Wednesday, October 24, 2007

Di Seberang Jembatan Emas

Di Seberang Jembatan Emas
Franz Magnis-Suseno SJ


WAKTU Soekarno, Bung Karno, menulis brosurnya Mencapai Indonesia Merdeka, 1933 (saya memakai terbitan Yayasan Pendidikan Soekarno/Yayasan Idayu, Jakarta 1982), pergerakan nasional di Indonesia kelihatan hang. Sesudah pemberontakan komunis 1926/1927 dan krisis ekonomi dunia 1928, pemerintah kolonial dengan sangat represif menindas kaum nasionalis Indonesia. Sedangkan kaum nasionalis sendiri tidak bersatu tentang bagaimana perjuangan kebangsaan mereka harus diteruskan. Dalam situasi ini, Bung Karno menyerukan bahwa "di timur matahari mulai bercahaya, fajar mulai menyingsing". Kalau kaum Marhaen percaya akan cita-cita mereka, mereka, begitu Bung Karno, tidak dapat dikalahkan.Banyak pembaca sudah mencatat sesuatu yang dalam tulisan ini mau sedikit ditelusuri: Betapa Bung Karno dalam brosur ini terpengaruhi oleh pemikiran Lenin tentang revolusi sosialis. Berikut ini saya akan menunjukkan keterpengaruhan itu, lalu mempertanyakan sejauh mana Bung Karno dapat dikatakan menganut leninisme untuk, akhirnya, menarik beberapa kesimpulan.

1. Mengalahkan kapitalisme dan imperialisme

Yang langsung menarik perhatian: Tujuan perjuangan kemerdekaan menurut Bung Karno bukan kemerdekaan itu sendiri, melainkan pembebasan dari "kapitalisme dan imperialisme". Kalau "imperialisme" jelas karena tak terpisah dari kolonialisme. Tetapi bahwa Bung Karno begitu saja, dalam tradisi wacana marxis murni, menganggap masa pascakolonial sebagai pascakapitalis, bagi banyak dari kita terasa asing. Tujuh puluh tahun sesudah Bung Karno kita semua sudah tahu bahwa sosialisme dalam arti penggantian mekanisme pasar dengan perekonomian berdasarkan perencanaan sentral negara sudah gagal, kita menyaksikan kejayaan masyarakat konsumis pasca-Perang Dunia II yang justru berdasarkan ekonomi pasar, kita barangkali sudah membaca Third Way-nya Anthony Giddens yang-seperti banyak ilmuwan lain-menganggap dikotomi "sosialisme lawan kapitalisme" sebagai jauh ketinggalan (third way itu bukan jalan ketiga di antara sosialisme dan kapitalisme, melainkan antara bentuk-bentuk perekonomian pascadikotomi itu!).

Akan tetapi, di tahun 1920-an dan 1930-an, abad ke-20 situasi masih lain. Komunisme dan sosialisme radikal baru saja muncul di panggung dunia. Negara-negara demokratis di Eropa dengan perekonomian "kapitalis" mengalami kesulitan besar (dan akan dilanda oleh fasisme). Dalam situasi itu tidak mengherankan bahwa para nasionalis Indonesia dengan sendirinya menolak kapitalisme yang memang jelas mendorong perkembangan kolonialisme ke imperialisme sejak permulaan abad ke-19. Penolakan itu tidak khas Bung Karno saja. Hatta, HOS Tjokroaminoto, dan banyak tokoh lain sama saja menolak kapitalisme.

2. Ajaran Lenin tentang revolusi sosialis

Namun, ciri "leninis" brosur Mencapai Indonesia Merdeka bukan hanya karena penolakan terhadap kapitalisme itu. Sebagaimana mau saya perlihatkan, seluruh strategi perjuangan untuk merebut kemerdekaan yang diajukan Bung Karno mengikuti, kadang-kadang secara harfiah, apa yang ditulis Lenin antara lain dalam dua buku yang paling termashyur, What is to be Done? (1903) dan The State and Revolution (1917).

Demi perbandingan, mari kita lihat garis besar teori revolusi sosialis Wladimir I Lenin sebagaimana dimuat dalam dua buku itu. Lenin mengembangkan pandangannya berhadapan dua faham yang ditolaknya dengan tajam: ekonomisme dan anarkisme (sindikalis). Pandangan ekonomisme mengatakan bahwa revolusi sosialis tidak perlu diusahakan. Kapitalisme akan- karena dinamikanya sendiri-semakin runtuh dan dengan demikian menciptakan situasi yang matang untuk revolusi.

Melawan pandangan itu Lenin menegaskan bahwa revolusi sosialis hanya terlaksana apabila proletariat mau melaksanakannya. Tak akan ada revolusi tanpa kesadaran sosialis-revolusioner. Akan tetapi, kesadaran sosialis tidak dapat timbul dengan sendirinya. Proletariat dengan sendirinya hanya akan mencapai sebuah kesadaran "serikat buruh" (trade unionalist), artinya, berdasarkan pengalaman langsung perjuangan di tempat kerja mereka selalu hanya akan menuntut upah lebih tinggi dan kondisi-kondisi kerja lebih baik.

Kesadaran sosialis yang sungguh-sungguh, karena itu, harus dimasukkan dari luar ke dalam proletariat. Hal itu juga jelas karena sosialisme merupakan sebuah teori ilmiah yang hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang terlatih secara intelektual, tetapi tidak oleh kaum buruh yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Memasukkan kesadaran revolusioner ke dalam proletariat adalah tugas partai. Inti leninisme adalah ajaran tentang peran kunci partai. Partai harus merupakan partai pelopor yang terdiri atas kaum revolusioner profesional purnawaktu. Partai itu harus memimpin proletariat. Partai sendiri diatur menurut asas sentralisme demokratis: Demokratis, karena para pemimpin dipilih dalam musyawarah partai itu, sentralistik karena sesudah pimpinan dipilih, pimpinan harus ditaati dengan mutlak dan partai dipimpin secara sentralistik dan hierarkis dari atas.

Apakah revolusi memang perlu? Ada aliran dalam marxisme yang berpendapat bahwa sosialisme dapat diciptakan tanpa revolusi. Untuk itu, cukup kalau proletariat memakai mekanisme demokrasi. Bukankah proletariat akan merupakan mayoritas masyarakat? Kalau begitu, proletariat melalui pemilihan umum dapat mencapai mayoritas dan mengadakan sosialisme melalui undang-undang. Lenin menolak garis pikiran ini. Baginya demokrasi hanyalah tipuan borjuasi yang kalau proletariat membatasi diri padanya, akan mematikan semangat revolusioner proletariat. Dalam kerja sama dengan borjuasi sosialisme tidak mungkin tercapai.

Lawan kedua Lenin adalah kaum anarko-sindikalis. Mereka menuntut agar sesudah revolusi negara dengan segala aparatnya dihapus. Tetapi bagi Lenin anggapan ini naif. Meskipun sesudah revolusi kekuasaan politik dipegang oleh proletariat, namun semua struktur kekuasaan masih sama dengan masa kekuasaan borjuasi. Oleh karena itu, perlu proletariat mengadakan kediktatoran dulu untuk menghancurkan borjuasi dan kapitalisme. Maka, untuk mewujudkan sosialisme sebagai tujuan terakhir, proletariat harus memantapkan dulu monopoli kekuasaan dalam tangannya. Dan karena lawan sementara ini hanya kalah secara politik, serta proletariat masih minoritas terhadap kelas-kelas sekutu, kaum tani dan borjuasi kecil, maka bukan demokrasi, melainkan kediktatoran proletariat yang perlu dibikin.

3. Massa aksi dan partai pelopor

Mari kita sekarang melihat pandangan Bung Karno tentang perjuangan demi Indonesia Merdeka. Yang sangat mencolok dalam tulisan yang berjudul Mencapai Indonesia Merdeka adalah bahwa hal merdeka- yang tentu saja tidak pernah hilang dari fokus Bung Karno: "syarat yang pertama ialah: kita harus merdeka" (41)-seakan-akan terdesak oleh sebuah keprihatinan lebih jauh, yaitu penolakan terhadap kapitalisme dan imperialisme. Bung Karno sangat khawatir jangan sampai sesudah Indonesia merdeka, Indonesia jatuh ke tangan "kaum ningrat dan kaum kapitalis". Kemerdekaan bukan tujuan atau nilai pada dirinya sendiri, melainkan "jembatan". "Kita harus merdeka agar supaya kita bisa leluasa bercancut tali wanda menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme" (41). Tujuan perjuangan kaum marhaen adalah "suatu masyarakat yang adil dan sempurna," jadi "yang tidak ada tindasan dan hisapan," dan oleh karena itu "tidak ada kapitalisme dan imperialisme"(41). Seperti telah saya sebutkan di atas, penolakan kapitalisme dan imperialisme bukan khas Bung Karno, melainkan menjadi pandangan seluruh tokoh nasionalis waktu itu, namun menunjukkan pengaruh perspektif Leninis.

Karena itu, kaum Marhaen tidak cukup asal berjuang. Mereka harus berjuang dengan kesadaran yang tepat. Mengikuti bahasa Lenin, Bung Karno menegaskan bahwa yang perlu adalah kesadaran yang radikal. Radikal bagi Bung Karno berarti sadar akan adanya dua golongan dalam masyarakat yang berlawanan. Bung Karno tidak memakai bahasa "pertentangan kelas", tentu karena faham "Marhaen" justru mau menegaskan bahwa analisa kelas marxis tidak cocok dengan kenyataan sosial di Indonesia. Namun, ia menegaskan bahwa kaum Marhaen harus selalu sadar bahwa ada yang "sana" dan yang "sini", ada "golongan 'atas'" dan "golongan 'bawah'" dan bahwa antara dua-duanya hanya bisa ada pertentangan. "Sana dan sini tidak bisa diakurkan, sana dan sini tidak bisa dipungkiri atau ditipiskan antitesenya, sana dan sini akan selamanya bertabrak-tabrakan satu sama lain" (47) karena "inilah yang oleh kaum marxis disebutkan dialektiknya sesuatu keadaan" (ib.).

Seperti Lenin menolak kemungkinan untuk mencapai sosialisme secara damai, begitupun Bung Karno menuntut sikap nonkooperasi. Nonkooperasi bukan hanya dengan pemerintahan kolonial, tetapi juga dalam arti "tidak mau duduk di dalam dewan-dewan kaum pertuanan" (49). Oleh karena itu, seperti Lenin membedakan antara kesadaran "serikat buruh" dan "kesadaran sosialis revolusioner", Bung Karno membedakan "massa aksi" yang radikal dari massale actie yang hanya kelihatan radikal (62). Dalam yang terakhir "kaum lunak" sekadar membatasi diri pada "rapat-rapat umum". Begitu misalnya Sarekat Islam "dulu tidak bisa membangkitkan massa aksi karena ia tidak berdiri di atas pendirian yang radikal". Artinya, ia tidak mempunyai perspektif "sana-sini", perspektif Marhaen lawan kaum ningrat dan kaum kapitalis (63). "Massa aksi" harus "100 persen radikal: perlawanan sonder damai, kemarhaenan, melenyapkan cara susunan masyarakat sekarang, mencapai cara susunan masyarakat baru" (ib.).

Namun, lagi-lagi mengikuti Lenin, Bung Karno menegaskan bahwa "kesadaran kemarhaenan" akan terlalu lama kalau ditunggu berkembang dengan sendirinya. Harus ada satu partai Marhaen yang berjalan di depan. Seperti perjuangan proletariat harus dipimpin oleh partai pelopor, begitu perjuangan kaum Marhaen harus dipimpin oleh sebuah "partai pelopor". "Partai yang memegang obor, partailah yang berjalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau-ranjau itu sehingga menjadi jalan terang" (37). Partai itu "memimpin massa", "memegang komando", "harus memberi ke-bewust-an pada pergerakan massa", "memberi keradikalan". Adalah tugas partai untuk "menjelmakan massa yang tadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi suatu pergerakan massa yang bewust dan radikal, yakni massa aksi yang insaf akan jalan dan maksud-maksudnya" (37). "Partai yang dengan gagah berani pandai memimpin dan membangkitkan bewuste massa aksi" "kemenangan sudah bisa datang" (38). Maka, partai harus "memberi pendidikan dan keinsafan pada massa buat apa ia berjuang, dan bagaimana ia harus berjuang" (67). Partai harus menjaga dan menyalakan "radikalisme" yang tidak melupakan tujuan akhir dalam massa.

Namun, justru karena itu perlu ada partai yang terus-menerus mengingatkan tujuan perjuangan yang sebenarnya. Partai perlu menjaga agar rakyat jangan sampai karena "tertarik oleh manisnya hasil-hasil kecil itu lantas lupa akan maksud besar", yaitu mencapai "puncak gunung Indonesia Merdeka" (69). Secara lebih konkret, yang harus dilakukan oleh partai pelopor itu adalah mengadakan "propaganda di mana-mana, kursus di mana-mana, perlawanan di mana-mana, anak-anak organsiasi, vakbond-vakbond, sarekat-sarekat tani, majalah-majalah dan pamflet-pamflet" (72).

Partai sendiri, mengikuti Lenin, harus waswas terhadap dua macam lawan, yaitu reformisme dan "anarcho-syndicalisme" (65). "Tiap-tiap anggota partai yang nyeleweng ke arah reformisme harus ditendang dari kalangan partai zonder pardon dan zonder ampun" (64; ungkapan "tanpa maaf dan tanpa ampun" hampir di setiap halaman The State and Revolution diulangi Lenin).

Kalau pada Lenin kaum reformasi adalah kaum sosial demokrat Internasionale II yang mengharapkan bahwa sosialisme dapat diwujudkan secara demokratis, maka bagi Bung Karno kaum reformis adalah kaum "kooperasi", mereka yang mau mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dalam bekerja sama dengan pemerintahan Belanda. Mengharapkan kemerdekaan dari kerja sama dengan kaum kolonialis adalah percuma. Mereka hanya akan melepaskan kekuasaan kalau dipaksa. Bung Karno mengutip Karl Marx: "Tak pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan ridanya kemauan sendiri" (55). Maka, tak mungkin ada kemerdekaan yang tidak diperjuangkan oleh rakyat dalam "massa aksi".

Faham "anarcho-syndikalisme" langsung diambil alih dari Lenin. Lenin menolak tuntutan mereka agar sesudah revolusi sosialis negara dengan segala aparatnya dihapus. Sesudah revolusi kekuatan negara perlu dipegang oleh proletariat untuk menghancurkan para musuh proletariat. Yang dimaksud Bung Karno dengan anarcho-syndikalisme adalah "penyelewengan ke arah amuk-amukan zonder pikiran, penyelewengan ke arah perbuatan-perbuatan atau pikiran-pikiran cap mata gelap" (65). Melawan penyelewengan itu partai pelopor harus menegakkan "disiplin": "Disiplin, disiplin yang kerasnya sebagai baja, disiplin yang zonder ampun dan zonder pardon menghukum tiap-tiap anggota yang berani melanggarnya, adalah salah satu nyawa dari partai pelopor itu!" Di dalam partai pelopor Marhaen tidak boleh ada demokrasi. Sebagai prinsip kepemimpinan dalam partai Bung Karno mengambil "democratisch centralisme"-nya Lenin. "Partai di dalam kalbu sendiri tidak boleh berdemokrasi dalam makna segala 'isme' boleh leluasa" (64). Dan ia mengutip "seorang pemimpin besar": "Di dalam partai tak boleh ada kemerdekaan pikiran yang semau-maunya saja; kokohnya persatuan partai itu adalah terletak di dalam persatuan keyakinan" (65).

Lalu apa yang harus dilakukan menurut Bung Karno, apabila Kemerdekaan sudah tercapai? Bung Karno menegaskan bahwa perjuangan dengan perolehan kemerdekaan belum selesai. Harus dipastikan bahwa kaum Marhaen dan bukan kaum ningrat dan kaum kapitalis yang memegang kekuasaan. Kemerdekaan harus dilihat sebagai "hanyalah sebuah jembatan, sekalipun suatu jembatan emas!" (76). Harus disadari bahwa "di seberang jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke dunia keselamatan Marhaen, satu ke dunia Kesengsaraan Marhaen; satu ke dunia Sama Rata Sama Rasa, satu ke dunia sama Ratap sama Tangis" (ib.). "Kereta Kemenangan" di atas jembatan itu jangan "dikusiri oleh lain orang selainnya Marhaen" (ib.). Jadi, harus dipastikan bahwa kaum Marhaen, dan bukan kaum ningrat dan kaum kapitalis mengambil alih kekuasaan.

Oleh karena itu, Bung Karno menolak demokrasi politik sebagai tujuan revolusi. Untuk memastikan bahwa kaum Marhaen, dan bukan pihak lain, "menggenggam kekuasaan pemerintahan" (46) demokrasi tidak memadai. Mengikuti kritik Lenin terhadap demokrasi, Bung Karno menunjuk pada Revolusi Perancis di mana rakyat jelata "akhirnya ternyata hanya diperkuda belaka oleh kaum borjuis yang bergembar-gembor 'demokrasi'" (77). Karena kekayaan dan penguasaan media komunikasi, kaum borjuasi akan menjadi penguasa yang sebenarnya. Menurut Bung Karno "negeri-negeri sopan", Amerika Serikat, Belgia, Denmark, Swedia, Swiss, dan Jerman dikuasai oleh kapitalisme, dan karena itu di semua negara itu "rakyat jelata tidak selamat, bahkan sengsara kelewat sengsara" (79). Dan ia mengutip seorang Caillaux bahwa "kini Eropa dan Amerika ada di bawah kekuasaan feodalisme baru" (81). Maka, yang harus tercapai bukanlah demokrasi, melainkan "kekuasaan 100 persen pada rakyat", bukan hanya kekuasaan politik, melainkan kekuasaan ekonomis (bdk 82).

Istilah untuk apa yang diidam-idamkan Bung Karno adalah "sosio-demokrasi" dan "sosio-nasionalisme" (83). Ia tidak menguraikan secara konkret operasional apa yang dimaksud dengan dua istilah itu. Memang, "tidak boleh ada satu perusahaan lagi yang secara kapitalistis menggemukkan kantong seseorang borjuis ataupun menggemukkan kantong burgerlijke staat" (82). Tetapi, kata "sosialisme" atau "sosialisasi hak milik produktif" tidak kita temukan. Selain bahwa "penyakit individualisme" harus disembuhkan dengan "benih 'gotong royong'" sehingga terwujud "'manusia baru' yang merasa dirinya 'manusia masyarakat' yang selamanya mementingkan keselamatan umum" serta petunjuk pada "koperasi-koperasi yang radikal, vakbond-vakbond dan srikat-srikat tani radikal" tidak ada petunjuk lagi.

4. Soekarno dan Leninisme

Dari uraian di atas kelihatan betapa Bung Karno terpengaruh oleh pemikiran Lenin. Apakah penghapusan kapitalisme sebagai tujuan revolusi, perlunya kesadaran radikal dalam kaum Marhaen, perlunya perspektif "sana" dan "sini", perlu adanya partai pelopor, penolakan terhadap cara damai atau kooperatif untuk mencapai kemerdekaan, perang terhadap reformisme dan "anarcho-syndicalisme", penegasan bahwa sesudah kemerdekaan tercapai, perjuangan belum selesai karena harus dipastikan bahwa kaum Marhaen dan bukan kaum ningrat dan kaum kapitalis yang memegang kekuasaan, serta bahwa untuk itu demokrasi tidak cocok, semua itu mengikuti garis pikiran Lenin.

Jadi, Bung Karno seorang leninis? Itulah pertanyaan yang sekarang perlu diajukan. Saya bertolak dari perbedaan yang langsung mencolok. Bung Karno bukan hanya tidak bicara tentang proletariat, melainkan juga tidak tentang kelas-kelas. Bung Karno bicara tentang "kaum Marhaen". Di sini tidak perlu diceriterakan kembali bagaimana Bung Karno sampai ke nama itu. Yang mau dikatakannya dengan memakai istilah itu jelas: Bahwa pemisahan keras dan terinci antara pelbagai kelas yang khas bagi marxisme tidak sesuai dengan kenyataan di Indonesia. Di Indonesia yang mencolok adalah pertentangan antara "orang kecil" dan "kaum atas", dan "orang kecil" bukan kata dari perbendaharaan marxisme. Apakah perbedaan ini relevan? Jawaban hanya dapat berbunyi: Perbedaan ini bersifat prinsipiil dan berarti bahwa Bung Karno-berbeda dari persepsinya sendiri-bukan seorang Marxis sama sekali. Bagi Karl Marx justru tidak semua "kelas bawah" di segala zaman bersifat revolusioner. Agar sebuah kelas dapat diharapkan menumbangkan kapitalisme (tujuan yang juga diiyakan oleh Bung Karno), situasi khas kelas itu dalam proses produksi harus kondusif ke perkembangan kesadaran kelas revolusioner itu. "Orang kecil" bagi analisa Marxis terlalu kabur, tidak dapat dipakai.

Dilihat dari perbedaan perspektif sangat mendalam ini, perbedaan-perbedaan "kecil" lainnya antara bahasa Lenin dan bahasa Bung Karno justru relevan. Pertama, partai pelopor Bung Karno tidak memiliki ciri-ciri partai pelopor Lenin. Kedua, tidak ada syarat-syarat keanggotaan, syarat bahwa anggota harus kaum revolusioner profesional purnawaktu dan sebaiknya diambil dari kaum intelektual. Tidak ada faham ajaran revolusioner ilmiah yang karena itu tidak dapat diketahui oleh proletariat yang kurang berpendidikan, dan karena itu harus dimasukkan dari luar ke dalamnya oleh partai. Bung Karno, lebih dekat dengan Marx daripada Lenin, melihat fungsi partai membuat sadar apa yang sudah dimiliki massa Marhaen secara tak sadar. "Kesadaran" pada Bung Karno lain daripada kesadaran revolusioner pada Lenin karena yang terakhir dimaksud sebagai kepercayaan pada sebuah teori dan pandangan dunia, yaitu Materialisme, Dialektis, dan Historis.

Ketiga, tak ada sama sekali pada Bung Karno padanan terhadap kediktatoran proletariat yang dalam kenyataan, tetapi juga menurut ucapan Lenin, dilaksanakan sebagai kediktatoran partai komunis di atas proletariat. Tak ada tanda bahwa Bung Karno sesudah revolusi politik mengharapkan penghancuran total terhadap struktur kepemilikan dalam masyarakat sebagaimana menjadi program Lenin. Wacana "sosio-demokrasi" dan "sosio-nasionalisme" hanya diisi dengan menunjuk pada "koperasi radikal", serikat buruh dan serikat tani "radikal" tanpa menjelaskan apa itu "radikal", unsur-unsur mana semua, barangkali yang "radikal" itu juga terdapat dalam negara-negara "kapitalis" di Barat. Bung Karno bukan seorang revolusioner sosial.

Maka, retorika leninis Bung Karno jangan menipu kita. Di sini tidak bicara seorang leninis, melainkan seorang yang mencita-citakan pembebasan rakyatnya dari penindasan kolonialisme dan keterpurukan di bawah kaum feodal tradisional serta kapitalisme baru. Bahasa keras Lenin yang tidak pernah main-main melainkan merupakan cetak biru prinsip-prinsip yang akan dilaksanakan begitu ia memegang kekuasaan, dipakai Bung Karno bukan karena ia seorang Leninis, melainkan karena menyediakan kamus ungkapan-ungkapan bersemangat yang sangat cocok untuk menjadi wahana romantika revolusi yang mempesona.

5. Akhirul kata

Tidak ada tanda apa pun bahwa Bung Karno sendiri menganggap diri sebagai seorang le-ninis. Jauh lebih masuk akal bahwa Bung Karno-sama seperti rekan-rekan nasionalisnya lain-melihat kepada Revolusi Oktober dengan simpati, bukan karena menyetujuinya, melainkan karena di sini ada bangsa besar yang membebaskan diri dari kapitalisme. Berbeda dengan anggapan Bung Karno sendiri, marhaenisme-yang dalam pandangan saya jauh lebih realistik daripada analisa kelas Marx yang tidak pernah peka terhadap apa yang sebenarnya menggerakkan orang-bukan sebuah marxisme.

Namun, kecenderungan untuk seakan-akan lebur dalam romantika bahasa program revolusi Lenin yang sedikit pun tidak romantik, menunjuk juga pada kelemahan Bung Karno yang akan menjadi faktor dalam kejatuhannya. Bahwa pergerakan nasional Indonesia ditentukan oleh tiga alam makna, yaitu nasionalisme, Islam, dan marxisme, pasti betul. Namun, waktu Bung Karno 35 tahun kemudian melontarkan triade itu sebagai nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom), Bung Karno masuk ke dalam sebuah perangkap daripadanya ia tidak lepas lagi. Romantikanya membuatnya tidak percaya bahwa omongan "progresif-revolusioner" kaum komunis Indonesia, wacana keras revolusioner mereka, bukan romantika hiperbolis sebagaimana ia sendiri memahaminya dalam "Mencapai Indonesia Merdeka", melainkan sebuah program keras dan realistik untuk merebut kekuasaan, bukan demi "kaum Marhaen" Indonesia, melainkan demi kekuasaan komunis sedunia.

Bung Karno jatuh cinta dengan kata revolusi, tetapi tidak memahami implikasi kata itu, yaitu bahwa struktur pemilikan masyarakat yang ada harus dihancurkan dan bahwa penghancuran itu, sebagaimana disadari sepenuhnya oleh Lenin, hanya dapat melalui kediktatoran partai yang tidak takut memakai senjata teror. Maka, ia tidak siap dalam hati untuk melepaskan kaum komunis yang andaikata secara dini dilarang, barangkali dapat luput dari pembunuhan mengerikan yang akhirnya menimpa apa pun yang berbau komunis.

Dan masih satu hal. Lain daripada Hatta-yang juga mengkritik bahwa demokrasi Barat tidak sampai ke bidang ekonomi-Soekarno tidak mengembangkan sikap hati yang positif terhadap demokrasi (Barat!). Begitu saja ia termakan oleh hasutan anti demokrasi Lenin-dengan tidak memperhatikan bahwa mayoritas kaum sosialis sedunia 1918 memilih demokrasi daripada sosialisme yang berdasarkan teror (dan karena itu berpisah dengan Lenin). Ketertutupan hati Bung Karno terhadap demokrasi prosedural, tendensinya ke arah populisme, merupakan sebuah tragika ka-rena Bung Karno tentu akan bisa menjadi pendidik bangsanya ke arah demokrasi yang paling baik.

* Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan, menulis lebih dari 300 karangan dan 26 buku, terutama bidang etika, filsafat, dan pandangan dunia Jawa; sekarang Direktur Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/dise67.htm

soekarno file di kompas

No comments: