Wednesday, February 13, 2008

Masalah BLBI atau kehancuran keuangan negara?

Masalah BLBI atau kehancuran keuangan negara?


Oleh: Kwik Kian Gie


Aneh rasanya bila kita marah tentang kerugian yang boleh dikatakan sudah membangkrutkan keuangan negara atau hanya ingin berbicara tentang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang jumlahnya lebih kecil.

Telah terjadi salah paham yang luar biasa oleh hampir semua orang yang menggunakan istilah BLBI dalam konteks masalah keuangan negara yang unsur korupsinya sedang disidik oleh Kejaksaan Agung.

Masalah yang menjadi fokus keprihatinan kerugian keuangan negara tidak terbatas hanya pada BLBI, tetapi juga akibat dari keseluruhan rentetan perintah Dana Moneter Internasional (IMF) yang dilaksanakan dengan patuh oleh para pemimpin bangsa yang kurang memahami ekonomi. Atau kalaupun memahami, mereka menempatkan diri justru sebagai 'orang yang disuruh' IMF.

Bagaimana gambarannya? Saat terjadi krisis keuangan pada 1997, IMF datang dan memerintah, yang secara simbolis menyakitkan hati bangsa Indonesia.

Pemerintah saat itu diinstruksikan melikuidasi 16 bank tanpa persiapan. Pemilik uang kemudian marah, tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak.

Para penyimpan uang di bank-bank lainnya sangat ketakutan kalau bank pilihannya juga ditutup. Maka terjadilah rush besar-besaran.

IMF memerintahkan supaya rush dihentikan secepat mungkin dengan biaya berapa pun besarnya. Maka dikucurkanlah uang peredam rush kepada semua bank.

Rush pun kemudian berhenti dalam tiga hari. Uang yang dipakai untuk menghentikan rush Rp144 triliun. Uang ini yang dinamakan BLBI.

Karena dipastikan bahwa pemilik bank tidak akan dapat mengembalikan uang tersebut, dikonversikanlah ke dalam penyertaan pemerintah atau modal ekuitas.

Ketika diteliti, IMF mengatakan bahwa kecukupan modal bank-bank tersebut kurang. Yang menentukan rasionya adalah Bank for International Settlement (BIS) di Bazel, Swiss.

Untuk meningkatkan kecukupan modal sampai memenuhi persyaratan BIS, IMF memerintahkan menginjeksi bank-bank itu dengan surat utang negara khusus yang dinamakan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (Obligasi Rekap/OR). Jumlah OR sebesar Rp430 triliun.

Kalau setiap lembar dibayar tepat waktu, maka kewajiban pembayaran bunganya sebesar Rp600 triliun. Tetapi kalau ditunda, beban bunganya membengkak.

Sebagai gambaran, kalau pada tanggal jatuh tempo setiap lembar OR diperpanjang atau diganti dengan OR yang tenornya sama, maka kewajiban membayar utang dan bunganya menjadi Rp14.000 triliun. Kenyataannya di antara angka Rp1.030 triliun dan Rp14.000 triliun.

IMF memerintahkan lagi bank-bank yang punya tagihan kepada pemerintah dalam bentuk OR dijual dengan batas waktu yang tidak boleh dilampaui. Harga bank-bank tersebut akhirnya hancur.

Maka swasta, baik asing maupun domestik, membeli bank-bank dengan harga murah. Di bank-bank itu, ada tagihan kepada pemerintah dalam jumlah yang sangat besar.

Masalah lain sama sekali, yang sekarang diramaikan, adalah utang para bekas pemilik bank kepada banknya sendiri sebelum krisis dan sebelum bank itu jadi milik pemerintah.

Karena bank tersebut sudah menjadi milik pemerintah, pemerintah kemudian menagih BLBI tersebut. Tetapi mantan pemilik bank tidak mempunyai uang tunai, karena kredit tersebut sudah dipakai untuk mendirikan perusahaan-perusahaan.

Para mantan pemilik bank itu kemudian membayar utang mereka dengan perusahaan atau aset lainnya. Maka muncul masalah penilaian, yaitu harus dinilai berapa?

Saat ini, yang menjadi prioritas pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung adalah BCA. Maka saya ingin menjelaskan duduk perkaranya.

Rush dan BLBI

Dengan terjadinya krisis moneter pada 1997, BCA kemudian terkena rush. Untuk meredam rush tersebut, BCA menerima BLBI yang seluruhnya berjumlah Rp32 triliun.

Dari jumlah tersebut, yang telah dibayarkan oleh BCA adalah cicilan utang pokok sebesar Rp8 triliun dan bunga senilai Rp8,3 triliun. Tingkat bunga saat itu sebesar 70% per tahun.

Sisanya, dikonversikan menjadi penyertaan modal pemerintah, sehingga BCA menjadi milik pemerintah atas 92,8% sahamnya. Selebihnya, sebesar 7,2% saham, masih dimiliki keluarga Salim.

Dengan kepemilikan seperti ini, utang BLBI BCA dianggap sudah lunas dibayar.

Ketika masih dimiliki sepenuhnya oleh keluarga Salim, mereka mengambil kredit dari BCA Rp52,7 triliun. Maka saat 92,8% saham BCA dikuasai pemerintah, pemerintah kemudian menagihnya kepada keluarga Salim.

Keluarga Salim tidak memiliki uang tunai untuk membayar kredit tersebut. Maka keluarga ini membayar dalam skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang wujudnya berupa Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai sebesar Rp100 miliar ditambah dengan 108 perusahaan.

Selisih penilaian

Penilaian dari 108 perusahaan, yang semula Rp52,8 triliun oleh beberapa kantor akuntan publik dan perusahaan keuangan, kemudian dinilai oleh Pricewaterhouse Coopers dengan titik tolak penjualan "paksa" tidak lebih lambat dari tanggal tertentu. Ketentuan ini tertuang dalam letter of intent (LoI) dengan IMF.

Dalam praktiknya, keseluruhan 108 perusahaan itu ternyata memang laku dijual dengan nilai sekitar Rp20 triliun. Juga ada penilaian ulang oleh Lehman Brothers terhadap 76 perusahaan dengan kesimpulan nilainya harus Rp204 miliar lebih besar.

Ada dua kontroversi dalam hal ini. Pertama, apakah MSAA, yang adalah perjanjian perdata, bisa mengalahkan pelanggaran pidana yang tertuang dalam UU tentang Perbankan, dalam hal Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)?

Kedua, apakah hasil penjualan, yang Rp20 triliun, wajar dibandingkan dengan penilaian yang diterima pemerintah sebesar Rp53 triliun?

Keterangan lunas

Keseluruhan kontroversi itu akhirnya diselesaikan dengan berbagai produk hukum sebagai berikut. Pertama, Ketetapan MPR No. VIII/TAP/MPR/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menugaskan kepada Presiden untuk menyelesaikan kontroversi MSAA.

Kedua, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tanggal 20 November 2000 tentang Propenas, yang memberikan jaminan kepastian hukum bagi debitor yang telah menandatangani dan sudah memenuhi MSAA.

Ketiga, Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tanggal 30 Desember 2002, yang menyatakan bahwa kepada para debitor yang telah menyelesaikan kewajiban pemegang saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang (APU), diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut.

Keempat, Keputusan Mahkamah Agung No. 03 G/HUM/2003 yang memperkuat Inpres No. 8 Tahun 2002 yang menolak gugatan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk melakukan hak uji materiil terhadap Inpres No. 8 Tahun 2002 tanggal 30 Desember 2002.

Namun, secara moral Susilo Bambang Yudhoyono yang sekarang menjabat sebagai Presiden, Jusuf Kalla yang kini Wapres, dan Boediono yang sekarang Menko Perekonomian, ketika masih sebagai menteri pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, mendukung dan memberikan persetujuan sepenuhnya atas penyelesaian tersebut. Jabatan mereka ketika itu masing-masing sebagai Menko Polkam, Menko Kesra, dan Menteri Keuangan.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL
http://unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=8806&coid=2&caid=19
Kwik Kian Gie
Mantan Menneg PPN/Kepala Bappenas

No comments: