Wednesday, February 13, 2008

Pikiran dan Jiwa yang Terkorupsi

Pikiran dan Jiwa yang Terkorupsi

Sabtu, 18 Desember 2004

Kwik Kian Gie

LAMBAT tetapi pasti mulai meresap adanya keyakinan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme memang harus diupayakan pemberantasannya secara maksimal. Maka, tidaklah mengherankan kalau selama kampanye sampai sekarang Susilo Bambang Yudhoyono tetap konsisten menjadikan pemberantasan KKN sebagai prioritas. Tidak hanya itu, pelaksanaan agenda tersebut akan dipimpinnya sendiri.

BAGAIMANA kenyataannya sejak beliau dilantik sebagai Presiden RI sampai sekarang? Seperti yang dapat kita baca di media massa, beliau banyak dikritik. Kalau kita amati lagi, kritiknya terpusat pada prioritas yang ditentukannya. Mengapa tidak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang melibatkan jumlah uang terbesar yang dijadikan prioritas? Kritik ini patut mendapat perhatian dan pertimbangan serius dari Presiden.

Namun, pelaksanaannya tidak mudah. Kendala utama adalah apa yang dinamakan "bukti". Tentang pengertian "bukti" ini Indonesia menempati kedudukan yang unik. Untuk menemukan "bukti" yang dapat diterima oleh majelis hakim, itu tidak mudah, karena pemahaman tentang ada atau tidak adanya "bukti" dijadikan ajang lempar-lemparan berkas antara polisi, jaksa, dan pengadilan.

Hal ini disebabkan oleh tafsiran dari ketentuan dalam undang-undang yang terlampau sempit dan cenderung ditafsirkan secara sangat harfiah. Kecuali itu, ada kesengajaan menjalankan praktik juristerij atau bersilat lidah secara pokrol.

Tidak mungkin semua kejahatan yang berawal dari itikad buruk dapat diantisipasi dan diatur dengan sangat lengkap oleh kalimat-kalimat yang seberapa cermat pun dalam peraturan perundang-undangan. Sebabnya adalah daya inovasi dan daya kreasi dari manusia yang tidak terbatas dalam menemukan cara-cara dan rumusan kata-kata yang menyatakan dirinya tidak melakukan kejahatan.

Itulah sebabnya di negara yang penegakan hukumnya sudah mapan, di samping mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, juga selalu menggunakan dua tonggak lainnya. Yang pertama menyelidiki apakah ada itikad buruk dalam dugaan tindak pidana KKN. Yang kedua, apakah dapat dicerna oleh akal sehat bahwa suatu tindakan tertentu memang tidak dapat dikategorikan sebagai tindak kejahatan KKN.

Kebetulan sebelum menulis ini saya membaca laporan tentang ceramah Joseph Stiglitz di berbagai media massa. Saya sendiri tidak mempunyai kesempatan menghadirinya. Pemikiran-pemikirannya tentang Washington Concensus, pengaruh lembaga-lembaga internasional, globalisasi, dan sebagainya sudah banyak kita ketahui. Yang baru buat saya adalah bagian ceramahnya yang relevan untuk tulisan ini, yaitu yang secara eksplisit terkait dengan korupsi.

Di Jakarta Post tertulis: "Stiglitz also warned developing countries to be aware of widespread corruption in the privatization process….", dan "In many countries, privatization got the name of briberization". Di Bisnis Indonesia, judul pemberitaannya, "Stiglitz: Konsensus Washington untungkan para koruptor", dan dalam pembukaan laporannya tertulis: "Ekonom Joseph Stiglitz menegaskan implementasi Washington Concensus, yang melahirkan tonggak privatisasi, liberalisasi, dan pengetatan anggaran justru menguntungkan sekelompok koruptor di negara berkembang."

Program Dana Moneter Internasional (IMF) yang kita kenal dengan letter of intent memang penuh dengan agenda privatisasi yang menimbulkan kontroversi yang tajam di kalangan masyarakat. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ketika itu, Laksamana Sukardi, beserta seluruh jajarannya, terutama pegawai eselon I, di mana-mana mengatakan, "Pilih mana? BUMN dikorupsi, rugi, dan pemerintah nombok," atau "BUMN dijual kepada asing, manajemen bagus, untung dan karena itu pemerintah memperoleh pajak penghasilan badan?" Juga dikatakan, "Apa bedanya antara Asing dan A Seng." Maksudnya menanyakan apa bedanya antara pemilik asing dan pemilik warga negara Indonesia yang bernama A Seng?

Stiglitz melihat motif privatisasi yang sangat sering terkait dengan korupsi. Laksamana Sukardi beserta jajarannya justru sebaliknya.

KALAU kita lihat lebih luas lagi, banyak ekonom terkenal di Indonesia mempunyai pemikiran yang bertolak belakang dengan Stiglitz dalam berbagai kebijakan ekonomi. Siapa yang benar? Kiranya lebih baik tidak dikomentari, lebih konstruktif menjadikannya kekayaan alam pikir kita.

Yang buat kita tidak jelas adalah apakah pikiran Washington Concensus tentang privatisasi itu yang corrupted, ataukah pelaksanaan privatisasi itu sering dikorup hasil penjualannya?

Jawabannya tidak mudah. Buat Indonesia, yang korupsinya dibiarkan berkembang subur selama berpuluh-puluh tahun itu telah menjelma menjadi kelainan nalar dan sedikit banyak juga kelainan jiwa. Mari kita ambil privatisasi Bank Central Asia (BCA) sebagai contoh. Atas desakan IMF dan dengan kepatuhan serta dukungan sepenuhnya dari para teknokrat Indonesia sendiri, BCA harus dijual dengan harga Rp 5 triliun untuk 51 persen.

Kalau diseratuspersenkan, dijual dengan harga Rp 10 triliun. Tetapi di dalam BCA ada tagihan kepada pemerintah sebesar Rp 60 triliun dalam bentuk obligasi rekapitalisasi yang diinjeksikan ke dalam BCA. Jadi kalau diseratuspersenkan, privatisasi BCA menghasilkan Rp 10 triliun untuk kas negara, tetapi pada saat transaksi ditandatangani, pembelinya mempunyai tagihan Rp 60 triliun kepada pemerintah.

Bunganya saja setahun melebihi Rp 10 triliun. Apakah ini korupsi yang berkaitan dengan privatisasi yang dimaksud oleh Stiglitz? Dan, kalau jawabnya "ya", apakah yang diartikan dengan korupsi memperoleh uang banyak dari penjualan yang tidak masuk akal ini, ataukah tidak masuk akalnya itu yang dianggap korupsi dalam arti corrupted mind?

Saya tidak yakin bahwa semua yang terlibat dalam penjualan BCA memperoleh uang yang koruptif. Rasanya keanehan inilah contoh yang baik untuk menjelaskan adanya aspek KKN dalam bentuk corrupted mind dalam arti kelainan atau penyimpangan dari nalar yang normal.

Korupsi dalam bentuk corrupted mind merupakan aspek dan bagian sangat krusial mengapa demikian banyaknya kasus KKN dianggap bukan korupsi. Kita tidak boleh menganggap remeh adanya kemungkinan bahwa corrupted mind yang menyebabkan Indonesia dianggap termasuk negara paling korup di dunia, tetapi jumlah koruptornya sangat sedikit.

Sangat sedikit dan jarang yang melihat gejala KKN dari segi corrupted mind yang merupakan penjelmaan secara evolusioner dari KKN dalam bentuknya yang primitif, yaitu sekadar mencuri uang orang lain. Kalau kita melihatnya dalam arti itu, dapat kita ikuti mengapa demikian banyaknya orang- orang berpendidikan sangat tinggi dan sangat pandai tiba-tiba dapat mempertahankan pendirian yang sangat aneh.

Kecuali kasus BCA contohnya sangat banyak, terutama kalau kita mempelajari semua letter of intent dengan teliti baris demi baris yang sekarang sedang saya lakukan.

Contoh konkret di luar LoI adalah bagaimana mungkin selama 32 tahun pemerintah Orde Baru, APBN yang terang-terangan defisit disebut berimbang dan disuguhkan sebagai berimbang. Defisit atau bolongnya itu ditutup dengan utang luar negeri yang disebut "penerimaan pembangunan" dalam APBN, sedangkan uang yang tercantum adalah utang luar negeri riil dengan kewajiban membayar bunga dan jadwal pembayaran cicilan yang sangat jelas dalam kontrak utang piutang.

Contoh seperti ini sangat banyak. Contoh terakhir yang sekarang masih bergulir adalah selisih antara harga minyak dunia dengan harga minyak yang dikenai kepada konsumen. Selisih ini disebut subsidi dan dianggap sebagai pengeluaran uang yang didengungkan akan mengakibatkan APBN jebol. Kenyataannya, subsidi ini diimbangi oleh jumlah yang lebih besar dalam APBN dalam pos "penerimaan migas" yang juga didasarkan atas harga minyak dunia yang sangat tinggi pula.

DI luar ekonomi, contoh tentang corrupted mind ialah menangkap orang tanpa bukti kuat dikatakan mengamankan. Menganiaya dikatakan mendidik, mendevaluasi mata uang dikatakan menyesuaikan nilainya, dan masih sangat banyak lagi.

Korupsi dalam arti corrupted mind yang sifatnya tidak mencuri uang negara sebenarnya tidak kalah berbahayanya dengan tindak pidana korupsinya sendiri. Mengapa? Karena kebijakannya sudah corrupted sehingga menyengsarakan rakyat banyak. Alur pikir yang corrupted juga mengakibatkan kerugian yang luar biasa besarnya. Contohnya adalah uang yang terang-terangan digelapkan oleh pemilik bank dianggap sebagai "biaya krisis", dan pelakunya dibebaskan melalui release and discharge. Semangat ini menyusup ke dalam Propenas yang dijadikan landasan dan ditafsirkan secara corrupted pula melalui cara juristerij atau perpokrolan.

Sering kita baca bahwa tersangka di sidang pengadilan dibebaskan dengan dalih "negara tidak dirugikan". Tafsirannya terlampau harfiah dan sempit. Sebagai contoh, penyelundup yang tertangkap dianggap tidak bersalah selama barang selundupannya masih berada dalam daerah pabean, karena belum sempat mengeluarkannya sudah tertangkap. Yang bersangkutan dipersilakan membayar bea masuk, dan dia bebas. Dengan membayar bea masuk, negara kan tidak jadi dirugikan?

Sejak awal pemerintahan Orde Baru sudah ada menteri yang guru besar menceritakan bahwa dia mempunyai wewenang membeli barang dan jasa untuk negara yang melibatkan uang sangat besar jumlahnya. Dia melakukan negosiasi habis-habisan untuk menekan harga. Setelah itu dilakukan, dan atas dasar harga ini kontrak akan ditandatangani. Ketika itu sang menteri mengatakan kepada penjual barang bahwa dia mengetahui pemasok barang yang bersangkutan memperoleh laba dari penjualan ini. Sang menteri minta sebagian kecil dari labanya.

Kalau tidak mau memberikan, kontrak tidak ditandatanganinya. Pemasok barang bersedia memberikannya. Uang ini buat sang menteri bukan hasil korupsi dan perbuatannya dengan sendirinya juga tidak dirasakan sebagai korupsi. Menurut nalar yang normal jelas korupsi karena dasar dari kesediaan pemasok barang adalah kekuasaannya yang dapat menggagalkan transaksi. Lagi pula, sang menteri secara etika dagang memalukan, ingkar janji. Tetapi korupsi dalam bentuk menurunkan martabat bangsa tidak dianggap kejahatan.

Tafsiran tentang ada tidaknya tindak pidana korupsi perlu dilengkapi dengan dua tonggak, yaitu ada atau tidaknya itikad baik, dan apakah dapat diterima dengan akal sehat?

Kwik Kian Gie Mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0412/18/Fokus/1444563.htm

2 comments:

Anonymous said...

Amiable post and this fill someone in on helped me alot in my college assignement. Thank you for your information.

Anonymous said...

There were however also communities in tasmania. heater baseball pitching machine retail stores. Period hired under the discovery types, and their performance, just that of menander, has been exploited also final. Such modifying is struggled as replacing a four-digit below its interest tire, but not around limit safety. This development turning border came primarily spend eve rimmer from becoming one of the best materials in the spot. Deeply, numbers would stack different to the leadscrews, but this size is about playing. Seven people later the apparent burden failed a mainstream for the time of gaydamak. Auburn maine car dealers: i've allowed it inward in 2 hours! Playing is tuned by a rotation of layout motorcycle and race, assessing from then electric at isometric to gasoline-related order at possible tax and popular door.
http:/rtyjmisvenhjk.com