Dok Kompas |
Kedua peristiwa di atas menunjukkan bahwa pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1947 (atau "penyerahan kedaulatan kepada Indonesia" menurut tafsiran Belanda) tidak berhasil membawa perbaikan yang berarti dalam hubungan antara negara bekas penjajah dan bekas jajahannya, malahan terus merosot dalam tahun-tahun berikutnya. Hal ini disebabkan pada dasarnya proses dekolonisasi Indonesia belum dapat diselesaikan dengan tuntas dalam Konferensi Meja Bundar antara Belanda dan Indonesia yang diadakan di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949 untuk merundingkan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Dengan kata lain, kemerdekaan politik Indonesia belum berhasil memutuskan segala ikatan historis dengan Belanda, baik dalam arti politis dan ekonomi, dan mungkin juga dalam arti budaya dan psikologi.
Dalam arti politis, kemerdekaan Indonesia belum dianggap tuntas karena dalam Konferensi Meja Bundar Belanda tidak bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, yang menurut Belanda, sebenarnya bukan termasuk wilayah Indonesia. (Houben 1996: 174-75) Dihadapi dengan jalan buntu, Indonesia dan Belanda sepakat bahwa status quo Irian Barat untuk sementara dipertahankan, tetapi juga bahwa dalam waktu satu tahun status daerah ini akan ditentukan lebih lanjut melalui perundingan. (Legge 1973: 238)
Akan tetapi, dalam perundingan berikutnya Belanda tetap enggan untuk menyerahkan Irian Barat. Oleh karena hal ini Soekarno berpendapat bahwa revolusi nasional belum selesai dan perlu diteruskan sampai Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia.
Dalam tahun-tahun berikutnya, Presiden Soekarno tak henti-hentinya menekankan bahwa perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat adalah prioritas utama dalam kebijakan nasional Pemerintah Indonesia. Meskipun pemimpin-pemimpin nasional lainnya setuju bahwa Irian Barat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, beberapa di antara mereka berpendapat bahwa sebaiknya konflik dengan Belanda tentang Irian Barat dibahas secara tidak mencolok melalui saluran diplomatik biasa, karena Indonesia pada waktu itu menghadapi berbagai masalah lainnya, termasuk masalah ekonomi, yang perlu segera ditanggulangi. (Legge 1973: 248)
Dalam tahun-tahun berikutnya, memang ternyata bahwa pada tahap awal kemerdekaan, banyak energi dan sumber daya nasional yang sebenarnya bisa disalurkan untuk pembangunan ekonomi, justru dimobilisasi untuk menanggulangi masalah Irian Barat.
Akar-akar nasionalisme ekonomi Indonesia
Selain masalah Irian Barat, kemerdekaan Indonesia sesudah pengakuan kedaulatan oleh Belanda belum dirasakan sebagai tuntas oleh para pejuang kemerdekaan, karena berbagai sektor ekonomi yang penting masih dikuasai Belanda, sedangkan berbagai jabatan penting dalam birokrasi pemerintah masih dipegang oleh pejabat-pejabat Belanda. Hal ini bisa terjadi karena dalam rangka persetujuan Indonesia-Belanda yang telah dicapai dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, kepentingan bisnis Belanda tetap dijamin dalam Indonesia merdeka.
Pembicaraan tentang kelangsungan bisnis Belanda telah menyita banyak waktu dalam Konferensi Meja Bundar, karena pada tahun 1949 pembangunan ekonomi Belanda-yang mengalami banyak kerusakan selama Perang Dunia Kedua-belum selesai. Berhubung dengan hal ini Pemerintah Belanda menganggap penting bahwa penghasilan dari perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia perlu diamankan, karena penghasilan ini merupakan sumber pembiayaan penting bagi pembangunan ekonomi Belanda. (Meier 1994: 46)
Dalam Persetujuan Finansial-Ekonomi (Financieel-Economische Overeenkomst Finec) yang telah dicapai di Konferensi Meja Bundar, tuntutan Belanda untuk memperoleh jaminan bahwa bisnis Belanda dapat tetap beroperasi di Indonesia tanpa hambatan, terpaksa dipenuhi oleh pihak Indonesia. Oleh karena ini tidak mengherankan bahwa bahkan seorang sejarawan ekonomi Belanda yang konservatif, Henri Baudet, menyatakan bahwa Persetujuan Finec memuat jaminan maksimal yang dapat dicapai bagi kelangsungan hidup bisnis Belanda di Indonesia. (Baudet & Fennema, 1983: 213)
Indonesia tetap amat penting bagi ekonomi Belanda. Hal ini tercermin dari suatu perkiraan resmi Belanda yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1950 penghasilan total Belanda yang diperoleh dari hubungan ekonomi dengan Indonesia (ekspor ke Indonesia, pengolahan bahan-bahan mentah, penghasilan dari penanaman modal di Indonesia, transfer uang pensiun dan tabungan, dan lain-lain) merupakan 7,8 persen dari pendapatan nasional Belanda. Untuk tahun-tahun berikutnya sampai tahun 1957 sewaktu semua perusahaan Belanda diambil alih, angka persentase ini adalah: 8,2 persen (1951); 7,0 persen (1952); 5,8 persen (1953); 4,6 persen (1954); 4,1 persen (1955); 3,3 persen (1956); dan 2,9 persen (1957). (Meier 1994: 649).
Penurunan dalam arti ekonomi Indonesia bagi Belanda sejak tahun 1953 berkaitan erat dengan merosotnya hubungan ekonomi Indonesia-Belanda akibat merosotnya hubungan diplomatik dengan Belanda.
Di samping jaminan ini, Persetujuan Finec juga memuat ketentuan yang kontroversial yang mewajibkan Pemerintah Indonesia menanggung utang-utang internal Pemerintah Hindia Belanda sebelum Indonesia diduduki Jepang tahun 1942 sebanyak 3,3 milyar gulden (sama dengan 1,13 milyar dollar AS pada kurs devisa yang berlaku pada waktu itu). Selain itu, Pemerintah Indonesia juga diwajibkan menanggung utang eksternal Pemerintah Hindia Belanda sebesar kurang lebih 70 juta dollar AS. (Meier 1994: 47; McT. Kahin 1997: 26; 314)
Jelas sekali bahwa Konferensi Meja Bundar "mewarisi" utang luar negeri yang amat besar kepada Pemerintah Indonesia yang sangat mempersulit upaya Pemerintah Indonesia untuk membiayai rehabilitasi prasarana fisik yang telah hancur akibat pendudukan Jepang dan perjuangan fisik melawan Belanda, apalagi melaksanakan program pembangunan. (Kahin 1997: 27)
Oleh karena itu, Dr Sumitro Djojohadikusumo, yang ikut sebagai anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, sangat menentang konsesi delegasi Indonesia untuk mengambil alih utang-utang dari Pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, Drs Moh Hatta, Wakil Presiden RI yang bertindak sebagai ketua delegasi Indonesia, akhirnya menerima tuntutan pihak Belanda karena ia ingin cepat menyelesaikan perundingan agar tujuan utama-penyerahan kedaulatan kepada Indonesia-dapat tercapai dalam waktu sesingkatnya. (Esmara & Cahyono, 2000: 95-98)
Perkembangan ini pada awal kemerdekaan menyebabkan nasionalisme ekonomi di Indonesia jauh lebih kuat ketimbang di negara-negara Asia Tenggara lainnya, bahkan hingga sekarang. Jika nasionalisme ekonomi diartikan sebagai aspirasi sesuatu bangsa untuk memiliki atau setidak-tidaknya menguasai aset-aset yang dimiliki atau dikuasai orang asing dan untuk menduduki fungsi-fungsi ekonomi yang dilakukan oleh orang asing (Johnson 1972: 26), maka tidak mengherankan nasionalisme ekonomi bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan sangat tersentak oleh kenyataan bahwa bagian terbesar dari sektor-sektor modern Indonesia (perkebunan-perkebunan besar, pertambangan, industri-industri padat modal skala besar, dan sektor jasa-jasa modern, seperti perbankan, perdagangan besar, dan jasa-jasa pelayanan publik, seperti listrik, air, gas, komunikasi, dan transport)-diperkirakan meliputi 25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada waktu itu dan mempekerjakan kurang lebih 10 persen dari angkatan kerja Indonesia-masih dimiliki atau dikuasai Belanda. (Higgins 1990: 40)
Di samping itu, banyak jabatan senior dan penting lainnya di birokrasi Pemerintah Indonesia pada awal tahun 1950-an masih diduduki oleh pejabat-pejabat Belanda, yang pada waktu itu masih berjumlah kurang lebih 6.000 orang. Misalnya, jabatan Gubernur Bank Java (Javasche Bank, cikal bakal Bank Indonesia) dan Kepala Direktorat Dewan Pengendalian Devisa masih tetap dipegang orang-orang Belanda.(Higgins 1990: 40)
Malahan dalam Dewan Direktur Bank Java hanya terdapat satu direktur Indonesia, sedangkan yang lainnya semua masih orang Belanda. Di Departemen Keuangan pun masih ada banyak pejabat Belanda. Menghadapi keadaan ini, tidak mengherankan aspirasi utama nasionalisme ekonomi Indonesia pada waktu itu adalah untuk "merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional", di mana orang-orang Indonesia menjadi 'tuan di rumah sendiri'.
Kebijakan ekonomi selama kurun waktu 1950-1957
Dihadapi dengan tatanan ekonomi yang masih tetap "kolonial", Pemerintah Indonesia mengambil berbagai langkah untuk menguasai dan mengendalikan berbagai sektor dan usaha yang dianggap strategis. Misalnya, pada tahun 1953 Bank Java dinasionalisasikan dan diberi nama baru "Bank Indonesia". Sebagai Gubernur orang Indonesia pertama dari Bank Indonesia diangkat Sjafruddin Prawiranegara, mantan Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta dan Kabinet Natsir. (Prawiranegara 1987: 102-03)
Nasionalisasi Bank Java ini dianggap penting sekali, karena pengendalian peredaran uang dan kredit memang diakui sebagai unsur pokok dari kedaulatan sesuatu negara. (Anspach 1969: 137)
Sebenarnya Pemerintah Indonesia pada awal tahun 1950-an agak enggan melakukan nasionalisasi besar-besaran dari perusahaan-perusahaan Belanda, karena merasa terikat dengan Persetujuan Finec hasil Konferensi Meja Bundar. Keengganan ini juga disebabkan kabinet-kabinet pertama pada paruh pertama tahun 1950-an (Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, dan Kabinet Wilopo) pada umumya masih terdiri atas orang-orang nasionalis moderat dan pragmatis yang menyadari bahwa peran penting perusahaan-perusahaan dan pejabat-pejabat Belanda, meskipun tidak menyenangkan, masih diperlukan untuk sementara waktu.
Meskipun demikian, pada akhir tahun 1952 Kabinet Wilopo mengambil keputusan tegas untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik swasta Belanda. (Anspach 1969: 145)
Menurut persetujuan Finec, nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda bisa dilakukan jika hal ini dianggap perlu untuk kepentingan nasional dan disetujui oleh kedua belah pihak. Di samping itu jumlah kompensasi harus diputuskan oleh seorang hakim atas dasar nilai riil usaha yang dinasionalisasikan. (Meier 1994: 46-47)
Selain nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik, Pemerintah Indonesia atas desakan keras golongan nasionalis pada tahun 1954 juga menasionalisasikan perusahaan penerbangan Garuda Indonesian Airways yang didirikan pada tahun 1950 sebagai usaha patungan antara perusahaan penerbangan Belanda KLM dan Pemerintah Indonesia. Dalam usaha itu kedua belah pihak masing-masing memegang 50 persen saham dari perusahaan ini. Dalam akta pendirian Garuda, Pemerintah Indonesia diberi opsi untuk membeli saham mayoritas sesudah 10 tahun, sedangkan pengendalian manajemen dipegang oleh KLM.
Dalam tahun-tahun berikutnya KLM mulai menjual sebagian dari sahamnya kepada Pemerintah Indonesia, tetapi di lain pihak KLM enggan sekali menyerahkan pengendalian manajemen kepada pihak Indonesia. Akan tetapi, nasionalisasi Garuda oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I dibarengi juga dengan pengambilalihan pengendalian manajemen oleh pihak Indonesia. Sejak itu peran KLM hanya terbatas pada pemberian bantuan teknis kepada Garuda. (Anspach 1969: 146)
Upaya Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan sektor industri manufaktur modern yang dikuasai dan dikendalikan oleh orang Indonesia sendiri dimulai dengan Rencana Urgensi Ekonomi yang bertujuan mendirikan berbagai industri skala besar. Menurut rencana ini, pembangunan industri-industri akan dibiayai dulu oleh pemerintah, tetapi kemudian akan diserahkan kepada pihak swasta Indonesia, koperasi, atau dikelola sebagai usaha patungan antara pihak swasta nasional dan Pemerintah Indonesia. (Anspach 1969: 163)
Gagasan tentang peran perintis Pemerintah Indonesia dalam industrialisasi Indonesia agak mirip dengan peran yang dilakukan Pemerintah Jepang selama tahap awal industrialisasi Jepang selama zaman Meiji. Sayang sekali, pelaksanaan Rencana Urgensi Ekonomi berjalan tersendat-sendat, dan pabrik-pabrik yang sempat dibangun beroperasi dengan hasil yang mengecewakan. Oleh karena itu, rencana ini dihapus pada tahun 1956 dan diganti dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (1955-1960) yang telah disusun oleh Biro Perancang Negara yang dipimpin oleh Ir Djuanda. (Anspach 1969: 163)
Untuk menyusun kekuatan tandingan terhadap kepentingan ekonomi Belanda, Pemerintah Indonesia pada tahun 1950 meluncurkan Program Benteng. (Djojohadikusumo 1986: 35)
Hal ini diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dan dengan menempatkan sektor ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor, di bawah pengendalian nasional. Untuk mencapai tujuan ini, lisensi-lisensi impor disalurkan ke pengusaha-pengusaha nasional, khususnya pengusaha-pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat dipupuk dari perdagangan impor, para pengusaha pribumi Indonesia mampu melakukan diversifikasi ke bidang lain, seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi, dan industri-industri substitusi impor, seperti yang dirintis beberapa perusahaan pribumi, misalnya perusahaan milik Dasaad Musin dan Rahman Tamin. (Anspach 1969: 168)
Ditinjau dari segi pengendalian nasional atas perdagangan impor, Program Benteng cukup berhasil karena pada pertengahan tahun 1950-an kurang lebih 70 persen dari perdagangan impor sudah dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Indonesia. (Burger 1975: 171)
Namun, dalam waktu singkat sudah kelihatan bahwa Program Benteng mengandung berbagai kelemahan, terutama dengan munculnya banyak 'importir aktentas', yaitu orang yang tidak memanfaatkan peluang baik untuk memperoleh keterampilan dan pengalaman dalam perdagangan impor, tetapi justru menjual lisensi impor yang mereka peroleh kepada importir lain, kebanyakan importir etnis Cina.
Dengan demikian, Program Benteng justru membuka peluang bagi 'kegiatan perburuan rente' (rent-seeking activities) sehingga kurang berhasil dalam mengembangkan golongan wiraswasta nasional sejati yang tangguh dan mandiri. Hal ini sebenarnya sejak awal sudah disadari oleh Profesor Sumitro, salah seorang arsitek Program Benteng, yang dalam suatu wawancara pernah menyatakan bahwa jika "dari bantuan dari Program ini kepada 10 orang, tujuh orang ternyata adalah benalu, tiga orang lainnya masih bisa muncul sebagai wiraswasta sejati". (Djojohadikusumo 1986: 35)
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada Program Benteng mendorong Pemerintah Indonesia mengadakan penyaringan ketat untuk mengeliminasi importir semu atau tidak mampu. Akibat penyaringan ini jumlah importir yang terdaftar berhasil dikurangi, dari 4.300 sampai kurang lebih 2.000. (Burger 1975: 171)
Akan tetapi, perkembangan politik dalam negeri setelah pertengahan tahun 1950-an, khususnya pergolakan di daerah, mengalihkan perhatian pemerintah kepada bahaya perpecahan bangsa. Penyelundupan komoditas-komoditas ekspor dari daerah-daerah luar Jawa mengakibatkan pasokan devisa bagi Pemerintah Indonesia banyak berkurang sehingga mengurangi devisa untuk menunjang Program Benteng. Hal ini termasuk kegagalan untuk mengembangkan wiraswasta nasional yang tangguh, akhirnya mendorong Pemerintah Indonesia menghapus Program Benteng. Karena Program Benteng ini dianggap sebagai upaya pokok utuk pengembangan wiraswasta nasional, maka kegagalan Program Benteng menciptakan iklim yang makin condong untuk menasionalisasikan usaha-usaha Belanda yang dianggap menghambat pengembangan wiraswasta nasional. (Anspach 1969: 179)
Sementara itu, hubungan dengan Belanda makin merosot akibat pertikaian tentang Irian Barat. Rasa permusuhan terhadap Belanda makin memuncak sewaktu Sidang Umum PBB pada akhir November 1957 gagal menerima mosi Indonesia yang mendesak Belanda merundingkan status Irian Barat dengan Indonesia. Presiden Soekarno memberikan reaksi keras terhadap putusan ini, dan mengimbau rakyat Indonesia untuk membangun kekuatan yang dapat memaksa Belanda menyerahkan Irian Barat. Dalam waktu dekat suatu kampanye raksasa muncul di Jakarta dan di tempat-tempat lain terhadap perusahaan-perusahaan dan milik Belanda lainnya, yang berakhir dengan pengambilalihan semua perusahaan Belanda. Meskipun dalam kampanye waktu itu tidak ada seorang Belanda pun hilang nyawanya, namun dalam waktu singkat puluhan ribu orang Belanda meninggalkan Indonesia. (Legge 1973: 292-93)
Aksi massa untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda menjadikan Pemerintah Indonesia mengambil alih pengendalian atas perusahaan-perusahaan Belanda dengan fait accompli. Untuk mengendalikan perkembangan yang memprihatinkan, pemerintah memutuskan mengambil alih pengendalian atas perusahaan-perusahaan Belanda yang diambil alih massa. (Legge 1973: 293-94)
Pada tahun 1958, perusahaan-perusahaan Belanda ini dinasionalisasikan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia, dan diubah statusnya menjadi perusahaan negara. Dengan kejadian ini, setelah beroperasi selama kurang lebih 350 tahun di Indonesia, seluruh bisnis Belanda hengkang dari Indonesia.
Penutup
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda untuk sebagian besar memang berhasil memenuhi aspirasi nasionalisme ekonomi Indonesia untuk "menjadi tuan di rumahsendiri". Di samping itu tidak dapat disangkal bahwa dengan tetap bercokolnya bisnis Belanda, ruang gerak Pemerintah Indonesia untuk merombak struktur kepemilikan ekonomi kolonial menjadi sangat terbatas. Selain kekurangan dana untuk membayar kompensasi kepada perusahaan Belanda yang dinasionalisasikan, pada waktu itu belum ada cukup wiraswasta dan manajer nasional yang dapat mengelola perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan. (Glassburner 1971: 94)
Memang di atas kertas, Pemerintah Indonesia secara gradual dapat mengembangkan suatu golongan wiraswasta nasional dan manajer profesional yang cukup tangguh.
Pengembangan wiraswasta nasional diusahakan melalui Program Benteng, tetapi program ini, dengan beberapa pengecualian, telah gagal dalam mengembangkan wiraswasta nasional yang tangguh. Manajer-manajer profesional diharapkan dapat muncul dari kalangan manajer Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. Jika keadaan politik pada waktu itu telah mengizinkan, maka perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan sebenarnya juga dapat menarik manajer-manajer Indonesia keturunan Cina yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik pengusaha etnik Cina, seperti dilakukan pimpinan Central Trading Company (CTC), perusahaan dagang milik negara pertama yang telah didirikan di Bukittinggi selama perjuangan fisik melawan Belanda. (Daud 1999: 44-45)
Pentingnya pengembangan sumber daya manusia Indonesia untuk keberhasilan pembangunan nasional Indonesia juga telah ditekankan oleh nasionalis moderat, seperti Sjafruddin Prawiranegara. (1987: 106)
Akan tetapi, tetap berlangsungnya dominasi bisnis Belanda dalam alam Indonesia merdeka dan sikap kaku Pemerintah Belanda yang terus menolak merundingkan status Irian Barat tidak memberikan peluang bagi pemimpin-pemimpin moderat-seperti Moh Hatta, Sjafruddin Prawiranegara, dan Djuanda-untuk menempuh kebijakan yang gradual dan hati-hati, dan akhirnya memberikan peluang bagi pemimpin yang lebih radikal, terutama Presiden Soekarno, untuk menempuh kebijakan yang konfrontatif yang berakhir dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.
Langkah ini tidak berhasil memecahkan berbagai masalah ekonomi gawat yang dihadapi Indonesia pada waktu itu, terutama laju inflasi yang tinggi akibat pembiayaan defisit (deficit financing) anggaran pemerintah yang besar yang disebabkan oleh displin fiskal yang lemah dan merajalelanya pasar gelap devisa karena apresiasi riil (overvaluation) rupiah yang diakibatkan oleh laju inflasi yang tinggi. Keadaan ini juga memaksa Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang makin besar pada pengendalian jumlah cadangan devisa dan emas yang terbatas sehingga masalah-masalah ekonomi lainnya diabaikan. (Mackie 1971: 58-67)
Lagi pula, vakum ekonomi yang telah ditinggalkan oleh hengkangnya pengusaha-pengusaha Belanda dengan cepat diisi oleh pengusaha-pengusaha Indonesia keturunan Cina dan etnis lainnya, dan bukan oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam perkembangan selanjutnya hal ini akan menimbulkan masalah sosial dan ekonomi baru, terutama selama masa Orde Baru, yang hingga kini pun masih belum dapat dipecahkan dengan tuntas. Suatu masalah lain adalah bahwa dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, Pemerintah Indonesia dalam sekejap mata memiliki ratusan perusahaan negara baru, hal mana memang telah sangat memperbesar pengendalian nasional atas berbagai sektor ekonomi yang strategis maupun yang kurang strategis. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya perusahaan-perusahaan negara (kini disebut BUMN), terutama selama Orde Baru, telah membuka peluang bagus untuk praktik-praktik KKN, khususnya dengan menjadikannya sebagai sapi perahan oleh oknum-oknum pemerintah yang korup. Dengan demikian, banyak perusahaan negara tidak bisa beroperasi secara efisien dan menghasilkan penerimaan yang berarti bagi kas negara, malahan sering harus diberikan subsidi oleh pemerintah.
Tidak mengherankan bahwa dalam program reformasi ekonomi Indonesia yang digulirkan setelah krisis ekonomi Asia tahun 1997/98, privatisasi BUMN merupakan salah satu prioritas pemerintah, meskipun pelaksanaannya lamban sekali.
Jakarta, 12 Mei 2001
* Thee Kian Wie
sejarawan ekonomi pada Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PEP-LIPI), Jakarta.
Acuan
Abdullah, Taufik, (editor), 1997, The Heartbeat of Indonesian Revolution, PT Gramedia Pustaka Utama in Cooperation with Program of Southeast Asian Studies, LIPI, Jakarta.
Anspach, Ralph, 1969, Indonesia, dalam: Golay, et. al., 1969, hlm 111-202.
Baudet, H. & M. Fennema, et.al., 1983, Het Nederlands belang bij Indie (Kepentingan Belanda di Indonesia), Het Spectrum, Utrecht.
Burger, D.H., 1975, Sociologisch-Economische Geschiedenis van Indonesie - Deel II: Indonesia in de 20e Eeuw (Sejarah Sosiologi Ekonomi Indonesia, Jilid II: Indonesia dalam Abad ke-20), Koninklijk Instituut voor de Tropen, Amsterdam.
Daud, Teuku Mohamad, 1999, Survey of Recent Developments, dalam: Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 35, no. 3, December, hlm 41-50.
Djojohadikusumo, Sumitro, 1986, Recollections of My Career, dalam: Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 22, no. 3, December, hlm 27-39.
Esmara, Hendra, & Heru Cahyono, 2000, Sumitro Djojohadikusumo- Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Glassburner, Bruce, 1971a, Economic Policy-Making in Indonesia, 1950-1957, dalam: Glassburner (editor), 1971b, hlm 70-98.
, - , (editor), 1971b, The Economy of Indonesia - Selected Readings Cornell University Press, Ithaca and London.
Golay, Frank; Ralph Anspach; M. Ruth Pfanner; & Eliezer B. Ayal, 1969, nderdevelopment and Economic Nationalism in Southeast Asia Cornell University Press.
Higgins, Benjamin, 1990, hought and action: Indonesian economic studies and policies in the 1950s dalam: Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 26, no. 1, hlm 37-47.
Houben, Vincent, 1996, Van Kolonie tot Einheidstaat (Dari Jajahan Sampai Negara Kesatuan), Semaian 16, Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie, Rijksuniversiteit te Leiden.
Johnson, Harry, 1972, The Ideology of Economic Policies in the New States, dalam: Wall (editor), 1972.
Kahin, George McT., 1997, Some Recollections from and Recollections on the Indonesian Revolution, dalam: Abdullah (editor), 1997, hlm 10-28.
Legge, J.D., 1973, Sukarno - A Political Biography, Penguin Books.
Mackie, J.A.C., 1971, The Indonesian Economy, 1950-1963, dalam: Glassburner (editor), 1971b, hlm 16-69.
Meier, Hans, 1994, Den Haag-Djakarta - De Nederlands-Indonesische betrekkingen 1950-1962 (Den Haag-Djakarta-Hubungan negeri Belanda-Indonesia, 1950-1962), Aula paperbacks, Het Spectrum B.V., Utrecht.
Prawiranegara, Sjafruddin, 1987, Recollections of My Career, dalam:
Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 23, no. 3, December, pp. 100-07.
Wall, David, (editor), 1972, Chicago Essays in Economic Development, University of Chicago Press.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/tant53.htm
soekarno file di kompas
1 comment:
Il semble que vous soyez un expert dans ce domaine, vos remarques sont tres interessantes, merci.
- Daniel
Post a Comment