SOEKARNO adalah generasi kedua dari nasionalis Indonesia yang mewarisi pencapaian generasi yang mendahuluinya yang diwakili orang-orang seperti Douwes Dekker, Tjokroaminoto, Sneevliet, Semaoen, Haji Fachroddin, dan Haji Misbach di zaman pergerakan pada seperempat pertama abad ke-20. Soekarno tidak mempertanyakan kenapa rakyat dipisahkan oleh garis ideologis Islam, marxisme, dan nasionalisme. Ia menerima kenyataan ini begitu saja dan menganjurkan agar Islam, marxisme dan nasionalisme bersatu. Ia menerima apa adanya nasionalisme Indonesia dan tidak mempertanyakan kenapa nasionalisme Indonesia dan bukannya nasionalisme Jawa. Ia menerima demokrasi, yaitu kerakyatan, sebagai dasar untuk Indonesia merdeka. Ia memberi marhaenisme sebagai namanya, tanpa mempertanyakan dalam bentuk apa kerakyatan seharusnya berbentuk. Dengan mewarisi semua yang dicapai generasi yang mendahuluinya, tesis, antitesis segala tanpa sintesis, ia menjadi orang yang penuh kontradiksi.
Ini penting sekali jika kita ingin memahami bagaimana kebudayaan dan nasionalisme Jawa membentuk idenya mengenai demokrasi dan nasionalisme. Pada kenyataannya ia mewarisi dua cabang pemikiran nasionalisme dan demokrasi yang satu sama lain saling bertentangan. Kedua aliran pemikiran itu paling jelas diwakili oleh Soetatmo Soeriokoesoemo dan Tjipto Mangoenkoesoemo pada 1910-an dalam perdebatan mengenai nasionalisme, perkembangan kebudayaan Jawa, dan demokrasi.
Tjipto dikenal baik sebagai nasionalis Indies (Hindia), seorang dokter Jawa, anggota dan pendiri Indische Partij, yang akhirnya menjadi mentor Soekarno pada pertengahan 1920-an. Sedangkan Soetatmo, berasal dari lingkungan Paku Alam di Yogyakarta, adalah pendukung nasionalisme Jawa. Ia juga pemimpin jurnal berbahasa Belanda Wederopbouw (Rekonstruksi) pada 1910-an. Ia lantas bergabung dengan Soewardi Soerjaningrat, yang kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, untuk mendirikan Taman Siswa. Pada awal 1920-an, ia menjadi ketua pertama Taman Siswa, dengan Soewardi sebagai sekretarisnya. Apa ide mereka mengenai nasionalisme, perkembangan kebudayaan Jawa, dan demokrasi, yang kemudian diwarisi oleh Soekarno dan pada akhirnya diteruskan kepada orang-orang Indonesia sekarang? Pertama-tama mari kita membicarakan Soetatmo dan kemudian Tjipto.
***
SEBAGAI orang Boedi Oetomo, Soetatmo Soeriokoesoemo, seperti kebanyakan pendukung nasionalisme Jawa, mengatakan bahwa nasion dapat dan mesti dibangun atas dasar kebudayaan dan bahasa yang dipakai orang banyak. Nasionalisme Jawa memiliki dasar yang dapat ditemukan dalam kebudayaan, bahasa, dan sejarah orang Jawa. Sementara nasionalisme Indies sama sekali tidak eksis landasannya atau setidaknya merupakan kreasi pemerintah kolonial Belanda. Dalam pandangan Soetatmo hanya nasionalisme Jawa yang memiliki dasar kebudayaan yang kuat sebagai landasan komunitas politik untuk masa depan.
Apa yang dimaksudkan oleh Soetatmo ketika ia membicarakan kebudayaan Jawa dan bagaimana kebudayaan itu dapat berkembang? Ia mengatakan bahwa opvoeding, pembinaan, merupakan inti pokok kebudayaan Jawa dan dasar perkembangan Jawa. Dalam pandangannya, wilayah moral dalam diri manusia merupakan orde tertinggi yang dikendalikan kekuatan Ilahi, dan dalam kebudayaan Jawa tugas pembinaan moral diserahkan kepada pandita yang hidup dalam asketisme dan jauh dari hiruk-pikuk persoalan sosial, terus-menerus berusaha mengendalikan diri dan berusaha mengatasi semua perbedaan yang timbul karena perbedaan garis partai, agama atau kepentingan. Lebih jauh dari itu seorang pandita belajar memahami hukum tertinggi. Namun, pandita tidak lagi berada di sini, ia telah lama hilang dalam sejarah, sehingga yang sekarang tersisa sebagai sumber pokok kebijakan Jawa, dan sarana pendidikan moral untuk orang Jawa adalah wayang.
Soetatmo melihat perkembangan yang sedang terjadi saat itu penuh dengan keraguan. Ia percaya betul, seperti juga nasionalis Jawa lainnya, bahwa puncak kejayaan Jawa telah dicapai pada masa Majapahit, setelah itu sejarah Jawa penuh dengan cerita kemunduran dan mencapai titik terendahnya setelah dijajah Belanda. Ia menggambarkan suasana waktu itu pada buku kecil berjudul Sabdo-Panditto-Ratoe (diterbitkan tahun 1920) seperti berikut:
"Saat ini, Indies sedang mengalami kekacauan, neraka; orang tidak lagi bisa membedakan antara teman dan musuh. Pemerintah memainkan peran ganda, sesekali menjadi teman, namun pada saat lain berubah menjadi musuh; sekarang progresif, tapi kemudian bisa berubah menjadi reaksioner. Orang berkelahi melawan temannya sendiri, dan bergandengan tangan dengan musuhnya, padahal pada saat yang sama mereka sama-sama yakin sedang melawan musuh. Tak seorang pun tahu di mana ujung dari kekacauan ini dan kerusuhan muncul di mana-mana; ningrat melawan bukan-ningrat, kromo berhadapan dengan ngoko, kapital lawan buruh, pemerintah melawan yang diperintah, pemerintah melawan rakyat; masyarakat sudah jungkir balik dan berantakan. Itulah gambaran mengenai Indies saat ini."
Dalam pandangan Soetatmo, sistem politik yang sedang berjalan di Indies tidak benar. Ia membandingkan negara Indies dengan sebuah keluarga yang "bapaknya cerewet dan ibunya sibuk mengurus diri sendiri, sehingga lupa tugasnya terhadap anak-anak". "Jika ibu terus-menerus menolak tugasnya, kecelakaan tak terhindarkan. Dan ketika kecelakaan terjadi, anak-anak adalah pemenangnya. Aturan akan kacau, sebagai akhir bapak dan ibu harus menaatinya. Dan itulah gambaran negara yang berlandaskan demokrasi."
Soetatmo sangat mengerti bahwa gelombang yang menuju negara demokratis tak terhindarkan. Ia juga memperhatikan dengan sedih orang-orang menerima dengan penuh antusias datangnya demokrasi. Namun, ia percaya bahwa volksregeering atau pemerintahan rakyat yaitu demokrasi adalah ilusi. Karena "jika setiap individu memiliki hak sama, mereka tak punya tugas untuk dipenuhi, setiap individu bersandar pada dirinya, haknya sendiri dan tak ada masyarakat yang mungkin bertahan. Anak-anak akan mengurus dirinya sendiri, karena mereka menekankan bahwa setiap orang harus menghormati haknya. Tak akan ada persatuan sama sekali, tetapi hanya perbedaan-perbedaan, tak ada keteraturan tetapi kekacauan."
Lantas apa jalan keluarnya? Soetatmo mengatakan bahwa pembinaan moral adalah kuncinya. Ia melihat opvoeding yang diberikan pandita-ratoe sebagai jalan dan kunci baik untuk perkembangan kebudayaan Jawa maupun jawaban atas demokrasi. Ia mengatakan bahwa pembinaan moral harus diarahkan oleh pandita yang sangat mengerti aturan tertinggi, demokrasi harus diarahkan pandita-ratu yang bijaksana. Ia menulis dalam Sabdo-Panditto-Ratoe:
"Persamaan dan persaudaraan... harus juga disampaikan dengan benar; tetapi bukan persamaan dalam demokrasi, yang berbicara mengenai persamaan hak, tetapi persamaan dalam keluarga, anak tertua memainkan peranan penting dalam urusan domestik rumah, sehingga ia mendapatkan hak yang lebih banyak daripada adik-adiknya yang lebih mudah dan masih banyak bermain. Tak ada persamaan hak dalam keluarga seperti itu, tetapi di antara anak-anak aturan mengenai persamaan dan persaudaraan telah cukup dilaksanakan seperti makna yang terkandung di dalamnya."
Dengan kata lain, "apa yang dikatakan Bapak itu baik, karena Bapak itu benar! Itulah keluarga ideal, begitu juga negara." Adalah Bapak/yang bijaksana/pandita-ratoe yang mesti mengarahkan demokrasi dan perkembangan kebudayaan Jawa.
***
SEPERTI nama jurnalnya Wederopbouw, yang artinya rekonstruksi, nasionalisme Jawa seperti yang dianjurkan oleh Soetatmo Soeriokoesoemo adalah ideologi restorasi yang dilihatnya sebagai kunci untuk pembaharuan atas aturan sosial Jawa dan merupakan jawaban atas demokrasi, partisipasi rakyat dalam politik. Soetatmo menggarisbawahi pentingnya pandita/pandita-ratoe. Karena ia percaya bahwa itu adalah tugas nasionalis Jawa untuk memainkan peran pandita, bertanggung jawab atas opvoeding, pembinaan, dan merestorasi kebudayaan Jawa dan bahwa tokoh pergerakan, yang sering disebut satria (sebagai kebalikan dari pandita), hanya menimbulkan kekacauan pada kebudayaan dan aturan sosial Jawa. Pemikiran Soetatmo mengenai opvoeding (pembinaan/tut wuri handayani), negara kekeluargaan dan pandita-ratoe yang bijaksana memberi landasan pada teori Soewardi tentang demokrasi dan leiderschap (kepemimpinan), yang pada akhirnya diwarisi oleh Soekarno dalam rumusannya yang tertuang pada Demokrasi Terpimpin.
Tjipto Mangoenkoesoemo, demokrat sejati, tidak setuju dengan Soetatmo dan tetap mendukung ide nasionalisme Indies. Dalam pandangannya, Soetatmo tidak mengerti perkembangan sejarah dunia. Tidak diragukan lagi bahwa Indies terdiri dari banyak kelompok etnis yang berbeda dalam budaya dan bahasanya seperti yang dikatakan Soetatmo. Tetapi Jawa sudah lama kehilangan kedaulatannya dan menjadi bagian dari Hindia Belanda yaitu Indies. 'Tanah air' orang Jawa bukan lagi Jawa, tetapi Indies dan adalah tugas pemimpin nasional untuk merumuskan nasionalisme Indies. Tjipto lantas menggambarkan nasion untuk Indiers sebagai landasan masa depan Indies merdeka, sementara nasion Jawa seperti yang dibayangkan Soetatmo berlandaskan identitas kebudayaan Jawa.
Tjipto tidak melihat inti kebudayaan Jawa dalam opvoeding, pembinaan, ia malah menyebutnya sebagai Hinduisme, ko-eksistensi antara rakyat dan dewa, sistem kasta, dan wayang. Menurut dia, hinduisme menjadi halangan bagi perkembangan kebudayaan Jawa. Contoh yang baik adalah sistem kasta, yang masih memegang kokoh prinsip suksesi berdasarkan garis keturunan untuk jabatan bupati. Sistem kasta ini menjadi pilar pemerintahan Hindia Belanda dan hanya menimbulkan kesulitan kreativitas bagi orang Jawa. Tetapi waktu telah berubah dan orang Jawa harus berubah seiring dengan itu. Masa kejayaan Majapahit telah lama berlalu. Restorasi kejayaan Majapahit tidak mungkin menjadi tujuan untuk orang Jawa pada abad ke-20. Dan dalam pandangannya bukan opvoeding, pembinaan, yang bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat juga. Yang penting dan harus dilakukan orang Jawa adalah mempelajari ilmu pengetahuan Barat untuk tujuan ini.
Dalam pandangan Tjipto, pendapat Soetatmo soal opvoeding, pembinaan, cuma ilusi. Soetatmo mengatakan bahwa pandita mesti mampu mengendalikan diri dan mengerti aturan-aturan Ilahi. Tjipto tidak setuju, karena kebudayaan Jawa dalam pandangannya tidak berhasil menekan egoisme walaupun menempatkan posisi yang tinggi pada moral ketimbang materi dan juga tidak memberikan ruang bagi materi untuk berkuasa di atas pengorbanan kehidupan yang lebih bermoral. Sebaliknya, seseorang harus dapat memetik pelajaran dari sejarah Jawa, katanya, bahwa orang-orang di masa lampau melakukan praktik asketisme dan meditasi serta mengendalikan nafsunya hanya untuk keselamatan anak-cucunya di masa depan, biasanya tujuan konkretnya adalah mencari berkah Tuhan, sehingga salah seorang dari keturunannya nanti akan menjadi raja di tanah Jawa. Dalam pandangannya sama sekali bukan opvoeding, pembinaan, yang akan menyumbangkan kesejahteraan untuk rakyat banyak. Dan dalam pandangannya, kebudayaan dan bahasa Jawa memang tidak berguna untuk tujuan ini.
Lantas apa yang harus dilakukan, dalam perspektif Tjipto, untuk perkembangan kebudayaan Jawa? Bagaimana pandangannya tentang demokrasi dalam kaitan dengan kebudayaan Jawa? Tjipto mengatakan bahwa orang Jawa sebaiknya bereinkarnasi menjadi orang Indier sehingga kebudayaan Jawa mengambil alih karakter baru secara total, karena kebudayaan Jawa dengan segala elemennya yang sudah usang dan sekarang hanya menjadi halangan bagi perkembangan rakyat akan mati dalam proses transformasi orang Jawa menjadi orang Indier. Itu karena hinduisme, seperti yang terwujud secara melembaga dalam sistem kasta, sejak lama telah menekan kreativitas dan inisiatif rakyat. Rakyat hanya bisa dibebaskan dari kematian moral ini jika kebudayaan Jawa dihancurkan dan orang Jawa bereinkarnasi menjadi orang Indier.
Dalam pandangan Tjipto, merekonstruksi kembali kebudayaan Jawa seperti yang dianjurkan Soetatmo adalah resep yang salah bagi demokrasi dan perkembangan kebudayaan Jawa. Soetatmo lebih melihat rakyat sebagai obyek yang harus diarahkan, kawulanya Bapak/pandita-ratu yang bijaksana. Tjipto percaya bahwa rakyat akan berubah sejalan dengan berjalannya sejarah dan partisipasi orang banyak dalam politik, yang merupakan inti dari pergerakan secara umum, memberikan tekanan atas transformasi orang Jawa menjadi orang Indier.
Tjipto sepenuh hati menerima datangnya demokrasi dan melihat perkembangan pergerakan sebagai lahirnya orang Indier. Siapakah orang Indier? Dalam makalah yang diberikan pada acara Kongres Indiers Pertama di Semarang pada 1913 dan diberi judul Beberapa Pandangan tentang Jawa, Sejarah dan Etika, Tjipto menyerang kolonialisme Belanda pada sisi otorianisme dan eksploitasi kapitalis serta menyalahkan priyayi karena kehilangan integritas dan otonominya karena menjadi bawahan Belanda dan bermain-main dengan persoalan Jawa bagi kepentingan tuan mereka: Belanda.
Ia mengatakan, serangan dari penjajah Belanda dan Hindu Jawa yang menghancurkan karakter bebas dan tegas yang semula dimiliki orang Jawa, yang ujungnya berakhir pada kehancuran Jawa itu sendiri. Melihat sejarah Jawa dalam perspektif ini, Tjipto lantas bertanya, siapakah "kita" contohkan untuk hidup dalam masa yang mengenaskan ini dan mendapatkan kembali keteguhan dan kebebasan sebagai karakter. Dalam pandangannya, hal tersebut terdapat dalam diri Dipanegara sebagai satria yang menentang kehancuran moral. Menurut dia:
"Apa yang kita lihat pada Pangeran Dipanegara? Seorang pemberontak biasa yang terdorong oleh nafsu meraih untung atau ambisi telah menyerahkan negerinya pada apa yang jadi momok bagi tiap orang-perang? Apakah fanatisme bodoh macam ini yang membuatnya mengibarkan panji-panji pemberontakan? Saya percaya, saya akan dibenarkan jika meniadakan pertanyaan ini. Ada tugas mulia yang harus dilaksanakan. Ia merasa ditakdirkan untuk melaksanakan tugas ini. Baik kalau begitu! Dengan energi dan kegigihan luar biasa ia mengikuti arah hidupnya (yang sudah ditakdirkan). Ia memang gagal. Tetapi, saya pikir Anda seperti juga saya, tidak boleh menilai kerja orang semata dari keberhasilannya. Di samping itu, memang bukan maksud saya menilai ketangguhan Dipanegara. Saya hanya mau menunjukkan bahwa kebalikan dengan apa yang dipercaya beberapa orang, orang Jawa itu sebenarnya punya dasar etika yang dalam, suatu dasar untuk membangun sumber moral yang mestinya membuat kita jadi optimis akan kemungkinan bangkitnya zaman keemasan kita.
Perhatian Tjipto di sini adalah etika dan moral, sebagaimana ia melihat Dipanegara sebagai satria yang menentang kehancuran moral, ia mengajak audiensnya untuk bersikap seperti satria dan meneguhkan karakter moralnya. Pandangannya tentang satria sangat berbeda jauh dari pengertian asalnya, serta bebas dari pengaruh hinduisme yang menekankan hanya kepada kualitas moral.
Maka tidak mengherankan ketika mengetahui bagaimana ia melihat reinkarnasi orang Jawa menjadi Indiers, kelahiran kembali Jawa, harapannya agar Indies merdeka dari Belanda, dan feodalisme Jawa. Dalam suratnya yang dikirimkan kepada kawan Belandanya pada 1916, ia menulis:
"Mengapa orang Belanda, yang tidak bodoh dalam banyak hal, ternyata telah menghabiskan banyak waktu sampai akhirnya sadar ke mana ia harus melangkah beserta koloninya, padahal mestinya ia bisa memikirkannya sejak dulu? Jawaban pertanyaan ini, saya pikir, terutama karena sifat patuh orang Jawa, yang selalu bilang ja atau amin pada apa pun yang dibebankan padanya tanpa prasangka bahwa sebagai manusia ia juga punya hak asasi yang tak bisa dikesampingkan begitu saja; di distrik-distrik gula khususnya, ia demikian sering diinjak-injak. Singkatnya, karena kurangnya semangat perlawanan (oppositiegeest) maka kita "tidak punya hak", baik secara langsung maupun tidak.
Tanpa terasa saya sampai ke hal kedua yang ingin saya bicarakan denganmu - sehingga kamu tidak salah menilai saya, misalnya mengaitkan dengan sifat baik yang justru tidak ada pada saya.
Obat untuk penyakit apa pun sebenarnya sangat mudah jika penyakitnya diketahui. Dalam kasus kami sekarang semuanya sudah jelas, saya pikir, bahwa (masalahnya) karena kurangnya semangat perlawanan. Budaya Jawa tak membolehkan munculnya kritik terhadap kebijakan pemegang kuasa - sebaliknya, budaya ini mengharuskan kita tunduk tanpa syarat pada pandangan penguasa. Soesoehoenan, misalnya, boleh menyatakan bahwa ia adalah keturunan Adam dan Arjuna, semata-mata untuk menjadikan dirinya berasal dari sumber yang suci dan hebat, sehingga ia bisa mengontrol kita dan membuat kita merasa sebagai manusia biasa, keturunan kromo atau Soeto yang tidak akan berhasil dalam setiap pemberontakan. Oleh karena dewa-dewa adalah nenek moyang Soesoehoenan maka tak perlu dibilang bahwa mereka jelas membela pemegang kuasa ini.
Akan tetapi, izinkan saya kembali menjelaskan obat kami. Saya bisa bilang bahwa itu tak lain adalah "pengorganisasian rasa tidak puas", sama seperti yang akan dikatakan De Locomotief. Oposisi harus dilakukan terhadap pemegang kuasa, dengan wajar dan jika mungkin dengan pengetahuan (nyata) tentang hal-hal tersebut. Tetapi, jika terbukti tidak bisa, oposisi demi oposisi semata. Tolong jangan anggap ini sebagai ekspresi antipati saya terhadap dominasi Belanda, sebab saya pun akan tetap beroposisi jika orang Jawa yang berkuasa. Kamu tahu lebih banyak dari pada saya bahwa di dalam BB (Binnenlandsch Bestuur), misalnya, ada pejabat-pejabat yang luar biasa takutnya terhadap kritik yang tajam. Jujur saja, inilah alasan mengapa saya justru melakukannya (yaitu mengekspresikan kritik yang tajam) pada tempat pertama, kedua, dan ketiga. Betapapun, kekhawatiran adalah cara yang baik untuk mencegah terjadinya penyimpangan kekuasaan."
Tidak perlu komentar panjang mengenai apa yang dikatakan Tjipto. Itu adalah pembentukan karakter, menempa orang Jawa menjadi satria seperti Dipanegara dengan cara menghadapkan mereka pada serangkaian kesulitan dan kesusahan, yang dianggap Tjipto sebagai obat untuk "orang Jawa yang mudah diatur". Dan ia melihat bahwa satria Indiers yang bereinkarnasi akan menjadi landasan bagi kemerdekaan Indies.
***
SUDAH jelas kiranya bahwa Soekarno mewarisi dua aliran pemikiran yang berkembang pada nasionalis generasi pertama seperti yang diwakili Soetatmo dan Tjipto. Tetapi Soekarno bukanlah pemikir, ia adalah seorang yang mementingkan tindakan. Maka ia menyerap segala hal walaupun itu mengandung kontradiksi di dalamnya, tesis dan antitesis semua, yang kemudian terwujud secara berbeda-beda dalam hidupnya.
Pada tahun 1920-an, ketika bersama Tjipto, Soekarno bicara seperti Tjipto, menyuarakan perlunya national spirit ditempa menjadi national will yang akhirnya akan mewujud dalam bentuk aksi nasional. Pada masa 1960-an, sebaliknya, ia menyuarakan Demokrasi Terpimpin, yang didapatnya dari konsep demokrasi dan leiderschap (kepemimpinan) dari Ki Hadjar Dewantara, yang sangat dipengaruhi oleh visi Soetatmo mengenai negara kekeluargaan di bawah kendali Bapak/yang bijaksana/pandita-ratu.
* Takashi Shiraishi, Profesor Ilmu Sejarah di Universitas Kyoto, Jepang.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/tjip54.htm
No comments:
Post a Comment