Wednesday, February 13, 2008

Aku Bermimpi Jadi Koruptor

Aku Bermimpi Jadi Koruptor

Oleh Kwik Kian Gie

AKHIR-akhir ini media massa, seminar, diskusi, konferensi pers, talk
show, ngerumpi, dan pembicaraan di warung-warung gegap gempita dengan
topik KKN. Terpilihnya Komisi Pemberantasan Korupsi oleh DPR
diberitakan secara hiruk-pikuk pula. Saya sempat
berpikir apakah KPK akan efektif karena modus operandi korupsi yang
begitu beragam. Lagi pula, moral dan mental yang sudah rusak tidak
termasuk dalam tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Jadi, kalau diibaratkan pohon, KPK hanya menangani daun
yang rusak karena akarnya busuk. Selama akarnya tidak diobati, selalu
akan bermunculan daun-daun yang rusak. Mengobati akar atau
kalau sudah tidak bisa membunuhnya saja, tidak termasuk domain KPK.

Karena intensnya dikonfrontasi dengan topik KKN seperti ini, saya
tertimpa mimpi. Dalam mimpi itu saya menjadi koruptor. Saya menguasai
betul berbagai cara berkorupsi, dari yang paling kotor sampai yang
paling canggih. Maka, saya menjadi orang sangat kaya. Rasanya tidak
seorang pun yang mempunyai gambaran betapa besar kekayaan yang saya
peroleh dari korupsi. Semuanya bisa dibeli dengan uang, juga hukum.
Maka, dalam salah satu pesta ketika saya mabuk, saya berkata, "I am
the Lord, I am the law, and I am the richest man in Indonesia."

MIMPI selalu kacau. Dalam melakukan korupsi saya terkadang menjadi
penguasa, terkadang pengusaha, terkadang pegawai negeri rendahan,
terkadang pengusaha besar, tukang parkir, dan apa saja yang mempunyai
kekuasaan. Kekuasaan adalah modal dasar korupsi. Sebagai pengusaha
saya menyalahgunakan semua celah yang ada. Yang paling mudah dan
sederhana adalah menjadi rekanan dan pemasok kepada pemerintah.
Pemerintah membutuhkan barang dan jasa. Setiap tahunnya membelanjakan
jumlah uang yang luar biasa besarnya. Caranya adalah kongkalikong
dengan pejabat yang mempunyai wewenang untuk membeli barang dan jasa
untuk kebutuhan kementerian atau badan pemerintah yang dipimpinnya.
Harga saya naikkan berkali lipat dan selisihnya saya bagi dengan sang
pejabat. Hasilnya lumayan, tetapi saingannya berat, karena banyak
sekali yang melakukan hal ini.

Konsepnya terlampau mudah. Meski demikian, saya sudah tidak
melakukannya sendiri. Saya sudah mempunyai banyak pegawai tingkat
tinggi yang tidak memalukan kalau saya suruh bergaul dengan para
pejabat yang rata-rata sarjana. Merekalah yang melayani pejabat habis-
habisan, dari melayani istri dan anak- anaknya sampai mengantarkan
sambil membayari mereka berbelanja. Bahkan, mereka sampai berfungsi
sebagai pembantu rumah tangga sang pejabat.

Modal utama cara berbisnis seperti ini adalah rai gedhek, mental
budak, dan tahan ngelesot berhari-hari sambil sering berfungsi sebagai
badut. Usaha ini yang dilakukan pegawai-pegawai saya berjalan terus.
Saya sendiri meningkatkan diri dalam berkreasi dan inovasi
konsep-konsep yang lebih canggih. Setiap zaman saya memberi peluang
KKN yang bentuknya lain. Sejak tahun enam puluhan saya sudah melakukan
banyak cara. Semuanya saya lakukan dalam mimpi juga, yang ketika itu
saya bermimpi menjadi konglomerat. Berbagai modus operandi sudah saya
tulis dalam berbagai artikel yang dihimpun dalam buku kecil dengan
judul Saya Bermimpi Jadi Konglomerat.

DALAM mimpiku sekarang aku untung besar dengan hanya ongkang-ongkang
saja. Pemerintah bermaksud meningkatkan ekspor (export drive). Caranya
memberikan kredit murah dengan bunga 12 persen setahun asalkan
kreditnya dipakai untuk membiayai kegiatan ekspor. Bunga deposito
ketika itu 22 persen setahun. Saya mengajukan permohonan kredit ekspor
dengan rencana ekspor yang meyakinkan. Feasibility study dibuat oleh
konsultan asing dan ditulis dalam bahasa Inggris. Pejabat tinggi kita
menganggap apa saja yang asing dan dalam bahasa Inggris mesti lebih
benar dan lebih pandai. Demikian juga laporan keuangan saya juga
seluruhnya ditulis dalam bahasa Inggris setelah diaudit oleh kantor
akuntan yang termasuk big five di dunia.

Segera saja kreditnya cair. Tentu dengan uang suap seperlunya.
Kegiatan ekspor juga saya laksanakan. Hanya yang saya ekspor gombal,
kain pel, potongan- potongan sisa tekstil untuk membuat pakaian jadi.
Barang-barang ini diekspor kepada perusahaan saya sendiri di
Singapura. Setibanya, barang-barang itu langsung dibuang. Jadi tidak
ada penggunaan uang dari kredit ekspor untuk ekspor beneran. Namun,
saya dapat memperlihatkan semua dokumen ekspor. Kredit dengan bunga 12
persen saya depositokan dengan bunga 22 persen. Kredit yang saya
peroleh Rp 500 miliar. Dalam setahun saya mendapatkan pendapatan
bersih (setelah dipotong pajak) sebesar Rp 93,5 miliar, yaitu 22
persen dari Rp 500 miliar dipotong pajak sebesar 15 persen. Bunga yang
harus saya bayarkan kepada bank BUMN sebesar 12 persen dari Rp 500
miliar atau Rp 60 miliar. Saya untung Rp 33,5 miliar for doing
nothing.

Yang paling hebat adalah ketika ketahuan dan diberitakan di media
massa. BI menyatakan tidak ada yang dirugikan karena saya membayar
utang pokoknya tepat waktu. Demikian juga dengan bunga sebesar 12
persen setahun yang mereka tentukan. Hi-hi, mereka tidak peduli bahwa
tujuan meningkatkan ekspor tidak tercapai. Jelas mereka membodohkan
diri sendiri, menjadikan dirinya sendiri "teh botol" (teknokrat bodoh
dan tolol) karena saya sogok. Sambil melakukan ini terus, melalui
asosiasi perusahaan, dengan kawan-kawan saya kampanye antisuap. Media
massa memberitakannya besar-besar tanpa kritik karena penyuapan cara
halus yang dinamakan public relations saya cukup canggih. DALAM bidang
transportasi darat Indonesia sangat ketinggalan. Praktis tidak ada
jalan-jalan raya yang bebas hambatan (highway atau free way).
Bayangkan, jalan raya sepanjang Pulau Jawa yang membangun adalah
Daendels. Dalam kemerdekaan yang 58 tahun itu kita tidak mampu
membangun jalan raya dari pulau yang paling padat. Sekarang keuangan
negara bangkrut-krut. Pemerintah dalam arti APBN tidak mempunyai uang.
Namun, bank-bank BUMN banyak duitnya.

Saya usulkan supaya saya diberi izin membangun jalan tol swasta yang
milik saya. Modal yang dibutuhkan tentu sangat besar. Dengan menyogok
seperlunya, saya memperoleh 100 persen dari dana yang dibutuhkan untuk
membangun jalan tol tersebut. Biayanya Rp 800 miliar. Dengan kredit Rp
800 miliar jadilah jalan tol. Begitu dipakai, pemakainya membayar tol
fee secara tunai. Pemasukan uang ini dibagi 40 persen untuk saya dan
60 persen untuk membayar cicilan utang serta bunganya. Jadi begitu
jalan tol selesai, arus uang tunai serta-merta masuk ke kantong saya
tanpa modal sama sekali.Utang saya beserta bunganya juga serta-merta
dicicil dari pemasukan tol fee yang tunai. Saya membuat proyeksi
tentang berapa tahun sejak dimulainya utang akan lunas, misalnya 15
tahun. Lantas saya umumkan bahwa setelah 15 tahun, jalan tol saya
hibahkan kepada pemerintah. Bukankah luar biasa cemerlangnya saya?
Tidak. Seperti saya katakan, tidak semua birokrat tingkat tinggi "teh
botol". Mereka tahu bahwa semuanya dapat dilakukan oleh pemerintah
sendiri. Namun, saya sogok plus saya berikan segala argumentasinya,
seperti jalan tol itu perlu, pemerintah tak punya uang, dan yang
terpenting ideologinya bahwa pemerintah sebaiknya tidak ikut campur
memiliki barang, seperti jalan tol sekalipun. Saya jelaskan bahwa ini
aliran pikiran yang modern yang menyerahkan semuanya kepada mekanisme
pasar. Mereka dan publik memakan teori ini.Saya tertawa geli lagi
karena ini bukan teori baru. Adam Smith yang mengenali berlakunya
mekanisme pasar, adanya invisible hands yang mengaturnya. Namun, hal
itu sudah lama ketinggalan zaman karena ditulisnya pada tahun 1776.
Intinya masih berlaku, tetapi tidak untuk barang publik, melainkan
untuk barang-barang kelontong yang bisa dipersaingkan dan tidak vital
sifatnya. Jalan tol mengandung monopoli natural karena ruangnya untuk
jalan tol untuk ruas tertentu hanya satu. Mengapa harus diberikan
kepada saya? Karena saya sogok! Namun, justifikasinya berbagai argumen
yang ternyata ditelan dengan fanatik karena yang berkuasa ketika itu
"teh botol".

PARALEL dengan ide tentang jalan tol ini, berbagai gedung pencakar
langit saya beli. Gedung bank BUMN saya beli dengan uang yang 100
persen milik bank itu sendiri. Saya memperoleh pinjaman dari bank BUMN
yang bersangkutan. Gedungnya saya beli. Karena gedung sudah milik
saya, bank harus membayar sewa kepada saya. Perolehan pembayaran sewa
ini saya pakai untuk mencicil utang pokok beserta bunganya dalam
bentuk anuitas. Jumlah anuitasnya saya samakan dengan uang sewa yang
saya terima. Dengan demikian, setelah sekian tahun gedung yang segitu
besarnya milik saya. Mulai saat itu hasil sewa sepenuhnya saya nikmati
karena utang sudah lunas sama sekali.

Bayangkan, berapa besar pendapatan saya karena yang saya begitukan
bukan hanya satu gedung. Masa pimpinan bank begitu bodoh? Tidak,
tetapi menjadi bodoh karena cemerlangnya pikiran saya ditambah dengan
perolehan uang banyak dari persekongkolan dengan saya. INDONESIA sudah
maju, mempunyai banyak perusahaan asuransi, antara lain asuransi jiwa.
Kalau tertanggung mati, ahli warisnya mendapat santunan besar. Saya
menciptakan orang-orang yang tidak ada. Jadi, saya menciptakan
tertanggung fiktif yang tempat tinggalnya di daerah-daerah yang sangat
terpencil. Setelah membayar premi beberapa kali saja, saya menciptakan
dokumen aspal tentang kematian tertanggung yang memang tidak ada. Ahli
warisnya orang-orang saya semua.Masih banyak lagi cara-cara membobol
perusahaan asuransi. Tentu orang dalam perusahaan asuransi harus ikut
di dalam komplotan ini supaya tidak meneliti lagi. Maka, hampir semua
perusahaan asuransi modal ekuitinya negatif. Ketika ramai dibicarakan
tentang adanya kemungkinan pemalsuan uang, bukan hanya satu pihak saja
yang terlibat, seperti yang bahkan disebut namanya di surat kabar.
Saya melakukannya juga. Uang palsu saya tidak pernah ketahuan karena
tidak pernah beredar. Uang yang saya palsu senantiasa mengendap di kas
sebagai iron stock atau persediaan minimum untuk menjaga keamanan
likuiditas. Jadi, saya mencetak uang palsu.

Uang ini saya tukar dengan uang yang harus selalu ada, tetapi nyatanya
tidak pernah beredar karena setiap bank harus mempunyai persediaan
minimal. Dengan demikian tidak akan pernah diketahui kecuali kalau
akuntan publik mengauditnya dengan mencatat nomor seri uang dan
selanjutnya mengamati apakah uang dengan nomor seri tertentu itu
terus-menerus mengendap di kas. Akuntan publik tidak sampai ke sana
pikirannya.

Masih banyak lagi yang saya lakukan dalam mimpi. Akan saya lanjutkan
dalam mimpi berikutnya.

*

Kwik Kian Gie Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

fwd by Redaksi from KOMPAS, Rabu, 28 Januari 2004

No comments: