Wednesday, February 13, 2008

Sekali lagi soal BLBI & penjualan BCA

Sekali lagi soal BLBI & penjualan BCA


Oleh: Kwik Kian Gie


Istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) disalah pahami oleh hampir semua orang. Karena itu, saya akan menjelaskannya dengan urutan kejadian nyata.

Dana Moneter Internasional (IMF) menyuruh Pemerintah Indonesia menutup 16 bank begitu saja. Mereka yang menyimpan uang di 16 bank itu menghadapi pintu bank yang tertutup dengan pemberitahuan lisan: "Uang Anda hilang, karena salah Anda sendiri, mengapa memilih bank yang tidak sehat?"

Para pemilik uang di bank tersebut kemudian marah dan mengatakan: "Bagaimana kami mengetahui, karena laporan keuangan yang diiklankan masih sangat sehat!"

Amarah para deposan, penabung, dan giran itu belum reda, bank-bank lain yang tidak ditutup di-rush besar-besaran. Mereka mengatakan: "Bagaimana kami mengetahui bahwa bank kepercayaan kami sehat? Wong 16 bank yang ditutup mengiklankan diri sehat, kok!"

IMF lalu menginstruksikan pemerintah dan Bank Indonesia agar rush segera dihentikan dengan biaya berapa pun. Dalam hal Bank Central Asia (BCA), BI menghentikannya dengan tiga kali injeksi likuiditas, yaitu Rp8 triliun, Rp13,28 triliun, dan Rp10,71 triliun. Bank ini telah membayar kembali utang tersebut sebesar Rp8 triliun untuk pokoknya dan Rp8,3 triliun untuk bunga dengan tingkat suku bunga 70% setahun.

Sisanya, yang belum dibayar sebesar Rp23,99 triliun. Jumlah ini saja yang namanya utang BLBI BCA.

Atas perintah IMF, jumlah ini dijadikan penyertaan modal pemerintah. Maka BCA menjadi milik pemerintah sebesar 92,8%, sedangkan 7,2% saham dipunyai oleh Keluarga Salim. Dengan konversi yang berakibat kepemilikan berubah drastis, BLBI sudah dibayar oleh Keluarga Salim (Grup Salim). Jadi, BLBI tersebut sudah lunas.

Milik pemerintah

Utang tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan BLBI yang persoalannya saya jelaskan di atas. Ketika masih dimiliki sepenuhnya oleh Grup Salim, kelompok usaha ini mengambil kredit dari BCA sebesar Rp52,7 triliun. Karena 92,8% saham BCA sudah dikuasai pemerintah, pemerintah mempunyai piutang kepada Grup Salim.

IMF memerintahkan yang menilai BCA harus Bahana, Dana Reksa, dan Lehman Brothers. Sebanyak 108 perusahaan yang diserahkan Grup Salim kepada pemerintah dinilai Rp52,6 triliun, sehingga masih kurang Rp100 miliar. Jumlah ini dibayar tunai oleh Grup Salim.

Surat keterangan lunas

Karena dianggap lunas, kepada Grup Salim diberikan surat keterangan lunas (SKL) atau release and discharge (R&D). Presiden Megawati Soekarnoputri berani memberikan SKL karena dilandasi oleh UU No. 25/2000 tentang Propenas dan TAP MPR No. VIII/TAP/MPR/2000.

Apa masalah besar yang sekarang ditangani Kejaksaan Agung?

Setelah sebelumnya menggebu-gebu ikut menyetujui dan membela penyelesaian BLBI BCA, sekarang para pejabat itu marah, karena dampak ketidakadilannya yang luar biasa besarnya. Wong aset yang dinilai Rp52,7 triliun ketika dijual kok hanya laku sekitar Rp20 triliun, sehingga pemerintah dirugikan sekitar Rp32,7 triliun.

Lucunya, sebelum dijual Pricewaterhouse Coopers (PwC) ditugasi pemerintah menilainya kembali dengan term of reference (TOR) yang berbeda, sehingga asetnya sekitar Rp20 triliun. Angka ini toh yang dijadikan acuan aset untuk menjual dan akhirnya laku dengan harga tersebut (sekitar Rp20 triliun).

PwC ditugasi pemerintah dengan asumsi dan TOR yang intinya berbunyi: "Harus dijual dalam waktu antara delapan dan sepuluh minggu", dengan "transaksi penjualan dilakukan antara pembeli yang mau membeli tetapi ogah-ogahan, dan penjual yang mau menjual tapi ogah-ogahan" (willing but not anxious).

Begitu nilai PwC keluar, kecuali satu orang, seluruh anggota Kabinet Gotong Royong, KKSK, dan BPPN setuju dijual dengan nilai PwC. Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang saat itu didukung penuh oleh Menteri Keuangan Boediono dan Menneg BUMN Laksamana Sukardi, berujar dengan keras dan tegas bahwa negara manapun di dunia yang terkena krisis memang harus menanggung kerugian besar.

Kerugian tersebut biasanya sekitar 85% dari nilai aset yang dipakai untuk membayar, atau uang yang kembali rata-rata 15%. Ini yang disebut reco-very rate. Maka ada yang menganggap Grup Salim sebagai 'pahlawan', karena recovery rate-nya sekitar 34%.

Melawan IMF?

Bukankah IMF yang memerintahkan aset Grup Salim harus dijual tidak lebih lambat dari tanggal tertentu tanpa peduli berapa harga lakunya? Batas waktu itu diumumkan kepada dunia. Apa berani, wong kalau berani tidak patuh, Indonesia diancam diisolasi oleh masyarakat dunia?

Harga ini dibuka bersama-sama dengan semua penawar BCA. Kalau harga penawaran tertinggi lebih rendah dari harga minimum, penjualan dibatalkan, ditunggu enam bulan.

Setelah itu penjualan diulangi lagi dengan prosedur yang sama. IMF setuju.

Tetapi semua anggota Kabinet Gotong Royong (kecuali satu orang), termasuk Presiden dan Wapres Hamzah Haz ketika itu, setuju dengan penjualan model IMF yang obral tanpa harga minimum.

Setelah itu, Hubert Neiss, orang sangat penting dalam hubungan IMF dan Pemerintah Indonesia pensiun dari IMF. Neiss langsung menjadi penasihat Deutsche Bank di Singapura, dan disewa oleh Farralon sebagai pelobi untuk memenangkan pembelian 51% BCA dengan harga Rp5 triliun. Saat itu, BCA memiliki tagihan kepada pemerintah berupa Obligasi Rekap senilai Rp60 triliun.

Penjaja mangga

Penjualan BCA bisa diibaratkan sebagai penjaja mangga di pinggir jalan. Ada orang yang bernama Djadjang memasang papan bertuliskan: "Mangga ini harus terjual habis tidak lewat dari jam 17.00 tanpa peduli laku dengan harga berapa."

Penjaja mangga marah, papan tersebut dihancurkan dan Djadjang dipukuli.

Ketika menjual BCA, IMF memasang papan nama yang berbunyi "BCA harus dijual tidak lebih lambat dari tanggal tertentu tanpa peduli dengan harga berapa saja."

Apa yang terjadi? Neiss menjadi pelobi (yang dianggap tidak ada conflict of interest) dan para menteri Kabinet Gotong Royong memasang lampu sorot ke arah papan, dan papan pengumumannya dihiasi dengan huruf yang mencolok dan kontras.

Karuan saja BCA laku dengan harga hanya Rp5 triliun untuk 51% atau dinilai hanya sekitar Rp10 triliun untuk 100%. Dalam BCA ada tagihan kepada pemerintah sebesar Rp60 triliun, dan saat dijual bank itu memiliki laba ditahan sebesar Rp4 triliun.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Kwik Kian Gie
Mantan Menneg PPN/Kepala Bappenas

No comments: