Wednesday, February 13, 2008

Defisit APBN Dan Busung Lapar


ANALISA KWIK KIAN GIE

Defisit APBN Dan Busung Lapar



MENTERI Keuangan me­nya­ta­kan bahwa pemerintah In­do­ne­sia tidak akan minta potongan utang, karena tidak mempunyai ala­san untuk itu. Ukuran yang di­gu­nakannya adalah defisit ang­garan. Kalau defisit dalam APBN tahun 2006 hanya 0,7 per­sen dari PDB, menurutnya, In­do­nesia bukan negara miskin yang berhak minta potongan utang.

Karena yang dipakai sebagai ala­san teknis adalah angka-ang­ka, dan tidak ditinjau dari ke­cu­ku­pan gizi bagian terbesar rak­yat Indonesia—miskin atau ti­dak, maka saya akan me­nge­mu­ka­kan tiga cara untuk melihat ba­gaimana kondisi keuangan ne­­gara, seperti yang tampak pa­da Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 1 ialah ikhtisar dari format APBN resmi. Defisitnya seb­­esar Rp 22,4308 triliun, yang me­mang 0,74 persen dari PDB se­besar Rp 3.040.771,8 triliun.

Tabel 2 persis Tabel 1. Dalam ta­be­l ini cicilan utang pokok se­besar Rp 63.594,6 triliun dan pe­ngeluaran uang sebesar Rp 350 miliar sebagai penyertaan mo­dal pemerintah di­pandang sebagai ele­men yang mem­be­ba­ni keuangan negara, se­hingga dihitung se­bagai komponen de­fisit. Kalau ini yang di­lakukan, defisit APBN menjadi Rp 86,3754 triliun atau 2,84 persen dari PDB.

Tabel 3 ialah cara me­nyusun angka-anga yang per­sis sama, tetapi tanpa defisit sa­ma sekali. Cara ini dipakai oleh Tim Ekonomi selama Pre­si­den Soeharto berkuasa.

Jadi sebetulnya tidak ada satu ke­be­naran dalam hal pe­nyu­su­nan APBN. Melainkan ada be­be­rapa, dan itu tergantung apa tu­juan pembuatan anggaran itu. Nah, untuk kondisi Indonesia de­wasa ini, manakah yang pa­ling baik; apakah menyusun APBN seperti Tabel 1, Tabel 2 atau Tabel 3? Terserah pembaca.

Tabel 1 disusun berdasarkan atu­ran yang ditentukan Inter­na­tio­nal Monetary Fund (IMF) dan harus berlaku untuk In­do­nesia. Pemerintah dan DPR memang su­dah mematuhinya, ka­rena cara pandang se­perti ini telah men­jadi UU APBN 2006 yang merupakan ke­se­pakatan bersama an­tara pemerintah dan DPR.

Tetapi bu­kan berarti pihak lain yang me­miliki cara pan­dang dalam pe­nyu­su­nan ABPN tidak boleh ber­suara, dan mena­warkan de­re­tan angka yang sama dengan for­mat penyu­sunan yang lain.

Bagaimanapun juga para eko­nom dari “Berkeley Mafia” se­pan­jang 32 tahun lamanya me­nyusun APBN dengan for­mat Ta­bel 3 yang selalu berimbang!

Hal di atas berkaitan dengan how to lie with figures. Bukan ha­nya dalam bidang statistik orang mengatakan how to lie with statistics, tetapi juga dalam bidang penyusunan APBN.

Sekarang tentang perut. Per­ta­nyaan saya hanya sederhana, ba­dan yang kekurangan gizi, perut yang busung lapar, anak-anak yang mati kelaparan, ibu yang membakar anaknya sendiri, ru­mah-rumah perawatan orang sa­kit jiwa yang melonjak peng­hu­ninya antara 100 persen sampai 300 persen apakah tidak perlu di­perhitungkan? Itu saja per­ta­nyaan saya. Terima kasih para pembaca dan para anggota DPR yang terhormat.

http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat2&id=64

No comments: