Kwik Nilai Kenaikan Harga Premium 40 Persen Tidak Realistis
Selasa, 08 Pebruari 2005 | 19:01 WIB
Menurut Kwik, besaran kenaikan harga premium tidak bisa dinilai ideal atau tidak ideal. "Masalahnya adalah berapa yang pemerintah akan naikkan, dan untuk apa kenaikan harga itu?" katanya.
Seperti diberitakan pemerintah sedang mempertimbangkan menaikkan harga BBM antara 10-40 persen dari harga sekarang. Hal ini dinyatakan Direktur Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan, Achmad Rochyadi akhir Januari (29/1) lalu.
Lebih jauh Kwik menyatakan harga bensin premium Rp 1.810 per liternya di Indonesia memang terlalu murah. "Rasaya ya (murah). Karena satu botol Coca Cola di restoran dijual Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu," ujarnya. Karenanya, kenaikan harga bensin pantas dilakukan asal tidak terlalu memberatkan. "Terlebih dengan menaikkan harga premium, pemerintah mendapat pemasukan lebih besar untuk dipakai tujuan-tujuan baik," jelasnya.
Ia juga menyatakan pemerintah selama ini tidak memberi subsidi pada harga BBM. Karena, pemerintah malah memperoleh kelebihan uang tunai akibat pemberlakuan harga bensin premium Rp 1.810 per liternya. "Tidak benar jika dikatakan kalau harga bensin premium tidak dinaikkan, pemerintah harus keluar Rp 10 triliun per bulan. Dan karena itu keuangan negara menjadi bangkrut. Yang betul pemerintah kelebihan uang sebesar Rp 11,43 triliun per tahun," paparnya.
Dalam perhitungannya, biaya yang diperlukan pemerintah dari menyedot minyak mentah, memproses minyak bumi menjadi bensin, dan pengangkutan bensin ke pompa bensin adalah US$ 10 per barrel. Jika US$ 1 = Rp 8.600 dan 1 barrel sama dengan 159 liter, maka biaya untuk produksi 1 liter bensin = (10 x 8.600) : 159 = Rp 540,88 dan dibulatkan menjadi Rp 540 per liter. Padahal bensin premium dijual per liternya Rp 1.810. Artinya pemerintah untung Rp 1.270 dari tiap liter bensin premium yang dijual. "Dilihat dari sudut keluar masuknya uang, pemerintah kelebihan uang tunai. Kenapa dikatakan pemerintah memberi subsidi BBM?" ujar Kwik.
Subsidi BBM yang selama ini digembor-gemborkan pemerintah, dinilai Kwik berdasar dari perhitungan penjualan BBM dengan harga luar negeri yang nilainya US$ 50 per barrel. Dengan kurs yang sama (US$ 1 = Rp 8.600), maka harga minyak mentah di luar negeri per barrel adalah 50 x Rp 8.600 yakni Rp 430.000. Jadi harga minyak mentah per liternya Rp 430.000 dibagi 159 menjadi Rp 2.704,4 yang dibulatkan menjadi Rp 2.700. Untuk menjadi bensin, harga tersebut ditambah tiga komponen biaya (penyedotan minyak, pengilangan dan transportasi) sebesar Rp 540, sehingga harga bensin di luar negeri= Rp 2.700 + Rp 540 yakni Rp 3.240 per liter.
Selisih harga bensin di luar negeri dengan harga bensin di Indonesia (Rp 3.240 - Rp 1.810 = Rp 1.430) per liternya ini, menurut Kwik, adalah yang dikatakan pemerintah telah memberi subsidi BBM. "Jadi subsidi itu pengertian abstrak yang sama sekali tidak berimplikasi adanya uang keluar," ujarnya. Pasalnya, kata dia, dalam kenyataannya pemerintah kelebihan uang. "Walau begitu, kelebihan tersebut tidak sebesar jika rakyat Indonesia diharuskan membeli bensin produksi dalam negeri dengan harga dunia," tegasnya.
Namun demikian, Kwik belum bisa menghitung besaran kelebihan uang pemerintah dalam menjual bensin premium tersebut. "Angka yang pasti tidak dapat saya peroleh, karena saya tidak berhasil mendapat kuantitas minyak mentah yang menjadi hak bangsa Indonesia," tuturnya.
Kwik juga mengakui Indonesia mau tidak mau harus tetap mengimpor bensin. Kebutuhan bensin tiap tahunnya 61,5 juta kiloliter tidak sebanding dengan produksi yang sebesar 46.718.175.000 liter. Karenanya impor sebesar 14.781.825.000 liter harus dibayar dengan harga dunia Rp 3.240 per liter atau Rp 47.893.113.000. "Tapi pemerintah masih kelebihan uang tunai per tahunnya sebesar Rp 11.438.969.250.000," paparnya.
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/02/08/brk,20050208-46,id.html
No comments:
Post a Comment