Wednesday, February 13, 2008

Dua Dilema Aneh


ANALISA KWIK KIAN GIE

Dua Dilema Aneh



ENTAH disadari atau tidak, pemerintah sedang menghadapi dua masalah yang sangat pelik. Yang pertama tentang BBM dan kedua tentang debitur BLBI.

Karena pemerintah berpendirian bahwa harga BBM dalam negeri harus ditentukan oleh mekanisme pasar, kenaikan harga BBM terakhir dibuat sampai melebihi harga pasar di New York. Ketika itu harga minyak mentah 60 dolar AS l. Dengan patokan biaya lifting, pengilangan dan transportasi seluruhnya 10 dolar per barrel, dan dengan perkiraan 1 dolar AS sama dengan Rp 10 ribu, maka premium yang Rp 4.500 per liter ekivalen dengan 61,55 dolar AS per barrel.

Harga minyak mentah di pasar internasional sekarang sudah sekitar 70 dolar AS per barrel dan banyak ahli minyak meramalkan tidak akan turun sampai akhir tahun.

Lantas sikap pemerintah bagaimana? Prinsip bahwa mekanisme pasar harus menjadi panglima mestinya membuat pemerintah harus menaikkan harga BBM lagi. Beranikah? Kalau tidak berani, terus bagaimana?

Nampaknya tidak akan berani. Menarik konsekwensi dari menjadikan mekanisme pasar sebuah doktrin saja tidak berani. Dengan kenaikan harga BBM yang seperti itu, harga pokok listrik meningkat tajam, karena BBM bahan pokok penting buat pembangkit listrik. Kalau harga Tarif Dasar Listrik (TDL) tidak dinaikkan, PLN pasti rugi besar. Maka pemerintah langsung saja mengumumkan akan menaikkan TDL. Mengumumkannya dengan keyakinan yang luar biasa. Eh, baru mendengar berbagai ancaman akhirnya dibatalkan. Normalnya, pembatalan ini saja sudah menjadikan pemerintah stress. Tidak menaikkan TDL berarti mensubsidinya, sedangkan subsidi begitu diharamkannya sampai konstitusi ditabrak dalam hal menaikkan harga BBM.

Sekarang dikatakan terang-terangan bahwa TDL disubsidi. Lantas bagaimana dengan elpiji dan pupuk? “Subsidi” BBM dihapus karena dianggap haram. Subsidi TDL, pupuk dan elpiji OK?

Masalah besar kedua yang akan dihadapi pemerintah ialah kebijakannya tentang debitur BLBI yang dianggap koperatif sehingga diizinkan masuk ke Istana. Mereka dinilai koperatif. Karena itu tidak dicekal, bahkan kepadanya diberikan kelonggaran waktu dalam membayar utangnya sampai akhir tahun. Namun entah mengapa pemerintah merasa perlu membentuk Tim yang terdiri dari Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Kapolri dan Jaksa Agung untuk menentukan sikap yang final. Untuk itu sekarang sedang menunggu audit BPK. Ini saja sudah aneh.

Apa yang mau diaudit oleh BPK? Bukankah sudah disepakati angka final antara mereka dan BPPN? Tapi OK-lah. Bagaimana kalau hasil audit BPK menjadikan Tim menentukan jumlah utang yang lebih besar? Bolehkah mereka mengajukan keberatan atas keputusan Tim yang menentukan utangnya menjadi lebih besar dari yang telah disepakati sehingga mereka dianggap koperatif? Kalau boleh, apakah sambil berunding sudah dicekal, ataukah baru dicekal kalau sudah ada tanda-tanda mereka akan kabur? Kalau para debitur itu tidak mampu atau tidak mau membayar, mereka pasti akan menentukan waktu yang tepat untuk melarikan diri. Kapankah itu? Tidak ada yang tau. Para debitur itu sendiri pada saat ini baru dalam tahap terbengong-bengong.

Kalau nanti ternyata mereka tidak membayar, tidak dicekal dan tidak dihukum, ya jelas aneh. Kalau mereka akhirnya dihukum tetapi sudah terlanjur kabur bagaimana? Dan kalau akhirnya dihukum, lantas bagaimana dengan sikap yang memuja-muji dan mengizinkannya mengunjungi Istana? Memerintah memang sulit, atau dibikin sulit sendiri?
http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat2&id=78

No comments: