Wednesday, February 13, 2008

Membengkaknya sertifikat BI

Analisis Ekonomi
Membengkaknya sertifikat BI


Oleh: Kwik Kian Gie


Kita dikejutkan oleh keterangan Gubernur bank sentral Burhanuddin Abdullah bahwa penerbitan sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai instrumen pengendalian inflasi oleh lembaga itu telah mencapai angka Rp300 triliun. Mari kita telusuri duduk persoalannya.

Selama Orde Baru, BI tidak independen. Artinya, penggunaan instrumen moneter dan pengendalian instrumen-instrumen kebijakan ekonomi lainnya diharmoniskan melalui Dewan Moneter yang berada di bawah presiden.

Atas dasar pertimbangan yang tidak jelas, Dana Moneter Internasional (IMF) memerintahkan kepada kroni-kroninya supaya membuat BI independen. Maka bekerjalah 'Tim Ahli' yang terdiri dari empat orang, dua orang asing dan dua orang Indonesia. Mereka harus menyusun argumentasi bagi DPR dan juga memasyarakatkan opini bahwa BI harus independen.

Seperti biasanya, sejak 1967 apa saja yang dikehendaki oleh lembaga-lembaga internasional menjadi kenyataan. Maka lahirlah Undang-undang tentang Bank Indonesia yang membuat BI independen.

Dua sasaran

Sasaran utama BI yang independen dalam kebijakan publiknya hanya dua. Pertama, menjaga agar tidak terjadi inflasi. Kedua, menjaga agar nilai rupiah terhadap valuta negara lainnya, terutama terhadap dolar AS, tidak melemah.

Dua sasaran BI ini harus dicapai dalam lingkungan ekonomi yang atas perintah lembaga-lembaga internasional harus liberal total di bidang lalu lintas uang dan devisa.

Banyak dana asing mengalir masuk ke Indonesia dan tentu berlabuh di perbankan. Bank-bank harus memberi bunga, maka uang tersebut harus menghasilkan bunga yang lebih tinggi. Kalau tidak, tentu bangkrut.

Dari mana dan bagaimana caranya? Secara normal, meminjamkan uang tersebut kepada unit produksi dan distribusi, atau yang di Indonesia dikenal dengan sebutan sektor riil.

Tetapi sektor riil tidak membutuhkan modal asing. Likuiditas di dalam negeri lebih dari cukup. Jadi, uang yang berkeliaran akan mengakibatkan inflasi, karena jumlah uang beredar jauh lebih besar dari yang dibutuhkan.

Supaya tidak terjadi inflasi, bank sentral menggunakan instrumen SBI dengan memberikan tingkat suku bunga yang tinggi bagi ukuran pemodal asing.

Mengetahui hal itu, modal asing masuk secara besar-besaran untuk dibelikan SBI. Maka volume SBI yang beredar sudah mencapai Rp300 triliun. Artinya, BI menerbitkan surat utang yang dibeli oleh pemodal asing, karena menghasilkan bunga yang tinggi, sementara nilai tukar rupiah stabil.

Apakah pemodal asing tidak takut rupiah akan terdepresiasi seperti di masa lalu? Mereka takut.

Dapat bunga tinggi

Sambil menikmati bunga tinggi, pemodal asing selalu sangat waspada dan siap melarikan uang mereka setiap saat. Jadi, modal asing itu masuk secara besar-besaran tidak dengan maksud diinvestasikan di sektor riil, tetapi untuk mendapat bunga tinggi dari bank sentral lewat pembelian SBI.

Dunia usaha domestik tidak membutuhkan kredit, karena terjadi deindustrialisasi. Biaya tinggi tersebut disebabkan oleh adanya praktik KKN. Semua infrastruktur mahal, karena bersifat komersial dan harus mendatangkan laba. Persaingan dari China begitu dahsyat.

Tabungan rakyat Indonesia menumpuk di perbankan, yang karenanya harus diberi bunga. Dari mana uangnya? Tidak dari pendapatan bunga, karena memberi kredit kepada dunia usaha.

Tetapi dari BI, karena membeli SBI. Jadi, BI digerogoti lagi untuk membayar bunga dalam jumlah besar kepada perbankan domestik juga.

Sebelumnya, bank-bank domestik pernah diinjeksi sebesar Rp144 triliun lewat bantuan likuiditas BI (BLBI) dan Rp430 triliun obligasi rekapitalisasi perbankan. Bagian terbesar uang ini sekarang dibungakan di BI melalui pembelian SBI. Kalau tingkat bunga SBI 8% setahun, maka beban bunga BI sebesar Rp24 triliun.

Perbankan di Indonesia mempunyai kendala lain dalam menyalurkan deposito oleh masyarakat ke sektor produktif. Dalam menentukan kecukupan modal (capital adequacy ratio), Bank for International Settlement (BIS) menentukan pembobotan risiko terhadap pemberian kredit yang sangat aneh.

Dalam menentukan nilai aset tertimbang menurut risiko (ATMR), aset dalam bentuk kredit kepada perusahaan, betapapun sehatnya, dinilai berisiko 100%. Akibatnya, CAR dari bank yang memberikan kredit kepada dunia usaha turun.

Sebagai contoh, sebuah bank memiliki modal ekuitas sebesar Rp100 miliar dan jumlah ATMR Rp1,25 triliun. CAR-nya 8%, yaitu Rp100 miliar dibagi Rp1,25 triliun dikalikan 100%.

Dalam kondisi seperti ini, bank memperoleh deposito dari nasabahnya sebesar Rp5 triliun yang seluruhnya disalurkan sebagai kredit kepada dunia usaha. Risikonya dianggap 100%, sehingga CAR-nya anjlok menjadi 1,6%.

Perhitungannya sebagai berikut: Deposito yang ditarik dari masyarakat adalah utang, sehingga tidak bisa ditambahkan pada modal ekuitas yang Rp100 miliar. Ketika keseluruhan deposito disalurkan sebagai kredit kepada dunia usaha, risikonya dihitung 100%, sehingga jumlah Rp5 triliun harus ditambahkan pada pembagi.

CAR menjadi Rp100 miliar dibagi dengan Rp6,25 triliun dikalikan dengan 100% sama dengan 1,6%. SBI dihitung sebagai aset yang risikonya nol persen. Maka kalau keseluruhan deposito yang bernilai Rp5 triliun dibelikan SBI, CAR-nya utuh sebesar 8%.

Mungkin dengan Basel II gambarannya tidak persis seperti ini, tetapi intinya masih valid. Dalam kondisi seperti ini, mana mungkin bank bergairah menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi?

Bukankah bunga yang dibayarkan oleh bank sentral untuk SBI senilai Rp300 triliun itu merupakan subsidi kepada modal asing dan perbankan di Indonesia yang sama sekali tidak ada gunanya? Dan yang semata-mata karena tidak dapat berpikir dan bertindak mandiri?

Lembaga-lembaga internasional beserta kroni Indonesia-nya melarang pemerintah menghalang-halangi masuknya uang dari mana saja, walaupun untuk tujuan sebagai spekulator dan rentenir. Akibatnya, BI membayar bunga bagi utang sebesar Rp300 triliun yang berputar-putar di sektor moneter saja tanpa menghasilkan barang dan jasa apapun. Dengan suku bunga yang 8% setahun, beban bunga BI buat SBI sebesar Rp24 triliun.

Konyol dan lucu. Kok bisa terjadi? Ini karena Tim Ekonomi punya "agama" yang namanya liberalisasi total, sistem lalu lintas devisa total, konvertibilitas total. BI yang independen total dan BI yang harus menjaga jangan sampai terjadi inflasi dan jangan sampai nilai tukar rupiah merosot walaupun sektor riilnya bobrok.

Kalau volume uang beredar yang harus dikendalikan demikian raksasa, BI akhirnya akan kedodoran. BI boleh independen, tetapi milik rakyat Indonesia yang selalu dijadikan sangat miskin dan sengsara.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL
http://unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=7727&coid=2&caid=19
Kwik Kian Gie
Mantan Menneg PPN/Kepala Bappenas

No comments: