ANALISA KWIK KIAN GIE
Defisit APBN Dan Busung Lapar
MENTERI Keuangan menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan minta potongan utang, karena tidak mempunyai alasan untuk itu. Ukuran yang digunakannya adalah defisit anggaran. Kalau defisit dalam APBN tahun 2006 hanya 0,7 persen dari PDB, menurutnya, Indonesia bukan negara miskin yang berhak minta potongan utang.
Karena yang dipakai sebagai alasan teknis adalah angka-angka, dan tidak ditinjau dari kecukupan gizi bagian terbesar rakyat Indonesia—miskin atau tidak, maka saya akan mengemukakan tiga cara untuk melihat bagaimana kondisi keuangan negara, seperti yang tampak pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 1 ialah ikhtisar dari format APBN resmi. Defisitnya sebesar Rp 22,4308 triliun, yang memang 0,74 persen dari PDB sebesar Rp 3.040.771,8 triliun.
Tabel 2 persis Tabel 1. Dalam tabel ini cicilan utang pokok sebesar Rp 63.594,6 triliun dan pengeluaran uang sebesar Rp 350 miliar sebagai penyertaan modal pemerintah dipandang sebagai elemen yang membebani keuangan negara, sehingga dihitung sebagai komponen defisit. Kalau ini yang dilakukan, defisit APBN menjadi Rp 86,3754 triliun atau 2,84 persen dari PDB.
Tabel 3 ialah cara menyusun angka-anga yang persis sama, tetapi tanpa defisit sama sekali. Cara ini dipakai oleh Tim Ekonomi selama Presiden Soeharto berkuasa.
Jadi sebetulnya tidak ada satu kebenaran dalam hal penyusunan APBN. Melainkan ada beberapa, dan itu tergantung apa tujuan pembuatan anggaran itu. Nah, untuk kondisi Indonesia dewasa ini, manakah yang paling baik; apakah menyusun APBN seperti Tabel 1, Tabel 2 atau Tabel 3? Terserah pembaca.
Tabel 1 disusun berdasarkan aturan yang ditentukan International Monetary Fund (IMF) dan harus berlaku untuk Indonesia. Pemerintah dan DPR memang sudah mematuhinya, karena cara pandang seperti ini telah menjadi UU APBN 2006 yang merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR.
Tetapi bukan berarti pihak lain yang memiliki cara pandang dalam penyusunan ABPN tidak boleh bersuara, dan menawarkan deretan angka yang sama dengan format penyusunan yang lain.
Bagaimanapun juga para ekonom dari “Berkeley Mafia” sepanjang 32 tahun lamanya menyusun APBN dengan format Tabel 3 yang selalu berimbang!
Hal di atas berkaitan dengan how to lie with figures. Bukan hanya dalam bidang statistik orang mengatakan how to lie with statistics, tetapi juga dalam bidang penyusunan APBN.
Sekarang tentang perut. Pertanyaan saya hanya sederhana, badan yang kekurangan gizi, perut yang busung lapar, anak-anak yang mati kelaparan, ibu yang membakar anaknya sendiri, rumah-rumah perawatan orang sakit jiwa yang melonjak penghuninya antara 100 persen sampai 300 persen apakah tidak perlu diperhitungkan? Itu saja pertanyaan saya. Terima kasih para pembaca dan para anggota DPR yang terhormat.
http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat2&id=64
No comments:
Post a Comment