bung Karno berhadap-hadapan dengan saya. Lukisan saya beri judul "Soekarno sainganku". Saya kirim per pos dan sebagai pengirim saya sebut: Daoed Joesoef, ex-voor-zitter van SIM Yogyakarta.

Pernah terpikir oleh saya apakah perbuatan Bung Karno ini bukan suatu gerak refleks spontan dari seorang seniman. Bukankah seorang seniman biasa menghancurkan karyanya-lukisan, patung, partitur musik-bila dia kesal atau tidak puas dan orang lain tidak berhak melarangnya karena yang dihancurkannya itu adalah miliknya sendiri. Hal seperti ini memang sering terjadi dalam sejarah.

Namun, yang dihancurkan oleh Bung Karno itu bukan sekadar bangunan rumah miliknya sendiri. Yang dilenyapkannya bersama-sama dengan kehancuran rumah dan tugu di Pegangsaan Timur itu adalah sebuah bukti otentik dari suatu sejarah kolektif, sejarah perjuangan nasional, walaupun memang diakui betapa besar peranannya dalam kejadian bersejarah yang pantas dibanggakan itu.

Di awal tahun 1950-an, halaman Gedung Proklamasi sering menjadi tempat berkumpul para pemuda yang dahulu turut aktif dalam perjuangan revolusi fisik di daerah-daerah. Halaman ini cukup luas, teduh, dan di senja hari cukup nyaman sebagai ajang pertemuan. Pertemuan itu sendiri terjadi secara spontan, tanpa rencana apa dan oleh siapa pun sebelumnya. Masing-masing datang atas keinginannya sendiri, termasuk saya, dan lalu terjalinlah perkenalan yang akrab. Dengan membentuk lingkaran di atas rumput, setiap orang duduk menceritakan pengalaman masing-masing, anekdot suka duka berjuang dalam kesatuan Tentara Pelajar (TP), Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), atau pasukan perjuangan kedaerahan lainnya. Pernah satu kali saya gelar di muka mereka semua sketsa perjuangan yang saya buat di tempat kejadian selama di Sumatera dan di berbagai front Jawa Tengah sewaktu aksi polisional Belanda yang pertama.

Namun, lama-kelamaan, dari hari ke hari, cerita-cerita nostalgia ini berubah menjadi ungkapan kejengkelan dan ketidakpuasan tentang suasana politik dan tingkah laku para elite partai. Mereka asyik saling memaki dan menuduh, tetapi diam-diam sibuk memperebutkan aset yang berangsur-angsur ditinggal Belanda, berupa pabrik, perkebunan, rumah, dan harta benda lainnya. Yang paling menjengkelkan para peserta pertemuan di halaman rumah Pegangsaan Timur ini bukanlah keserakahan para Bapak itu saja, tetapi kenyataan bahwa para pemuda eks-pejuang sudah ikut memperebutkan harta karun. Idealisme mulai sirna dan masing-masing mulai menyalahgunakan surat-surat perjuangan masa lalu sebagai kunci masuk ke khazanah harta peninggalan Belanda, padahal dahulu baik TP maupun TRIP telah berikrar akan berjuang demi kemerdekaan tanpa pamrih pribadi.

Oleh karena jengkel dan muak melihat keadaan itu, beberapa orang pemuda mengumpulkan dokumen-dokumen perjuangan pribadi untuk dibakar sebagai bukti dari tekad tidak akan menggunakan partisipasi perjuangan masa lalu guna mendapatkan berbagai keistimewaan dan fasilitas. Dan pembakaran ini dilakukan dengan khidmat, pada suatu senja, di kaki tugu sederhana yang ada di halaman depan Gedung Proklamasi.

Saya pernah mendapat kesempatan melihat-lihat keadaan rumah bersejarah ini dari dalam. Tanpa saya minta, kesempatan ini ditawarkan oleh Bapak dan Ibu Moenar S Hamidjojo yang saya kenal sejak remaja di Medan. Suami-istri terpelajar ini adalah tokoh-tokoh pergerakan yang berkiprah di bidang pendidikan, kepanduan, dan pembinaan semangat kebangsaan di kalangan remaja. Di awal tahun 50-an ini, Pak Moenar rupanya ditarik oleh Pemerintah Pusat ke Jawa dan sementara menunggu penempatannya di jajaran pemerintahan daerah Jawa Tengah, dia dan istrinya diizinkan tinggal di Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur sekaligus menjaga keamanannya.

Saya kadang-kadang mampir menjenguk mereka di siang hari kalau ada kuliah malam hari di Salemba. Mungkin karena melihat saya lelah sekali, pada suatu hari yang cukup terik, mereka menawarkan saya istirahat sejenak di ruang tengah. Tikar yang mereka berikan saya gelar di lantai. Sebelum tertidur saya bayangkan kesibukan, ketegangan, kecemasan, dan harapan yang dialami oleh orang-orang di rumah ini menjelang pembacaan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kira-kira sebulan setelah saya dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1978, saya diundang untuk memberikan pidato dalam rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei, bertempat di Gedung Pola yang dahulu dibangun Bung Karno di atas puing reruntuhan Gedung Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur. Keengganan berpidato di tempat itu saya katakan terus terang kepada panitia perayaan. Mereka jelaskan bahwa yang diundang cukup banyak: tokoh-tokoh dari generasi pergerakan di zaman Belanda, zaman Jepang, zaman revolusi fisik dan pemuda, mahasiswa, pelajar, pramuka serta pimpinan dari berbagai organisasi sosial, termasuk tiga orang mantan Menteri P dan K, dua di antaranya asal Aceh. Maka satu-satunya tempat yang mampu menampung orang sebanyak itu dengan ongkos sewa yang relatif murah adalah Gedung Pola yang berdiri di atas lahan Gedung Proklamasi dahulu.

Sesudah berpidato, saya tidak segera pulang. Saya jalani perlahan-lahan halaman gedung, di mana terdapat patung Bung Karno dan Bung Hatta, sambil mencoba membayangkan semua yang telah terjadi di sini, termasuk apa-apa yang pernah saya lakukan sendiri. Beberapa orang dari panitia penyelenggara peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanpa diminta mengiringi saya berkeliling. Salah seorang di antaranya memberanikan diri untuk menanyakan mengapa saya dahulu sangat menyesali penghancuran Gedung Proklamasi. "Karena saya pernah makan dan tidur di situ", jawab saya singkat.

*Daoed Joesoef Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan mantan Ketua Dewan Direktur Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/bung78.htm
soekarno file di kompas

No comments: