Analisa Ekonomi
Pengemis Tak Punya Pilihan
Oleh: Kwik Kian Gie
Pengemis Tak Punya Pilihan
Oleh: Kwik Kian Gie
Amat menarik membaca sikap amat kritis bahkan marah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan Bank Dunia-IMF di Singapura (Kompas, 20/9/2006).
Apa yang membuat Menkeu bersikap begitu? Bukankah Menkeu adalah sosok yang amat bersahabat dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia?
Seperti diberitakan media massa, mungkin Menkeu tersinggung atas surat Bank Dunia kepadanya selaku Menteri Keuangan RI. Dalam surat itu dikatakan terjadi korupsi dalam penggunaan pinjaman dari Bank Dunia untuk beberapa proyek. Maka, pinjaman ditambah hibah harus dikembalikan kepada Bank Dunia, sedangkan jumlah uang sudah dipakai sebesar 2,03 juta dollar AS dan 2,66 juta dollar AS. Bank Dunia mengindikasikan penyuapan kepada konsultan sebesar 356.703 dollar AS. Jadi, yang dianggap dikorup 7,6 persen, tetapi seluruh pinjaman yang sudah terpakai harus segera dibayar kembali.
Mau menang sendiri
Sikap Bank Dunia memang mau menang sendiri. Namun, itu bukan hanya sikap Bank Dunia. IMF yang pernah dipuja Menkeu dan kawan-kawan semazhab pikirannya juga sewenang-wenang dan sudah menghancurkan keuangan negara RI.
Bagi kita, yang terpenting menyadari bahwa lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara yang kuat selalu mau menang sendiri dan cenderung mengisap bangsa-bangsa yang lebih lemah. Itu naluri makhluk hidup sejak zaman purbakala yang tidak berubah hingga kini. Simaklah Animal Planet dalam hal binatang. Sejarah kemanusiaan mengenal peperangan suku, pengisapan melalui penjajahan, perbudakan, dan sejenisnya. Seandainya bangsa Indonesia amat kaya dan kuat, tidak ada jaminan bahwa kita tidak akan melakukan hal yang sama.
Kemarahan Menkeu amat bisa dimengerti. Yang perlu dihayati olehnya dan oleh semua anggota kelompoknya adalah pikiran, hasrat, dan kehendak para pendiri bangsa untuk membebaskan diri dari ketergantungan, dari status dijajah dan dari status pengemis.
Terkait hal itu, Menkeu seharusnya memahami, nasib pengemis memang diperlakukan hina seperti itu. Secara nalar akademik Menkeu dengan Presiden Bank Dunia sekalipun tidak ada bedanya. Namun, dalam hubungan finansial, Bank Dunia adalah ndoro dan RI adalah pengemis. Menkeu perlu memahami ini.
Pengalaman saya
Ketika saya menjabat Kepala Bappenas, juga pernah diperlakukan seperti itu. RI mendapat hibah dari ASEM Trust Fund sebesar 573.625 dollar AS. Yang sudah dipakai sebesar 203.637 dollar AS. Dari jumlah ini, yang diduga dikorup hanya sebagian kecil. Namun, seluruh jumlah yang sudah dipakai atau 203.637 dollar AS diminta agar dikembalikan.
Saya menulis surat kepada Bank Dunia dan pemberi hibah, yaitu Uni Eropa, agar diperbolehkan membayar kembali yang diduga dikorup saja. Tetapi, Bank Dunia tetap ngotot agar seluruhnya dibayar.
Atas nama pemerintah RI, kami juga meminta kepada Presiden Uni Eropa dan Presiden Bank Dunia agar tidak memberi hibah lagi kepada bangsa Indonesia. Saya katakan, meski saya Menteri dari RI, saya tahu benar dan tidak ada jaminan, uang yang dikorup itu berasal dari mana saja.
Lalu, saya mengemukakan apa yang dalam perkuliahan sering dikatakan Prof Jan Tinbergen, pemenang Nobel Ekonomi yang pertama. Dikatakan, para murid agar selalu waspada, agar hibah dari negara kaya kepada negara miskin jangan sampai menjadi hibah dari pembayar pajak miskin dari negara kaya kepada beberapa gelintir orang kaya raya dari negara miskin.
Anehnya, Bank Dunia seperti kebakaran jenggot menjawab surat saya. Secara berputar-putar sambil memberi pembenaran, hibah dilanjutkan, dan bla… bla… bla tidak karuan juntrungannya. Terlampau panjang dikutip dalam artikel ini. Semua surat-surat asli tersedia pada saya.
Dalam hal Menkeu lebih lucu. Yang dikorup itu hasil utangan yang akan dibayar kembali beserta bunganya. Maka, apa urusan Bank Dunia? Apakah sebagian hibah itu dikorup atau tidak, asal semua utang dan bunga dibayar utuh dan tepat waktu, apa masalahnya?
Mendapat bunga
Jika ditanya seperti ini, mereka menggambarkan dirinya bagai dewa-dewa mulia dan harus mendidik bangsa Indonesia melalui pemberian utang. Sebenarnya mereka memberi utang karena ingin mendapat bunga. Belakangan IMF mengaku terang- terangan akan kesulitan kurang pendapatan jika banyak negara mengembalikan utangnya.
Menurut banyak ahli Barat, utang juga dipakai sebagai instrumen untuk mencekik leher dan mengisap.
Saya menulis seperti ini bukan untuk membela koruptor bangsa. Sebaliknya, saya membagi-bagikan buku kecil karya anak bangsa bahwa orang Indonesia lebih mengerti cara-cara memberantas KKN. Tidak perlu diajari Bank Dunia. Buku kecil ini dibagikan kepada sidang CGI di Bali yang dipimpin Bank Dunia.
Kesimpulan artikel ini, Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia, dan entah lembaga apa lagi, sejak dulu berbuat dan bersikap semau sendiri, sok pinter.
Dalam menghadapi ini kita dibuat jengkel, seperti halnya dengan Menkeu. Tetapi mau apa? Pengemis memang tidak mempunyai banyak pilihan, kecuali membebaskan diri dari kedudukannya sebagai pengemis.
Beranikah kita memutus semua hubungan dengan siapa saja yang jelas-jelas menempatkan diri sebagai ndoro dan majikan terhadap bangsa kita? Maka, jangan meminta-minta kepada mereka agar mereka fair dan adil. Mestinya kita tidak banyak bicara, tetapi langsung bertindak, yang tentunya harus santun.
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/26/opini/2979932.htm
http://unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=6802&coid=2&caid=19
Kwik Kian Gie Ekonom Senior
No comments:
Post a Comment