Maruli Tobing
JANUARI 1965 mendung menyelimuti Jakarta. Rakyat letih dan cemas. Isu kudeta merebak di tengah inflasi meroket. Bahan-bahan kebutuhan pokok lenyap di pasaran. Setiap hari rakyat harus sabar berdiri dalam antrean panjang untuk menukarkan kupon pemerintah dengan minyak goreng, gula, beras, tekstil, dan kebutuhan lainnya. Rupiah nyaris tidak ada nilainya.Di hampir segala pelosok kota di Jawa, barisan pengemis menadahkan tangan, berharap orang lain mengasihani. Di pesisir selatan Jawa Tengah dan Timur, kelaparan mirip hama, merembet dari desa ke desa lainnya. Di Kabupaten Gunung Kidul, DIY, misalnya, ribuan penduduk berbondong-bondong meninggalkan desa menuju kota dengan berjalan kaki. Dalam eksodus dengan perut kosong itu, mereka memakan daun-daunan dan apa saja yang dilihat sepanjang jalan. Sedang rekannya yang tidak kuat menahan derita dan kemudian tewas, mayatnya ditinggal begitu saja.
Inilah kondisi Republik Indonesia yang tercabik-cabik oleh pertikaian dan perang saudara. Sejak pengakuan kedaulatan, nyaris tidak ada hari dilalui tanpa konflik terbuka. Mirip kapal bocor di tengah terjangan badai dahsyat, republik yang baru belajar merangkak itu nyaris tenggelam. Bahkan, ketika babak-belur menghadapi agresi bersenjata Belanda, pecah Peristiwa Madiun (1948). Setelah itu gelombang badai perang saudara susul-menyusul menghantam republik.
Di Jawa Barat, SM Kartosuwirjo memproklamirkan DI/ TII, diikuti oleh Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Di Maluku, mereka yang kecewa pada pemerintah pusat, bergabung dengan elemen-elemen eks tentara kolonial, membentuk RMS (Republik Maluku Selatan). Belanda ikut pula membantu persenjataan melalui Papua Barat.
Belum lagi usai pemberontakan DI/TII dihadapi, muncul PRRI dan Permesta di Sumatera dan Sulawesi. Ketika gerakan pemberontak ini mulai dapat dipatahkan, Indonesia terseret dalam konfrontasi merebut Papua Barat, yang kemudian diberi nama Irian Jaya. Usai perhelatan besar ini, lahir pula konfrontasi menentang pembentukan federasi Malaysia tahun 1963.
Semua ini menguras energi nasional. Pembangunan ekonomi terbengkalai. Kehidupan di berbagai sektor morat-marit. Namun bagi angkatan darat, keadaan ini membuka peluang untuk tampil sebagai garda republik. Mereka mentransformasikan organisasinya menjadi kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Bung Karno tidak mampu mengimbangi permainan Angkatan Darat, yang bergerak secara sistematis dengan roda organisasinya.
Bung Karno sendiri bukannya tidak menyadari keadaan yang membahayakan itu. Namun, semangat revolusionernya yang tidak pernah pudar, yang dirumuskannya sebagai "maju terus pantang mundur," mengharuskan bekerja sama dengan Angkatan Darat. Tanpa dukungan angkatan bersenjata, khususnya Angkatan Darat, semangat itu tidak akan terdengar gaungnya, karena revolusi tidak dapat lepas dari konfrontasi dan sejenisnya. Sedang konfrontasi membutuhkan angkatan perang.
Bagi Angkatan Darat di bawah Kolonel Nasution, inilah jembatan emas menuju puncak kekuasaan. Transformasi itu mencapai puncaknya pada periode Orde Baru. Atau seperti tulis Adam Schawarz dalam bukunya A Nation in Waiting, Indonesia in 1990's, mereka yang tadinya berada di bawah pemerintahan sipil, berbalik mendominasi sipil.
ANGKATAN Darat sendiri sesungguhnya penuh dengan bisul konflik. Namun, dialihkan kepada sipil, hingga membuat citra sistem demokrasi parlementer mengalami degradasi. Jatuh-bangunnya kabinet menjadi bulan-bulanan. Bahkan dianggap sebagai membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Elite politik diidentikkan dengan pengacau. Sedang jajaran pejabat sipil dituding korup dan tidak becus mengurus pemerintah.
Padahal nyaris tidak satu pun konflik yang membahayakan bangsa absen dari keterlibatan para perwira Angkatan Darat. Singkatnya, konflik bersenjata yang terjadi selama ini sebagai solusi terhadap masalah-masalah politik, baik itu Peristiwa Madiun, DI/TII, RMS, PRRI-Permesta, hingga G30S, tidak lepas dari konflik dalam tubuh angkatan perang Indonesia, khususnya Angkatan Darat. Bahkan gelombang perang saudara yang melanda Aceh dan Maluku, juga tidak luput dari intervensi sejumlah anggota militer.
Sebagai institusi, tindakan paling berani dilakukan pada 17 Oktober 1952. KSAD Kolonel AH Nasution marah setelah konsep reorganisasi dan rasionalisasi Angkatan Darat tidak didukung pemerintah. Selain mengerahkan 30.000 orang menuntut dibubarkannya kabinet, di depan Istana, perwira yang loyal kepada Nasution juga
mengarahkan meriam ke Istana.
Percobaan kudeta ini gagal, karena Bung Karno tidak mempan digertak. Sebaliknya, Nasution malah dipecat. Waktu itu pemerintah terpaksa menolak gagasan Nasution akibat munculnya protes dari para perwira eks Pembela Tanah Air (Peta). Dalam hal ini Nasution bukannya melakukan konsolidasi menyelesaikan masalah internal, sebaliknya justru mencari sasaran ke Istana.
Sejak peristiwa itu, Angkatan Darat makin percaya diri. Apalagi setelah berhasil mendesak mundur Kabinet PM Ali Sastroamidjojo tahun 1955. Tanggal 15 November 1956, Kolonel Zukifli Lubis malah mencoba melakukan kudeta dengan menduduki Jakarta. Perwira yang loyal kepada Nasution itu berhasil menghempang masuknya beberapa batalyon pasukan Siliwangi ke Jakarta. Setahun kemudian, 30 November 1957, Saleh Ibrahim, ajudan Kolonel Lubis, mencoba membunuh Bung Karno dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Cikini.
Semua peristiwa itu bersumber pada konflik intern Angkatan Darat. Bung Karno mendukung penunjukan kembali Nasution sebagai KSAD pada tahun 1955. Ia menaruh harapan besar atas rencana reorganisasi dan rasionalisasi Nasution yang pernah ditolaknya. Tapi kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Konflik internal Angkatan Darat makin memanas. Para panglima militer di daerah malah mengambil alih pemerintahan dari tangan sipil, dan memberlakukan darurat perang. Puncaknya adalah PRRI-Permesta, 1958.
Disadari atau tidak, harapan Bung Karno untuk "mengandangkan" Angkatan Darat dan menjauhinya dari kudeta militer, mirip suatu kemustahilan. Angkatan darat telanjur ikut dalam proses politik. Lantas jika muncul ambisinya untuk memperoleh kekuasaan politik lebih besar, jelas sulit untuk dihempang.
Persoalannya, seperti kata Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia, Angkatan Darat lahir dari situasi perjuangan politik kemerdekaan. Embrionya adalah laskar-laskar yang dibentuk oleh masing-masing partai maupun organisasi politik. Faksi-faksi menjadi lumrah. Seperti halnya dalam politik, Angkatan Darat juga tidak bisa dilepaskan dari kegiatan bisnis.
Jika pendapat ini diformulasikan dalam suatu proposisi, maka sebaliknya adalah benar bahwa penolakan Angkatan Darat terhadap demokrasi parlemen tidak dapat dilepaskan dari substansi sistem parlementer, yang mustahil memberi tempat bagi hegemoni militer. Dengan konsep one men one vote saja, Angkatan Darat tidak akan pernah di atas sipil. Pendapat yang hampir sama dikemukakan Adam Schwarz.
BUNG Karno yang sejak
awal tidak menyukai sistem demokrasi parlementer, gusar setelah kabinet baru hasil Pemilu 1955, mengabaikan perintahnya agar PKI disertakan. PKI secara mengejutkan berhasil menempati urutan ke-4 dalam jumlah perolehan suara pada Pemilu 1955. Namun, Mohammad Hatta yang anti-PKI dan memandang sistem parlementer masih yang terbaik, merespons Bung Karno dengan mengundurkan diri sebagai wapres pada tanggal
1 Desember 1956.
Mundurnya Hatta, meningkatnya perlawanan di daerah, dan pertarungan antar-elite politik di Jakarta, tidak membuat Bung Karno mundur. Tanggal 21 Februari 1957, secara resmi diumumkan Demokrasi Terpimpin berikut kabinet Nasakom (koalisi PNI, Masyumi, NU, dan PKI), didampingi Dewan Nasional sebagai penasihat. Dewan ini beranggotakan wakil-wakil golongan fungsional yang ada dalam masyarakat.
Ada beberapa argumentasi Bung Karno menyertakan PKI. Antara lain agar partai ini ikut bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah. Selama ini kabinet hanya jadi bulan-bulanan PKI. Tapi di balik itu sesungguhnya Bung Karno ingin menciptakan kekuatan tandingan bagi Angkatan Darat untuk mencegah kudeta maupun konsentrasi kekuasaan yang berlebilihan.
Bagi Bung Karno, PKI yang merupakan partai komunis ketiga terbesar di dunia dalam jumlah anggota, dapat pula dipakai mencegah subversi imperialis AS dan sekutu-sekutunya melalui solidaritas negara-negara sosialis.
Sebaliknya PKI merasa aman di bawah payung Bung Karno. Sebagai balas budi, PKI merapatkan barisan mendukung kepemimpinan Bung Karno secara konsekuen, dan mengganyang mereka yang menentang Pemimpin Besar Revolusi. Kedekatan Bung Karno dengan PKI menimbulkan kejengkelan di kalangan Angkatan Darat dan juga parpol, khususnya Masyumi dan PKI. Tahun 1960 Nasution memerintahkan penangkapan Aidit dan anggota politbiro PKI lainnya. Namun, segera dibebaskan setelah intervensi Bung Karno.
Dalam konteks Perang Dingin yang sedang mencapai titik didih ketika itu, sikap politik Bung Karno dipandang Presiden Eisenhower sebagai membahayakan kepentingan AS di Asia Tenggara. Terlebih lagi setelah PKI mendapat suara yang begitu besar dalam pemilu. Sedang sukses Konferensi Asia Afrika di Bandung adalah bukti Soekarno condong ke kiri. Maka jika awal 1950 Gedung Putih masih hati-hati menyikapi Bung Karno, setelah pertengahan 1950-an pendapatnya bulat, Bung Karno berbahaya. CIA, Dinas Intelijen AS, mulai menyusun rencana rahasia.
CIA sendiri sebenarnya sudah sejak tahun-tahun sebelumnya bergerak di Indonesia. Tapi operasinya terbatas pada memberi dukungan dan bantuan keuangan bagi kelompok anti-PKI. Salah satu parpol yang anti-PKI dan anti-Bung Karno, pernah mendapat bantuan satu juta dollar AS. Dana yang ditransfer melalui Hongkong itu untuk membiayai kampanye Pemilu 1955.
Peristiwa Cikini yang hampir menewaskan Bung Karno adalah indikasi perubahan sikap AS. Bung Karno sendiri menuding CIA dalangnya, walaupun sulit membuktikannya. Tapi tahun 1975 komisi yang diprakarsai Senator Frank Chuch mengusut kegiatan CIA, menemukan indikasinya. Di depan komisi ini, Richard M. Bissel Jr, mantan wakil direktur CIA pada masa pemerintahan Eisenhower, mengaku dinas intelijen pernah mempertimbangkan membunuh Bung Karno. Namun perencanaannya terbatas pada mengumpulkan aset yang memungkinkan untuk melaksanakannya.
Bagi Eisenhower, tidak ada jalan lain kecuali menetralisasi (baca: meniadakan) Bung Karno, entah dengan cara apa pun. Sebab, jika Indonesia jatuh ke tangan komunis, Malaysia hanya tinggal menunggu waktu saja, kemudian Thailand dan negara-negara tetangganya.
Kebijakan garis keras ini diteruskan oleh Presiden Kennedy dan Lyndon B Johnson. Tapi apa sesungguhnya yang membuat AS habis-habisan intervensi di wilayah RI tidak lebih dari upaya untuk mempertahankan kepentingan ekonomi dan geopolitiknya, karena kekayaan sumber alam Indonesia disebut menempati urutan kelima di dunia. Jepang, misalnya, sangat bergantung pada pasokan bahan bakar minyak dari Indoensia.
Selain kepentingan ekonomi, posisi Indonesia yang strategis di jalur pelayaran internasional menjadi penting bagi geopolitik AS. "Vietnam dan negara tetangganya boleh jatuh ke tangan komunis, tapi kita tidak akan melepaskan Indonesia dengan taruhan apa pun," ujar Eisenhower dalam pidato awal 1950.
Tahun 1962, satu memorandum Presiden Kennedy dengan PM Inggris Macmillan, berisi kesepakatan untuk "melikuidasi" (baca: membunuh) Presiden Soekarno, jika ada peluang untuk itu. Tahun 1966, setahun setelah meninggalkan posnya sebagai duta besar AS di Jakarta, Howard Jones mengatakan, sedikitnya ada tiga kali percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno setelah Peristiwa Cikini. Semuanya hampir berhasil.
Dalam bukunya Killing Hope, William Blumn malah menyebut, CIA dengan bantuan agen FBI di Los Angeles, membuat film cabul dengan pemeran pria mirip Bung Karno. Di situ dikisahkan, wanita kulit putih teman kencannya, ternyata agen Soviet yang sedang melakukan pemerasan.
Mantan anggota CIA menambahkan, dinas intelijen AS pernah pula menyebarkan berita bohong mengenai tindakan tidak senonoh Bung Karno terhadap pramugari Soviet dalam suatu penerbangan. Semua ini, ujar Blumn, dimaksud untuk mendiskreditkan Bung Karno. Namun tidak berhasil, karena rakyat Indonesia masih mencintai pemimpinnya itu.
Mantan penerbang CIA, Poultry Fletcher yang menulis buku The Secret War, menyebut begitu ambisiusnya Gedung Putih menggusur Bung Karno, hingga operasi rahasia membantu PRRI-Permesta merupakan terbesar dalam sejarah CIA. Mantan kolonel penerbang AU-AS ini mengatakan, CIA telah menyiapkan peralatan militer bagi 40.000 personel PRRI-Permesta. CIA juga mengoperasikan 15 pesawat pembom B-26 yang dikemudikan penerbang Taiwan, Korsel, Filipina, dan AS.
Akan tetapi sejarawan terkemuka George McT Kahin (Subversion as Foreign Policy) mengatakan, AS memasok sebagian besar persenjataan bagi 8.000 personel pemberontak di Sumatera. AS juga melibatkan elemen-elemen Armada VII dan kapal-kapal selam untuk memasok senjata.
Setelah PRRI-Permesta mulai surut, Gedung Putih menerapkan politik bermuka dua. Selain membantu militer dan perguruan tinggi Indonesia, CIA masih mensuplai senjata bagi sisa-sisa Permesta dan DI/TII. Bantuan program pelatihan militer AS kepada TNI meningkat drastis antara tahun 1960-1965.
David Ransom dalam tulisannya Ford Country: Building an Elite for Indonesia mengatakan, pada periode itu AS mengirim Guy Pauker untuk menginfiltrasi Angkatan Darat melalui pembenahan Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad). Pauker juga membangun jaringan dengan intelektual PSI dan Masyumi, yang sejak lama dikenal CIA dan disebut sebagai patriot. Pauker mengenalkan konsep bakti sosial, yang tidak lain adalah bagian dari teror dan perang urat syaraf, dalam kurikulum Seskoad. Istilah "sapu bersih" pertama kali digunakan oleh Pauker. Menurut Dr Peter Dale Scott (How the US and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967), Pauker dan sahabatnya, Mayjen Suwarto, merancang struktur kurikulum yang menyiapkan Angkatan Darat mengambil alih bisnis dan pemerintahan.
Selain pembenahan Seskoad, CIA membantu program pendidikan di AS bagi perwira Angkatan Darat. Menjelang tahun 1965, sedikitnya dua pertiga perwira menengah dan tinggi Angkatan Darat pernah dididik di AS.
DENGAN diberlakukannya Demokrasi Terpimpin, porsi kekuasaan Angkatan Darat makin besar. Sebagai golongan fungsional, kini mereka berhak mempunyai wakil di pemerintahan. Kekuasaannya makin tidak tertandingi lagi, karena sebelum mengembalikan mandatnya PM Ali Sastroamidjojo memenuhi permintaan Nasution bagi keadaan darurat perang (SOB) secara nasional.
Nasution dengan cerdik segera memerintahkan para perwiranya mengambil alih perusahaan-perusahaan eks Belanda dari tangan buruh. Melalui perusahaan yang disita Pemerintah RI ini, Angkatan Darat berkembang menjadi kekuatan ekonomi. Kampanye merebut Irian Jaya, yang berubah menjadi konfrontasi meletihkan, juga atas prakarsa Nasution dengan membentuk Front Nasional.
Nasution secara ajaib berhasil mengangkat Angkatan Darat menjadi kekuatan sosial, politik, dan ekonomi, hanya dalam tempo dua tahun. Sedang Bung Karno yang gembira diakhirinya sistem parlementer, tidak keberatan atas SOB. Ia mengira SOB akan menunjang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin secara konsekuen. Padahal kedua hal ini merupakan jembatan emas bagi Angkatan Darat menuju puncak kekuasaan.
Demikian pula ketika November 1958 ia menawarkan konsep Jalan Tengah (dwifungsi) dan kembali ke UUD 1945, yang disebutnya untuk mencegah kudeta militer. Bung Karno menyambutnya gembira melalui Dekrit 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945, serta pembubaran Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955.
Sejak itu hampir sepertiga anggota kabinet diisi kalangan militer. Demikian pula pemerintahan di daerah. Tahun 1964 misalnya, dari 24 jabatan gubernur 12 dipegang oleh perwira Angkatan Darat.
Angkatan Darat de facto sudah memegang kendali kekuasaan RI. Itu sebabnya ketika Bung Karno menyerukan konfrontasi terhadap Malaysia, 1963, reaksi Angkatan Darat agak dingin. Mereka tidak lagi melihat ada manfaatnya.
Bung Karno amat terpukul setelah kemudian mendapat laporan dari TNI AU dan AL pada tahun 1964. Kedua angkatan ini mengalami kerugian yang besar dalam konfrontasi, akibat Angkatan Darat belum juga melakukan ofensif, sementara formasi dari udara dan laut sudah dibuka. Akhirnya AU dan AL mengandalkan tenaga sukarelawan.
Wakil Panglima Siaga Mayjen Soeharto, yang juga Pangkostrad, ternyata bukan saja enggan bergerak, tapi malah melakukan kontak-kontak rahasia dengan Malaysia dan Singapura untuk menghindari konfrontasi. Melalui kurirnya, Kolonel Ali Moertopo, berulang kali diadakan pertemuan dengan Norman Breddway, pakar perang urat syaraf MI-6, dinas intelijen Inggris, dan juga penasihat politik panglima militer Inggris di Singapura.
TANGGAL 21 Januari 1965 pukul 21.48, satu telegram dari Kedubes AS di Jakarta masuk ke Deplu di Washington. Isinya informasi pertemuan pejabat teras Angkatan Darat pada hari itu. Mengutip seorang perwira tinggi yang hadir disebutkan, ada rencana untuk mengambil alih kekuasaan jika Bung Karno berhalangan. Kapan rencana ini akan dijalankan, tergantung pada keadaan konflik yang sedang dibangun beberapa pekan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari kemudian Angkatan Darat akan menyapu PKI.
Arsip telegram yang tersimpan di Lyndon B Johnson Lybrary dengan nomor kontrol 16687 itu menyebut, berberapa perwira yang hadir malah menghendaki agar rencana itu dijalankan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Maret tahun itu juga Dubes Howard Jones, sebagai mana dikemukakan George Kahin, mengatakan kepada pejabat senior Pemerintah AS, "dari sudut pandang kami tentu saja percobaan kudeta yang ternyata gagal, merupakan perkembangan yang paling efektif untuk membelokkan arah politik Indonesia". (Dan Angkatan Darat mendapat kebebasan untuk menghancurkan PKI). Tahun sebelumnya, Dubes Jones pernah membujuk Jenderal Nasution agar Angkatan Darat mengambil tindakan tegas terhadap PKI.
Dalam analisa intelijen AS, merontokkan PKI akan membuat Bung Karno lumpuh. Atau meminjam pendapat Dr John W. Tate (From the Sukarno to the Soeharto Regimes), PKI merupakan pendukung utama Bung Karno. Tanpa PKI, Presiden Soekarno akan berhadapan dengan Angkatan Darat dan kelompok Islam yang menudingnya sekuler.
Bulan Agustus 1965 tiba-tiba muncul isu merosotnya kondisi kesehatan Presiden Tidak jelas dari mana sumber isu ini, walaupun disebut-sebut nama tim dokter RRC. Namun dalam kabel perwakilan CIA di Jakarta dengan nomor TDCS-314/ 11665-65, salah satu bagian mengutip informasi dari salah satu pembantu dekat Soekarno mengenai penyakit ginjal presiden yang sangat kronis. "Diperkirakan Soekarno bisa saja meninggal mendadak dalam waktu dekat".
Dua pekan kemudian muncul pamflet gelap yang mengungkap detail rapat-rapat CC-PKI, membahas kemungkinan mengambil alih kekuasaan jika Bung Karno meninggal secara mendadak. Isi pamflet itu menimbulkan kecemasan di kalangan perwira tinggi Angkatan Darat, karena memuat daftar nama-nama jenderal yang akan dihabisi. Sebaliknya, PKI juga mendapat pamflet gelap yang berisi rencana detail Dewan Jenderal merebut kekuasaan dan kemudian akan mengeksekusi pimpinan dan kader-kader PKI.
Dua minggu sebelum meletusnya G30S, Dubes AS yang baru Marshall Green, meminta CIA meningkatkan propaganda menyerang Bung Karno. Demikian pula MI-6, yang terus-menerus menyiarkan berita menyesatkan. Pada waktu hampir bersamaan, muncul berita di salah satu surat kabar di Jakarta mengenai kapal bermuatan senjata kiriman RRC untuk PKI, sedang berlayar dari Hongkong menuju Jakarta. Menurut Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), surat kabar Malaysia itu sendiri mengutip sebuah surat kabar di Bangkok. Sedang Bangkok mengutip sebuah kantor berita yang memperoleh informasi dari sumber di Hongkong.
Mantan veteran CIA itu menyebut, inilah rekayasa disinformasi. Bahkan kemudian dibuat dokumen-dokumen palsu hingga sulit dibedakan dengan aslinya, seperti halnya juga dokumen (palsu) PKI berikut daftar nama jenderal yang akan dibunuh. Dengan cara ini CIA berhasil menimbulkan ketegangan dan saling curiga yang gawat. Sebuah pemantik kecil akan menyulutnya menjadi banjir darah.
Puncak dari semua ini adalah ketika sekelompok perwira dipimpin Letkol Untung, mantan bawahan Soeharto di Kodam Diponegoro, mencoba anggota Dewan Jenderal kepada Bung Karno. Namun entah bagaimana kemudian, atas perintah Syam (Kamaruzaman), para jenderal itu dieksekusi.
Syam-yang disebut-sebut tokoh misterius-menurut berbagai peneliti asing, pernah menjadi kader PSI dan dekat dengan Soeharto ketika di Semarang. Syam juga disebut-sebut sebagai intel Kodam Jaya, yang berhasil disusupkan dalam tubuh PKI. Dalam pengakuannya kepada aparat yang memeriksa, ia dipercaya DN Aidit membentuk Biro Khusus untuk menginfiltrasi TNI. Anehnya, kecuali Aidit, tidak satu pun jajaran anggota Politbiro maupun CC PKI yang mengetahui ihwal Biro Khusus. Suatu hal yang sesungguhnya mustahil dalam organisasi partai yang berideologi marxisme. Aidit sendiri dieksekusi Angkatan Darat, sehari setelah ditangkap di tempat persembunyiannya di Solo. Eksekusi ini membuat tertutupnya kemungkinan membuktikan ada tidaknya Biro Khusus itu.DOKTOR Peter Dale Scott melihat banyak keanehan dalam peristiwa ini. Contohnya saja, dua pertiga dari kekuatan satu brigade pasukan para komando, ditambah satu kompi dan satu peleton pasukan lainnya, yang merupakan kekuatan keseluruhan G30S, sehari sebelumnya diinspeksi Mayjen Soeharto. Sedangkan pasukan elite dari Batalyon 454 dan 530 Banteng Raiders datang ke Jakarta atas radiogram Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk parade HUT ABRI 5 Oktober. Kedua batalyon pendukung utama G30S ini sejak tahun 1962 rutin memperoleh bantuan pelatihan AS.
Dalam siaran RRI tanggal
1 Oktober, tambah Peter Scott, Letkol Untung mengatakan, Presiden Soekarno berada dalam keadaan aman di bawah perlindungan Dewan Revolusi. Padahal kenyataannya tidak demikian. Bung Karno berada di tempat lain. Dalam susunan Dewan Revolusi yang berkuasa, Untung sama sekali tidak menyebut nama Bung Karno.
Melalui corong RRI tersebut Untung mengatakan adanya rencana jahat Dewan Jenderal untuk menggulingkan Bung Karno. Pasukan didatangkan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Padahal pasukan ini disiapkan untuk parade HUT ABRI 5 Oktober. Untung sendiri ikut dalam perencanaan parade tersebut. Anehnya lagi, di seberang stasiun RRI yang dikuasai gerakan ini terletak markas utama Kostrad, yang sama sekali tidak disentuh.
Sama seperti Biro Khusus, peran Untung yang sesungguhnya sulit diketahui. Ia mengalami nasib yang sama seperti Aidit. Dieksekusi ketika tertangkap dalam pelarian ke Jawa Tengah.
Situasi Jakarta sendiri tidak menentu setelah meletusnya G30S. Namun, Norman Reedway, pakar perang urat syaraf MI-6 yang berpangkalan di Singapura, mengaku bekerja sama dengan CIA menyebarkan disinformasi keterlibatan PKI. Saluran radio Indonesia sempat ditutup mereka dan dimunculkan berita dari BBC yang seolah-olah mendapat laporan dari Hongkong, mengenai keterlibatan RRC membantu PKI dalam gerakan tersebut.
Presiden Johnson melalui radiogram tanggal 9 Oktober 1965 memberi petunjuk ke Kedubes AS di Jakarta. Isinya antara lain berbunyi, inilah saat kemenangan yang paling tepat bagi pimpinan Angkatan Darat untuk bertindak, karena posisi mereka sangat menentukan atas kekuasaan Soekarno. Jika momentum ini tidak dimanfaatkan, bukan mustahil akan mendapat pembalasan yang lebih keras dari oposisi. Tapi jika Angkatan Darat memenangkannya, Soekarno tidak akan pernah kembali berkuasa.
Itu pula sebabnya ketika utusan Mayjen Soeharto meminta bantuan melalui Kedubes AS di Jakarta untuk mempersenjatai milisi Muslim menghancurkan PKI di Jateng dan Jatim, Gedung Putih segera memenuhinya dengan bersembunyi di balik kiriman bantuan obat-obatan. Bahkan, seperti ungkap wartawati Kathy Cadane, Pemerintah AS melalui Kedubesnya di Jakarta memberi daftar nama 5.000 kader PKI kepada Mayjen Soeharto melalui Adam Malik.
Kolonel Latief-yang dalam pledoinya menyebut amat sangat dekat dengan mantan komandannya, Mayjen Soeharto-mengaku telah dua kali menyampaikan informasi mengenai rencana kudeta Dewan Jenderal itu. Namun, Soeharto tidak memberi reaksi apa pun. Latief yang disebut-sebut pada masa itu sebagai orang kedua setelah Letkol Untung, berkesimpulan dalam pledoinya, Dewan Jenderal itu terbukti memang ada dan berhasil menggulingkan Bung Karno.
Tapi apa pun bukti-bukti sejarah yang kelak diperoleh dalam peristiwa ini, semua tidak akan menolong 500.000-1 juta jiwa korban tewas dibunuh dalam tragedi berdarah itu hanya karena diduga kader, anggota atau simpatisan PKI. Pengungkapan kasus ini kembali tidak akan bisa pula memulihkan penderitaan 700.000 orang rakyat Indonesia, berikut keluarganya, yang ditangkap dan disiksa selama bertahun-tahun atas tuduhan yang sama.
Laporan CIA tahun 1967 menyebut, pembantaian setelah peristiwa G30S sebagai salah satu peristiwa yang sangat mengerikan dalam abad kedua puluh. Tidak kalah dengan pembantaian yang dilakukan Nazi Jerman.
Inilah yang disebut sebagai tumbal tujuh Pahlawan Revolusi. Banyak elite politik kita yang hingga saat ini bangga atas pembantaian rakyat Indonesia itu. Kekejaman mereka atas kematian tujuh Pahlawan Revolusi dianggap pantas dibayar dengan nyawa sedemikian banyak.
Padahal, menurut Peter Dale Scott, empat dari enam perwira tinggi pro Jenderal Yani yang mengikuti pertemuan pejabat teras Angkatan Darat pada Januari 1965, tewas dalam peristiwa G30S bersama pimpinan Angkatan Darat tersebut. Ahmad Yani sendiri dikenal sebagai sangat loyal kepada Bung Karno. Sedangkan tiga dari lima jenderal anti-Yani, termasuk Mayjen Soeharto, adalah figur utama dalam menumpas G30S. "Tidak seorang pun di antara jenderal anti-Bung Karno menjadi target Gestapu," tulis Peter Scott. Sedang yang dialami Jenderal Nasution disebutnya sebagai salah sasaran. Pangkostrad, orang kedua setelah KSAD, yang memegang komando pasukan, malah tidak masuk dalam target G30S. Bahkan posisi pasukan pendukung utama G30S, berada di lapangan Monas, persis berhadapan dengan Markas Mayjen Soeharto.
Peter Scott melihat peristiwa ini lebih merupakan konflik intern Angkatan Darat, yang kemudian digiring menghancurkan PKI untuk mengisolir Bung Karno. Tapi peneliti lainnya ada yang melihat peristiwa ini memang melibatkan unsur PKI. Ada beragam versi. Tapi di Indonesia sendiri Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto berhasil membentuk opini publik ke arah penghakiman Bung Karno, sebagai terlibat dalam G30S.
Bung Karno dipaksa mendelegasikan kekuasaan melalui Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto. Seperti halnya misteri G30S, Supersemar juga tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Apakah benar ada, apakah benar sudah ditandatangani Soekarno. Naskah aslinya sendiri "lenyap".
Berbekal Supersemar, Soeharto membubarkan PKI untuk mengisolir Bung Karno. Proklamator ini, seperti dikemukakan Adam Schwarz dan John Tate, kembali dipaksa menyerahkan kedudukannya, setelah diancam akan diseret ke pengadilan. Bung Karno akhirnya lengser dan dikenai status tahanan rumah. Ia diinterogasi secara maraton oleh perwira militer. Proklamator dan Bapak Bangsa ini menjadi pesakitan oleh bangsanya sendiri.
Lantas apakah masuk akal Proklamator ini terlibat dalam pembunuhan para jenderal yang loyal kepadanya, dan tidak disukai oleh Soeharto yang anti-Bung Karno?
* Maruli Tobing Wartawan Kompas.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/01/soekarno/bung68.htm
No comments:
Post a Comment