Wednesday, February 13, 2008

Nasionalisme dan ke-Indonesia-an

Nasionalisme dan ke-Indonesia-an


Oleh: Kwik Kian Gie


Pada 1 Juni 2006 banyak kelompok di Jakarta dan kota lainnya memperingati hari lahirnya Pancasila. Pancasila memang lahir di Indonesia yang dipidatokan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945. Sebelumnya, pada 20 Mei 2006 banyak pihak juga memperingati hari kebangkitan nasional.

Keduanya mempunyai ciri nasionalisme. Mengapa tahun ini hari kebangkitan nasional dan hari lahirnya Pancasila diperingati cukup marak oleh banyak pihak?

Dalam banyak seminar dapat dirasakan adanya rasa hampa setelah kita hidup di era reformasi delapan tahun lamanya. Salah satu kegalauan dan kegamangan yang mencuat dalam berbagai seminar ialah perasaan "dijajahnya" kembali bangsa Indonesia oleh kekuatan asing, diisapnya kekayaan alam bangsa ini oleh bangsa yang lebih besar dan lebih kuat dari kita melalui berbagai macam rekayasa keuangan dan trik-trik ekonomi, seperti mencengkeram Indonesia melalui jeratan utang.

Utang dipakai sebagai senjata untuk menciptakan ketergantungan. Ini kemudian dipakai oleh bangsa-bangsa tersebut untuk memaksakan kehendak mereka dalam mengisap kekayaan alam Indonesia.

Namun justru sekarang, tidak sedikit elit bangsa Indonesia yang merasa kata "nasionalisme" sebagai sesuatu yang jijik. Nasionalisme adalah paham yang sempit dan kuno. Nasionalisme sudah tidak sesuai dengan arus globalisasi yang tidak mengenal lagi batas-batas negara bangsa.

Perusahaan transnasional

Karena itu, dalam era globalisasi, bukan lagi negara bangsa atau nation yang penting. Negara bangsa masih ada sebagai warisan zaman dulu, yang fungsinya hanya menjaga keamanan dan ketertiban. Satuan-satuan yang menentukan kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia adalah perusahaan-perusahaan besar dan raksasa dengan cakupan internasional atau perusahaan transnasional.

Negara bangsa digantikan dengan korporasi yang mempunyai cabang di seluruh dunia. Tidak demikian dengan negara bangsa. Negara bangsa hanya diwakili oleh Kedutaan Besar yang tidak melakukan kegiatan produksi dan distribusi, dan karena itu tidak membentuk nilai tambah. Mereka justru merupakan cost centers yang sangat sedikit manfaatnya.

Maka peran chief executive officers (CEO) itulah yang menggantikan peran presiden negara bangsa. Kepala negara hanya simbol yang mewakili satuan-satuan dengan tugas menjaga keselamatan korporasi yang bekerja dalam wilayahnya.

Mari kita telusuri permasalahannya. Sepanjang sejarah, sejak zaman yang paling primitif, tidak ada manusia yang tidak hidup dalam kelompok. Kelompok yang paling primitif adalah suku-suku primitif.

Ketika itu sudah terjadi isap-mengisap dengan saling membunuh antarsuku yang disebut tribes war. Berbagai faktor yang pernah mengikat manusia dalam kelompok tertentu adalah kesamaan agama, kesamaan ideologi, dan akhirnya apa yang kita kenal dengan negara bangsa (nation states). Tetapi banyak pihak sekarang menganggapnya kuno.

Orang-orang yang masih mengumandangkan nasionalisme adalah mereka yang picik, yang jangkauan pandangan dan berpikirnya tidak sejauh panjang hidungnya. Mereka bagaikan katak dalam tempurung yang tidak mengerti bagaimana bekerjanya dunia dalam era globalisasi sekarang.

Nasionalisme jelas dipertentangkan dengan globalisme yang merupakan faham baru karena adanya arus globalisasi. Benarkah manusia bebas mutlak dalam memasuki negara-negara lain di seluruh dunia, bahkan berpindah tempat permukimannya?

Banyak negara memberlakukan prosedur yang sangat ketat dalam memperoleh visa bagi warga negara Indonesia untuk memasuki negaranya. Tidak sedikit negara yang menahan paspor kita dua minggu sebelum memberikan visa. Itupun setelah mengalami screening yang ketat.

Tetapi memang benar bahwa perlakuan Indonesia terhadap bangsa-bangsa lain tidak demikian. Prinsip resiprositas tidak mampu diberlakukan Indonesia. Banyak warga negara bangsa lain yang setiap saat dapat memasuki Indonesia dengan izin yang dinamakan visa on arrival.

Dalam kenyataannya, di zaman modern ini manusia masih tetap terikat dengan sangat kuat pada negara bangsanya. Ba-gian sangat kecil dari elit yang mobil karena mempunyai kegiatan usaha di negara lain.

Bagian yang lebih besar, yang berpendidikan tinggi sudah lebih terikat pada negara bangsanya. Mereka adalah dokter, advokat, notaris yang tidak mudah berpindah ke negara yang dikehendakinya.

Memperoleh izin menetap, apalagi kewarganegaraan negara lain sangat sulit. Belum lagi adanya perbedaan dalam ketentuan dan faktor kebudayaan yang membuat mereka lebih tidak mobil lagi. Jadi, walaupun berpendidikan tinggi, kelompok ini sudah sangat terikat pada wilayah negara bangsanya.

Bagian terbesar dari setiap bangsa ialah kaum buruh, tani, dan nelayan yang sangat terikat pada wilayah negara bangsanya.

Dengan demikian, kita mempunyai negara bangsa dengan bagian terbesar dari penduduknya yang sangat terikat pada wilayah negaranya. Setiap bangsa bagaikan keluarga besar yang hidup di tengah keluarga lainnya. Tidakkah wajar kalau bangsa itu membuat negara bangsanya senyaman mungkin, semakmur, dan sesejahtera mungkin tanpa merugikan bangsa lain?

Nasionalisme tiada lain adalah mencintai bangsa sendiri melebihi mencintai bangsa lain tanpa merugikan bangsa lain. Kalau satu keluarga hidup sangat rukun dan saling mencintai di antara anggota keluarganya, tidak berarti membenci te-tangganya.

Jangankan tetangga. Bukankah lumrah dan wajar kalau para anggota satu keluarga lebih mencintai sesama anggota keluarganya ketimbang anggota keluarga dari saudara kandungnya sendiri, asalkan tidak merugikan saudara kandungnya itu?

Dalam praktik kita juga saksikan bahwa elit bangsa yang melecehkan nasionalisme ternyata juga tidak dapat melepaskan dirinya dari wilayah negaranya. Banyak dari mereka yang sangat mengeluh tentang kondisi bangsanya yang sedang hidup dalam keterpurukan di segala bidang.

Tetapi mereka toh tetap bermukim di negaranya. Mereka tidak dapat keluar dari rumahnya, tidak mau memperbaiki rumah tangganya, tetapi terus-menerus menggerutu sambil menghina dan memaki-maki kondisi bangsanya.

Globalisasi vs nasionalisme

Sekarang tentang globalisasi yang dipertentangkan dengan nasionalisme. Adakah globalisasi seperti yang dibayangkan oleh orang-orang yang begitu keras membela apa yang dinamakan globalisasi?

Hakikat globalisasi ialah mekanisme pasar yang diberlakukan untuk seluruh dunia tanpa mengenal batas-batas negara. Kita semua mengetahui bahwa mekanisme pasar dalam bentuknya yang paling awal mengandung ekses-ekses yang sangat tidak manusiawi.

Itulah sebabnya dalam perkembangannya mekanisme pasar bertahan karena dibuat manusiawi dengan menciptakan kekuatan-kekuatan pengimbang atau pembatas dalam bentuk sistem perpajakan progresif yang mewujudkan redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan. Juga diciptakan pengaturan tentang persaingan ekonomi yang sehat, sistem asuransi jaminan sosial, undang-undang tentang pembelaan usaha kecil dan menengah, undang-undang tentang perlindungan perburuhan, dan masih banyak lagi.

Keseluruhan pembatasan, imbangan, dan koridor tersebut hanya bisa efektif kalau ada pemerintahan yang memaksakannya. Negara bangsa mempunyai pemerintahan yang efektif bagi bangsanya.

Tetapi adakah satu pemerintah yang berlaku bagi semua umat manusia di dunia? Jelas tidak ada.

Maka globalisasi adalah mekanisme pasar tanpa imbangan, tanpa pembatasan, dan tanpa koridor. Yang terjadi ialah ekses berupa diisapnya bangsa-bangsa yang lebih lemah oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat. Yang berlaku adalah survival of the fittest.

Karena itu, globalisasi hanya ada dalam khayalan. Apakah bangsa Amerika Seri-kat, Uni Eopa, Jepang, dan China tidak nasionalistis? Apakah kemajuan mereka tidak didorong oleh semangat yang tidak mau kalah dengan bangsa lain, yang didorong oleh cinta pada bangsanya ketimbang mencintai bangsa lain asalkan tidak merugikan bangsa lain?

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL
http://unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=6334&coid=3&caid=3
Kwik Kian Gie
Mantan Menneg PPN/Kepala Bappenas

No comments: