Wednesday, February 13, 2008

ExxonMobil, Cepu dan Logika Gombal


ANALISA KWIK KIAN GIE

ExxonMobil, Cepu dan Logika Gombal



KEPUTUSAN tentang kelanjutan pengelolaan Blok Cepu sudah di tangan pemerintah. Mumpung belum diputus, untuk kepentingan rakyat banyak, dalam artikel ini saya ingin menghimbau terakhir kalinya supaya digarap sepenuhnya oleh Pertamina sendiri.

Saya terlibat cukup intensif, karena sebelum Pertamina menjadi Persero, kewenangan memutuskan memperpanjang kontrak dengan ExxonMobil (EM) atau tidak ada di tangan Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP). Tetapi kalau keputusannya tidak bulat, yang memutuskan Presiden. Dari lima anggota DKPP ada dua yang tidak setuju dengan permintaan EM supaya terlibat dalam eksploitasi sampai tahun 2030.

Seorang anggota tidak setuju karena kontrak antara Pertamina dengan Humpus Patra yang dijual kepada EM adalah kontrak Technical Assistance Contract (TAC). Bagaimana mungkin dijadikan kontrak bagi hasil yang istimewa, yaitu dengan formula yang tidak 85 persen untuk Indonesia dan 15 persen untuk kontraktor asing, tapi harus lebih menguntungkan EM. Yang lain, saya sendiri secara sangat prinsipiil tidak mau berargumentasi apapun juga. Pokoknya harus digarap sepenuhnya oleh Pertamina.

Alasan saya yang pertama ialah tidak pantas bahwa setelah 60 tahun merdeka yang mengeksploitasi minyak Indonesia 92 persen perusahaan asing dan hanya 8 persen saja yang digarap oleh Pertamina sendiri. Maka sudah waktunya Pertamina mulai mengembangkan diri menjadi perusahaan yang mampu mengerjakan sendiri dari eksplorasi sampai eksploitasi, dan juga beroperasi di mana saja di dunia.

Direksi ketika itu yang dipimpin oleh Baihaki Hakim sanggup. Pendanaan juga mudah, karena semua bank yang mengetahui ada cadangan sebesar 600 juta barrel akan antre memberi kredit. Apalagi belakangan beredar rumor bahwa cadangannya antara 1,2 miliar sampai 2 miliar barrel.

Sekarang tentang keekonomiannya. Memang Direksi dan DKPP ketika itu digempur dan dihujani dengan angka-angka yang mencoba meyakinkan DKPP bahwa pihak Indonesia akan rugi besar kalau dikerjakan oleh Pertamina sendiri.

Buat saya itu semuanya gombal. Logikanya sangat sederhana. Mengapa EM begitu ngotot sampai mengerahkan seluruh pemerintahannya, yaitu Dubesnya yang ada di Jakarta, Menteri Luar Negerinya, dan Presiden George W. Bush sendiri ikut-ikutan menekan Presiden kita? Mengapa begitu ngototnya kalau tidak melihat keuntungan yang sangat besar?

Jadi kalau sepenuhnya digarap oleh Pertamina sendiri, semua keuntungan yang akan jatuh ke tangan EM akan jatuh ke tangan rakyat Indonesia sepenuhnya. Tentang tidak mampu mengelola, itu juga gombal. Kalau tidak cukup punya akhli, bisa menyewa tenaga akhli gajian yang menjadi pegawai kita, bukannya terus mengundang majikan.

Argumentasi paling akhir dari seorang komisarisnya ialah membuat empat kriteria yang mengadu Pertamina dengan EM, yaitu lebih terkenal siapa, lebih berpengalaman siapa, lebih besar mana modalnya dan sebagainya. Ini juga gombal. Kalau mau begitu, mengapa sang komisaris itu tidak mengadu dirinya sendiri dengan siapa saja di dunia yang dalam segala bidang perminyakan pasti lebih pandai, lebih berpengalaman dan lebih kompeten daripada dirinya sendiri?

Jumlahnya bisa ribuan lho! Terus kalau caranya begitu, mengapa tidak mengadu seluruh Menteri kita termasuk Presidennya sekalian dengan siapa saja yang lebih mampu menjadi pengelola Republik Indonesia?

Alangkah kontrasnya dengan pendirian Bung Hatta di tahun 1932 yang ketika diadili di Den Haag ditanya: “Apakah kalian mampu mengelola negaramu sendiri kok minta merdeka?”

Bung Hatta menjawab Majelis Hakim dengan mengatakan: “Saya lebih senang melihat Nusantara tenggelam di bawah laut daripada dijajah oleh Tuan-Tuan sekalian.” Eh.. vonisnya bebas murni. Bersekolahlah Bung Hatta lagi sampai selesai sambil terus berpolitik, berjuang sampai Indonesia merdeka. Kenapa kok setelah 60 tahun merdeka elit kita yang berwenang cenderung menjadi inlander lagi?

http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat2&id=72

No comments: