Wednesday, October 24, 2007

Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal

Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal
In Nugroho Budisantoso


ANDAI Soekarno dan Hatta tidak berpisah sebagai Dwitunggal, barangkali jalan sejarah Indonesia akan berbeda. Boleh saja kita berandai-andai seperti itu, tetapi yang terjadi pada sejarah adalah bahwa pada waktu itu, 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden, dan dengan demikian Dwitunggal bercerai. Pengunduran diri Hatta dalam situasi bangsa yang masih belum menentu pasca-Pemilihan Umum 1955 ini mengundang banyak pertanyaan. Sebab, dalam situasi seperti itu justru dibutuhkan seorang Hatta yang dikenal sangat jernih, tegas, dan tanpa kompromi dalam mengurus pemerintahan. Apa yang membuat Hatta tidak pernah datang kembali dengan Soekarno sebagai Dwitunggal?Hatta sepertinya meninggalkan tanggung jawab untuk ikut memikirkan bangsa dan negara yang sedang kacau. Hatta justru seakan memilih tidak berbuat apa-apa di luar arena. Dan memang selepas perceraian Dwitunggal itu, Hatta seakan menghilang dari hiruk-pikuk politik. Suaranya hampir-hampir bahkan tidak terdengar; juga pada saat peristiwa besar terjadi pada 1965 yang melibatkan sejumlah tentara dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Benarkah Hatta meninggalkan tanggung jawab? Padahal, semua tahu bahwa dalam rentang waktu yang panjang sejak tahun 1920-an, dalam kegusaran dan kegelisahan akan situasi bangsa dan negerinya, seperti halnya Soekarno, Hatta dengan gigih ingin memberikan jalan keluar bagi bangsa dan negerinya. Kondisi konkret rakyat Indonesia yang sengsara di bawah penjajahan menjadi tatapan mata Soekarno dan Hatta.

Keduanya berpikiran, pada rakyat yang terbelenggu itu harus dibuka kedok-kedok yang menutup kesadaran bahwa mereka sengsara karena ditindas dan dijajah. Maka, tidak mengherankan kalau keduanya berbuat sesuatu agar kepada rakyat disuntikkan kesadaran untuk bisa melihat sejelas-jelasnya siapa dirinya sendiri, di mana posisinya sekarang ini, dan ke mana langkah mesti diayun. Bahkan, demi rakyat, mereka berdua tidak memperhitungkan lagi konsekuensi-konsekuensi fisik dari kampanye-kampanye penyadaran yang dijalankan. Penjara dan tanah pengasingan tidak berarti apa-apa dibanding mutiara yang bersinar dalam hati dan budi rakyat yang sadar akan kemerdekaan hidup yang mesti direbut.

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa dalam diri Soekarno dan Hatta bangkit perasaan mendalam akan tanggung jawab terhadap kehidupan. Perasaan ini akan terusik terus-menerus kalau di dalam lapangan kehidupan selalu dijumpai segala bentuk ketimpangan. Ketimpangan-ketimpangan itu pada dasarnya mengisyaratkan adanya gerak dunia yang lupa akan tanggung jawab, lupa akan kehidupan yang semestinyalah dipelihara baik-baik. Disadari bahwa dibutuhkan usaha terus-menerus untuk mengembalikan gerak dunia agar ingat akan tanggung jawab terhadap kehidupan. Dan, sepertinya Hatta memilih mundur dan berpisah dari Dwitunggal untuk tujuan itu. Hatta mengambil posisi untuk memberi ingat kepada Soekarno yang dipandangnya sudah berjalan dalam gerak lupa akan tanggung jawab. Hatta memberi ingat, dan selalu memberi ingat meskipun lebih sering tidak didengarkan. Hatta kemudian memang hanya tampak seperti orang yang berseru-seru di padang gurun.

Ketika bersepakat menjadi Dwitunggal

Perpisahan Dwitunggal itu belum terbayang saat Soekarno dan Hatta rujuk ketika Jepang menguasai Indonesia, sekalipun orang tahu bahwa antara mereka berdua ada perbedaan prinsip dan pilihan tindakan. Dengan disaksikan Sjahrir, Soekarno dan Hatta bersepakat mengakhiri pertentangan panjang pada tahun 1930-an mengenai jalan yang harus dilakukan dalam rangka mencapai Indonesia merdeka. Sebagaimana diketahui, Soekarno memilih jalan aksi massa, di mana ia sendiri datang ke tengah-tengah massa, dan membangkitkan kesadaran di sana. Sebab, bagi Soekarno politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending-pembentukan kekuatan dan pemakaian kekuatan dari massa rakyat yang bersatu.

Sedangkan Hatta mengambil jalan kaderisasi. Sebab, katanya, janganlah rakyat terlalu tergantung pada satu pemimpin. Ketergantungan ini hanya menyebabkan pergerakan pupus di tengah jalan sewaktu si pemimpin ditangkap. Menurut dia, "Pergerakan kita tak boleh tinggal pergerakan pemimpin, yang hidup dan mati dengan pemimpin itu. Akan tetapi pergerakan kita harus menjadi 'pergerakan pahlawan-pahlawan yang tak punya nama', artinya pergerakan rakyat sendiri, yang tidak tergantung kepada nasibnya pemimpin."

Kecuali itu di antara keduanya juga berkembang perselisihan mengenai sikap nonkooperasi yang harus dijalankan. Soekarno yang mempunyai latar belakang pendidikan di Bandung, berpandangan bahwa sikap nonkooperasi ditunjukkan dengan menolak segala sesuatu yang berbau penjajah, termasuk Tweede Kamer. Sedangkan Hatta yang mengenyam pendidikan di Belanda berpendapat bahwa sikap nonkooperasi harus ditunjukkan dalam sikap perlawanan terus-menerus kepada penjajah sungguh pun duduk di Tweede Kamer.

Namun, ketika Jepang menduduki Indonesia, dirasakan oleh Soekarno dan Hatta bahwa suatu tugas yang jauh lebih besar berada di depan mata, dan itu tidak dapat dilakukan seorang perseorangan. Sembari keduanya berjabat tangan erat, Soekarno waktu itu berkata kepada Hatta, "Inilah janji kita sebagai Dwitunggal. Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja berdampingan dan tidak akan berpecah hingga negeri ini mencapai kemerdekaan sepenuhnya." Karena keduanya dikenal publik, maka perjuangan secara publik yang mereka tempuh, sedangkan Sjahrir yang menyaksikan jabat tangan itu mengambil jalan perjuangan bawah tanah. Menurut Soekarno, pembicaraan antara mereka bertiga waktu itu amatlah singkat. Namun, sering kali di kemudian hari, konsepsi mengenai Dwitunggal kelihatan seperti sudah dipersiapkan dan dikerjakan dengan perhitungan yang saksama.

Berbeda dengan Sjahrir yang berjuang di bawah tanah, strategi perjuangan secara publik dari Soekarno dan Hatta jelas sek??????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????
?????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????
untuk menjadi pihak perunding dengan Belanda. Dan, berbeda dengan Soekarno, Sjahrir sering dikatakan tidak mempunyai prasangka terhadap orang-orang Belanda. Pendidikan di Barat mengonstruksikan dalam dirinya bentuk demokrasi yang semestinya dijalankan, yang tentu saja berbeda dengan konstruksi demokrasi Soekarno.

Mengenai kekuasaan presiden itu, Hatta mengungkapkan bahwa sejak keluarnya Maklumat Wakil Presiden No X pada pertengahan Oktober 1945, KNIP mempunyai hak legislatif. Sebelumnya, menurut UUD 1945 pada aturan peralihan, segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional. Hatta menambahkan bahwa mulai saat itu, "secara berangsur-angsur kekuasaan yang lain akan diberikan kepada badan yang berhak berdasarkan trias politika."

Pertentangan pandangan akan peran Hatta dalam pemerintahan pun sejak pertengahan 1950 muncul secara menonjol. Waktu itu, RIS bubar menjadi negara kesatuan RI. Dari satu pihak ada yang mengharapkan, terutama dari golongan Masyumi, Hatta merangkap jabatan wakil presiden dan perdana menteri, sedangkan dari pihak lain, yaitu PNI dan PSI, mengharapkan Hatta menjabat salah satu saja. Dalam waktu-waktu kemudian, mengenai ini, Hatta pernah berujar bahwa Sjafruddin Prawiranegara, salah seorang pemimpin Masyumi, mengusulkan agar Hatta menjabat sebagai wakil presiden saja. Hanya saja, kalau kondisi bangsa sulit, Hatta kembali merangkap sebagai perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Usulan Sjafruddin ini terkenal dengan sebutan escape clause. Usulan ini tidak disetujui kubu PNI dan PSI, dan perdebatan terus berlangsung. Akhirnya, Hatta menyerahkan kepada mereka putusan apa saja yang akan diterimanya dengan lapang dada. Kemudian, Presiden Soekarno, sebagai kepala negara, menunjuk Mohamad Natsir sebagai formatur kabinet. Presiden dan wakil presiden dalam pemerintahan Kabinet Natsir dan sesudahnya tampak hanya berperan sebagai penasihat saja.

Dwitunggal Soekarno-Hatta sepertinya kemudian tinggal menjadi simbol pemimpin bangsa yang tidak mempunyai gigi dalam pemerintahan. Soekarno memang masih duduk sebagai kepala negara, namun Hatta? Menyaksikan situasi politik sekacau apa pun, Hatta tidak mempunyai wewenang untuk menjalankan sesuatu tindakan secara konstitusional, kecuali membantu tugas-tugas Soekarno. Dalam situasi seperti itu apa yang harus dibuat? Sebuah artikel dalam harian Fikiran Rakjat tertanggal 9 Oktober 1954 memuat komentar seperti ini, "Sejauh yang kita lihat dan dengar, Hatta bisa mengendalikan dirinya dan tetap berada di dalam batas-batas konstitusional; dengan kata lain, ia tidak mencampuri urusan eksekutif. Tetapi sejauh yang kita ketahui, merupakan siksaan bagi Soekarno untuk tetap berada di dalam batas-batas konstitusional dan tidak campur tangan dalam eksekutif".

Hubungan Dwitunggal semakin renggang

Masa-masa Dwitunggal sebagai simbol itu sering dilukiskan Hatta sebagai masa di mana dirinya dan Soekarno mulai berselisih faham. Kondisi ini ada kaitannya dengan kedekatan baru Soekarno dengan PKI yang sangat memusuhi Hatta. Dikatakan oleh Hatta di kemudian hari bahwa "sejak kita meninggalkan UUD 1945 berganti dengan UUD 1950, arti dan kedudukan Dwitunggal mulai berubah dan makin berkurang. Hal itu digunakan sebaik-baiknya oleh PKI dalam taktik dan perjuangan politiknya, sehingga proses merosotnya daya ikat dan kegunaan Dwitunggal itu makin cepat dan bahkan antara kami berdua sering timbul berbagai salah pengertian. Akibatnya tercermin pula dalam berbagai urusan kenegaraan yang kalau dulu diatasi dengan kewibawaan dan kenegarawanan yang terletak dalam lembaga Dwitunggal itu, lama-lama menjadi masalah-masalah yang tidak teratasi, atau diatasi dengan cara-cara yang menimbulkan keretakan-keretakan baru yang makin berlarut-larut."

Perselisihan faham antara Soekarno dan Hatta sebenarnya mulai bersemi sejak 1949 di mana di bawah Konstitusi RIS Hatta sebagai perdana menteri mempunyai kedudukan kepemimpinan yang lebih kuat dibandingkan Soekarno. Namun demikian, seperti dipaparkan oleh Mavis Rose, Soekarno memang mempunyai pesona terutama di kalangan orang-orang Jawa sehingga memungkinkan dirinya untuk menyarankan kembali adanya negara kesatuan. Sebab, negara Indonesia Serikat dengan federalismenya dalam pandangan Soekarno mengundang regionalisme yang dapat memecah persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, meskipun secara publik Dwitunggal kelihatan sebagai kombinasi kepemimpinan yang sangat sesuai dan melengkapi satu dengan yang lain, sebenarnya terjadi tarik-menarik gagasan mengenai bagaimana mengatur bangsa dan negara. Pada titik ini, keduanya seperti ingin sungguh mewujudkan tanggung jawabnya kepada rakyat. Hingga, rakyat harus sampai pada perasaan bahwa mereka memerintah diri sendiri sebagai bangsa yang merdeka dalam negara yang dibentuknya sendiri.

Mengenai bentuk negara kesatuan itu, Hatta sebaliknya mengungkapkan bahwa gagasan negara kesatuan tidak selalu berarti mencegah separatisme. Sebab, justru "suatu sistem federal dalam kenyataan sesuai dengan kepulauan yang terpencar-pencar dan bisa diperkirakan akan memperkuat rasa persatuan". Dalam pikiran Hatta, semakin terdesentralisasi suatu sistem pemerintahan semakin rakyat dapat mengusahakan menyelesaikan persoalannya sendiri, tanpa harus tergantung elite penguasa. Di sini Hatta seperti mengingatkan kembali akan pentingnya kaderisasi dan pendidikan yang menghasilkan suatu organisasi yang tidak tergantung pada satu pemimpin. Mengenai federalisme, sebenarnya Hatta sudah menjadi penganjur paling depan mengenai Indonesia sebagai negara federal sebelum Perhimpunan Indonesia mulai membicarakan bentuk negara yang merdeka.

Lalu, apa sebenarnya konsepsi "persatuan" dari keduanya? Dengan memperhatikan gagasan Soekarno mengenai politik machtsvorming dan machtsaanwending, orang mempersepsikan persatuan seperti ada kaitannya dengan massa yang bergerak. Bahkan, Soekarno pernah mengatakan bahwa "massa bukanlah cuma rakyat jelata yang berjuta-juta saja, massa adalah rakyat jelata yang sudah terluluh mempunyai semangat satu, kemauan satu, roh dan nyawa satu. Massa adalah berarti deeg, jeladren, luluhan. Ia dus bukan gundukan rakyat jelata saja yang berlain-lainan semangat dan kemauan".

Kecuali itu, pada diri Soekarno juga selalu melekat gagasan persatuan nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom) di mana ketiganya menurut Dahm saling bertentangan. Ketiganya menjadi satu ketika mendapatkan musuh bersama kolonialisme dan imperialisme Barat. Pendekatan yang dipakai Soekarno ini sangat khas bersifat sinkretisme Jawa. Bahkan, menurut catatan Onghokham, dalam merumuskan Pancasila pun, Soekarno memeras kelima sila menjadi tiga, yang kemudian menjadi satu sila saja, yaitu "gotong royong". Soekarno sungguh menekankan abstraksi dalam melihat persatuan. Bagaimanapun abstraksi mengandung potensi untuk meniadakan keunikan, dan hak-hak individu rakyat dapat dikesampingkan.

Adapun menurut Hatta, persatuan harus dimengerti sebagai "satu bangsa Indonesia yang tidak dapat dibagi-dibagi. Di dalam pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik. Dan tiap-tiap aliran paham haruslah mendapat kesempatan bergerak, untuk membuat propaganda bagi asas sendiri, dan tidak mesti dicekek dengan kata wasiat 'persatuan'". Sebab, bagi Hatta, "kepahaman rakyat dan kepahaman borjuis atau ningrat tidak dapat disatukan. Persatuan segala golongan ini sama artinya dengan mengorbankan asas masing-masing". Hatta di sini menekankan pluralitas.

Sementara hubungan antara Soekarno dan Hatta semakin renggang, terjadi konflik mendalam di antara partai-partai. Bahkan, mereka cakar-cakaran. Krisis dalam pemerintahan tidak dapat dihindarkan. Hasil Pemilu 1955 diharapkan dapat mengatasi krisis. Namun, ternyata tidak ada pemenang mutlak. Situasi krisis tidak menunjukkan perubahan. Dalam situasi seperti itu, Soekarno menunjukkan akan membangun suatu penyelesaian dengan menggalang kekuatan dari rakyat Jawa, PNI, PKI, NU, Partai Murba, dan juga dengan menggandeng kepala staf Angkatan Darat yang berpengaruh, Nasution. Soekarno pada Oktober 1956 bahkan pernah berpidato mengajak untuk mengubur semua partai. Dan, kemudian memperkenalkan satu sistem demokrasi baru, yaitu Demokrasi Terpimpin. Dalam diri Soekarno seperti ada kegusaran terus mengenai konsepsi persatuan yang diidam-idamkannya sejak awal. Sepertinya, pada Demokrasi Terpimpin, Soekarno melihat celah yang mengarah ke terjadinya konsepsi persatuan nasionalnya.

Hatta, dalam situasi seperti itu menurut UUDS semestinya bertugas membantu Soekarno. Namun, hati Hatta tidak kuasa menahan kecewa. Sebab, dengan mendukung Soekarno berarti mengebiri demokrasi multipartai dan parlementer yang merupakan unsur pokok dari kedaulatan rakyat yang sudah sejak awal diperjuangkannya. Demokrasi parlementer memang sedang terganggu, tetapi untuk menegakkan demokrasi bukan dengan mematikannya. Menjelang mundur dari Dwitunggal, yaitu saat berpidato di Universitas Gadjah Mada, Hatta menyerukan bahwa sejak 1950 pemerintahan dijalankan dalam demokrasi parlementer yang tanpa demokrasi dan tanpa parlemen sehingga yang terjadi anarki politik. Kekuasaan sesungguhnya tidak berada di dalam pemerintahan, tetapi dalam dewan partai yang tidak bertanggung jawab.

Hatta mundur

Hatta mundur dari Dwitunggal pada 1 Desember 1956. Dikatakannya bahwa meskipun ia meninggalkan jabatan wakil presiden, tetapi rakyat sekali-kali tidak pernah ditinggalkannya. Hatta sepertinya yakin bahwa posisi "oposisi" akan lebih membantu dalam rangka memperbaiki kondisi carut-marut negerinya daripada mandul sebagai wakil presiden. Hatta melihat bahwa perselisihan didalam pemerintahan telah melupakan wajah-wajah pucat dan tubuh-tubuh kering dari rakyat Indonesia yang miskin dan kekurangan pangan. Ia memberi ingat akan tujuan semula kemerdekaan yang harus segera diwujudkan, yaitu perbaikan kondisi kesejahteraan rakyat. Kecuali itu, dilihatnya bahwa kebijakan perekonomian pusat tidak menguntungkan daerah-daerah luar Jawa. Dalam mata Hatta, pemberontakan regional dapat muncul sebagai suatu "letusan kekecewaan" dan suatu "konflik kejiwaan antara pusat dan daerah".

Setelah berpisah, hubungannya dengan Soekarno tetap dijalin dengan surat-menyurat. Dalam surat-suratnya itu, Hatta kerap bersuara keras menentang kebijakan Soekarno yang sudah menjauh dari mewujudkan kedaulatan rakyat. Namun, peringatan-peringatan Hatta sering kurang diperhatikan Soekarno. Ia terus menggulirkan konsepsi Demokrasi Terpimpin dengan didukung orang-orang di sekelilingnya. Kecuali itu Hatta juga bersuara di surat kabar. Namun, begitu surat kabar yang memuat tulisan Hatta diberangus, kemudian tidak ada yang berani memuat gagasan-gagasan Hatta. Hatta menyayangkan tindakan pemberangusan ini, sebab yang dirugikan pasti banyak pihak. Tindakan kekerasan terhadap buah-buah pikiran pada dasarnya merugikan diri sendiri. Pemberangusan yang memakan banyak korban itu yang antara lain memaksa Hatta untuk tidak bersuara lagi di surat kabar.

Dalam usaha menolong kondisi negeri yang krisis, Hatta mengungkapkan perlunya orang kembali mencermati kadar rasa tanggung jawab. Waktu itu, kehampaan tanggung jawab (emptiness of responsibility) begitu menggejala di mana-mana dalam pelbagai bentuknya. Kondisi rakyat tidak membangkitkan rasa perasaan apa pun dalam diri para pengambil ke-putusan. Maka, antara lain Hatta menganjurkan perubahan dalam sistem pemilihan umum yaitu dengan diadakannya sistem daerah pemilihan. Sebab, dengan begitu para wakil rakyat yang terpilih merasa bertanggung jawab langsung terhadap rakyat. Bukannya bertanggung jawab kepada partai yang telah menempatkannya sebagai wakil rakyat. Kecuali itu, dalam perspektif tanggung jawab pemimpin kepada rakyatnya yang harus dibangkitkan lagi, Hatta menulis Demokrasi Kita dalam kerangka debat konsepsi demokrasi dengan Soekarno bersama Demokrasi Terpimpin-nya yang pada dasarnya otoriter.

Tidak dapat disangkal bahwa pada diri Soekarno dan Hatta terdapat kegelisahan besar untuk membangun dan menyusun bangsa dan negaranya. Namun, memang harus diakui bahwa perbedaan pandangan di antara keduanya terus mengikuti kegelisahan itu. Yang menarik, persahabatan di antara mereka tidak retak sekalipun ada perbedaan-perbedaan pandangan. Hatta pun sebenarnya masih didukung sebagai pemimpin oleh kalangan-kalangan tertentu, terutama dukungan dari rakyat Sumatera. Namun, Hatta tetap teguh menjalani jalan sunyinya di luar gebyar panggung politik. Maka, ia pun tidak menggalang dan mengerahkan massa untuk mendukung butir-butir gagasannya.

Hatta memang tidak pernah datang kembali sebagai Dwitunggal bersama Soekarno. Tetapi, kekayaan pengalamannya dalam memperjuangkan rakyat ketika bertentangan dengan Soekarno maupun ketika duduk bersama dalam Dwitunggal tidak pernah hilang. Ia telah menghabiskan hidupnya dengan studi, debat, di penjara, dan diasingkan. Ia pun sebagai Dwitunggal berada di bawah bayang-bayang Soekarno. Ia lebih banyak diam merenung di dalam hati, tetapi berpikir bening dan jitu dalam strategi. Ia mengerti kapan harus tampil, dan kapan turun panggung tanpa harus melukai persatuan yang sudah dibangun bersama teman-temannya sejak Perhimpunan Indonesia berdiri. Ia mengerti bagaimana menjalin hubungan persahabatan dengan Soekarno meskipun nasihat-nasihatnya sering tidak didengar. Ia mengerti kapan keras menghardik dan kapan lembut menegur. Ia rela meninggalkan segala-galanya, termasuk jabatan, kalau hati nuraninya terganggu. Memang, sungguh butuh berlimpah hal untuk mengubah dunia, seperti kata Bertolt Brecht (1898-1956), penyair Jerman, dalam Einverstaendnis,

"it takes a lot of things to change the world:

Anger and tenacity. Science and indignation,

The quick initiative, the long reflection,

The cold patience and the infinite perseverance,

The understanding of the particular case and the understanding of the enseble:

Only the lessons of reality can teach us to transform reality".

* In Nugroho Budisantoso Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/hatt62.htm
soekarno file di kompas

No comments: